Oleh Bandung Mawardi
Pers sedang bimbang atau girang. Orang-orang masih menginginkan berita dengan sekian “tapi” ingin diberikan oleh pers. Perkara “tapi” itu memicu dilema, debat, gamang, dan ragu. Pers tak lagi ingatan lama tentang koran, tabloid, dan majalah. Media informasi tak melulu radio dan televisi. Pers abad XXI bergerak dalam arus digital. Corak pun berubah. Kita boleh berpikiran ganda: lama dan baru. Pers masih ada dengan sekian “tapi”.
Di Kompas, 9 Februari 2021, kita membaca: “Disrupsi digital telah menciptakan ekosistem media yang tidak sei,bang, persaingan usaha yang tidak sehat, antara platform digital global dan media arus utama.” Kalimat itu dipikiran orang-orang berkecimpung di jagat pers dan kalangan akademik sanggup memikirkan hal-hal besar. Situasi telah terlalu berubah. Kita di masa kemudahan-kemudahan tapi “kehilangan”.
Keluhan-keluhan bermunculan tentang berita, opini, atau iklan. Lakon pers masih saja dalam ruwet-ruwet. Di Media Indonesia, 9 Februari 2021, ruwet itu masalah menghasilkan dan mengedarkan berita. Kecepatan dan keakuratan itu beban berat, tak semua bisa dipenuhi saat wabah skala global memicu takut, pengharapan, dan ketabahan. Pers berperan besar tapi menanggung konsekuensi besar bila “salah”, “telat”, atau “rancu”. Ruwet-ruwet itu dibahasakan oleh Kompas, 10 Februari 2021: “Industri media terdesak pandemi Covid-19 dan perkembangan platform digital.”
- Iklan -
Puluhan tahun lalu, pers belum terlalu ruwet seperti masa sekarang. Di rumah atau kampung, pers dimengerti orang-orang dengan berperan sebagai pembaca koran atau majalah. Mereka menjadi pembaca berita, penikmat opini-gagasan, dan penonton iklan-iklan. Duit digunakan berlangganan atau membeli koran atau majalah itu kesungguhan memberi sokongan kerja kalangan pers.
Berita demi berita diobrolkan setelah raga memiliki peristiwa membaca: duduk atau berdiri. Ingatan lawas adalah orang duduk di kursi terdapat di beranda rumah. Di kantor, orang-orang membaca koran. Di terminal, sopir atau siapa saja tampak menggunakan jeda dengan membaca koran. Guru atau PNS di rumah menikmati majalah-majalah kegemasan: majalah berita atau majalah hiburan. Di kampung-kampung, kita menemukan kaum tua masih setia menjadi pembaca majalah Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa.
Pemandangan lazim. Di perempatan jalan, kita melihat ada orang-orang menjual koran, tabloid, dan majalah. Di pinggir jalan, ada kios-kios koran. Jalan-jalan di kampung atau perumahan dilewati para pengantar koran menggunakan sepeda atau sepeda motor. Pemandangan menggembirakan adalah orang-orang berdiri dan bergantian membaca halaman-halaman koran ditempel di papan. Di sekian titik di perkotaan, papan-papan koran membuat orang-orang bisa membaca secara gratis. Titik untuk pertemuan dan percakapan beragam hal dan gagasan termuat dalam koran.
Hari demi hari, kita perlahan kehilangan pengalaman dan pemandangan. Pada masa wabah, sekian koran pamitan. Ada juga koran cetak beralih ke edisi digital saja. Di luar kerja keras dan derita industri pers, kita mulai sulit mencari kios menjual koran, tabloid, dan majalah. Di perempatan jalan, pemandangan orang membawa dagangan media cetak sambil berucap atau berteriak berita-berita terpenting mulai absen. Di kantor atau rumah, adegan orang-orang memegang dan membaca koran, tabloid, atau majalah itu kelangkaan. Konon, orang-orang mengaku gampang mendapat berita asal bergawai. Kita anggap semua hal itu masuk atau berkaitan masalah pers abad XXI.
Ruwet dan dilema kadang mengantar kita bernostalgia saja. Teringatlah kita nama penting dan dijadikan penghargaan pers: Adinegoro. Pada masa 1920-an, ia adalah pengarang novel. Para masa 1930-an sampai masa revolusi, ia tampil sebagai penggerak pers dengan terbitan beragam buku penting, dari Melawat ke Barat sampai Falsafah Ratu Dunia. Buku-buku bertema pers diterbitkan menjadi pengetahuan publik berbarengan gairah penerbitan koran dan majalah di Indonesia. Kini, orang mengenang Adinegoro sebagai nama penghargaan tapi kesulitan menemukan puluhan buku pernah terbit, sejak masa 1920-an.
“Ratu dunia sesungguhnja bukan pers tapi anggapan umum, pers hanja alatnja jang terpenting,” tulis Adinegoro dalam buku berjudul Falsafah Ratu Dunia (1949). Buku menawan bagi orang-orang abad XX telah tergoda dan rajin menikmati pers di zaman (terlalu) digital. Ibarat penting disampaikan Adinegoro di masa lalu: “Anggapan umum itu ibarat air sungai dalam keadaan biasa mengalir dengan tenang. Anak-anak bermain di tepinja dengan tiada berbahaja. Tetapi tiba-tiba hudjan besar berturut-turut, maka sungai itu bandjir. Tapian tempat mandi, rumah dan hewan dihanjutkannja. Air sungai jang tenang mendjadi air bah, sifatnja jang senjum-simpul mendjadi liar, suaranja jang riang mendjadi menderum, warnanja jang putih bersih mendjadi keruh. Itulah lambang masjarakat dan negara dalam revolusi.” Ibarat itu bisa kita gunakan saat membaca berita di Kompas, 9 Februari 2021. Latar tak lagi revolusi tapi “disrupsi digital”.
Kita sudah tak mengetahui lagi sebutan “ratu dunia”. Dunia makin gamblang atau lugar, kehilangan “puisi” atau ibarat-ibarat memungkinan merenung meski sejenak. Cepat dan berlimpahan mengajak kita tergesa, lelah, dan sulit merenung. Dulu, “ratu dunia” bergantung dengan penerapan demokrasi. Pada abad XXI, demokrai di pelbagai negara sedang berantakan. Pers dalam situasi tegang, tak mudah terus tegak atau mengabarkan secara jernih. “Pers adalah salah satu dari pada alat sendjata dari pada anggapan umum itu dan anggapan umum itu baru dapat berkembang setjara luas dan sempurna kalau ada demokrasi.” Kita mulai kebigunganan ganda mengalami hari-hari wabah dan keamburadulan tatanan hidup bersama: pers dan demokrasi.
Kita lanjutkan dengan membuka buku berjudul Publisistik dan Djurnalistik. Buku dua jilid itu memberi uraian panjang, bermaksud jelas dan menantang. Adinegoro menjelaskan peran pers dan konsekuensi-konsekuensi revolusi di Indonesia. Dulu, pers itu alat revolusi. Adinegoro mengamati dan mencatat: “Pers sebagai alat revolusi mempunjai tugas menjelamatkan revolusi sampai terlaksana masjarakat adil dan makmur, sampai tiap warga negara kelak dapat menikmati kemakmuran jang merata setjara adil.”
Buku dua jili mengenai jurnalistik itu mengingatkan lagi peran pers di rezim-rezim berubah dan tatanan hidup global telah mengantarkan pengertian-pengertian baru. Pada babak lanjutan, pers dimengerti dalam lakon demokrasi, setelah “revolusi” ditinggalkan di masa lalu.
Pada abad XXI, dua buku garapan Adinegoro itu terbaca aneh. Pers sedang dirundung dilema-dilema. Selama wabah, pers ingin berperan besar tapi “disulitkan” masalah-masalah besar. Kabar dari pers Indonesia malah prihatin. Orang-orang masih mendambakan berita bermutu meski tata cara menikmati produksi pers telah terlalu berubah. Begitu.
-Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi, Penulis buku Silih Berganti (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Pengutip(an) (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019).