Oleh Muhammad Fajar Riyadi
Saya tahu di lingkungan sekitar saya, hingga saat ini, ada banyak majelis mujahadah. Mujahadah yang saya maksud di sini adalah membacai amalan-amalan entah itu berasal dari ijazah seorang ulama besar atau bahkan dari hadis-hadis Nabi dan Al-Qur’an.
Gerakan mujahadah ini diikuti oleh banyak orang dari banyak kalangan. Kebanyakan dari golongan dewasa dan tua. Jumlah peserta mujahadah di kampung-kampung cukup banyak. Bahkan kadang kalau mujahadah yang lebih besar, jemaahnya bisa dari berbagai daerah lain. Mereka datang dari jauh, menuju satu tempat terpusat, dan mujahadahan bersama. Gaung bacaan amalan-amalan terdengar dari toa-toa yang dipasang di banyak tempat.
Misalnya saja yang rutin diadakan setiap malam Kamis di dekat pesantren saya. Jemaah yang hadir berasal dari berbagai daerah. Mereka datang ke lokasi menggunakan bis besar, seperti perjalanan tur keluar kota atau liburan. Majelis mujahadah ini entah dimulai sejak kapan. Sebab, pertama kali saya tinggal di pesantren, hampir delapan tahun yang lalu, majelis mujahadah tersebut sudah ada, sudah ramai, sudah banyak jemaahnya. Bagusnya, di majelis mujahadah ini ada ngajinya—bukan semata-mata mujahadah.
- Iklan -
Sayangnya, sering kali majelis mujahadah hanya berisi kegiatan mujahadah. Setelah mujahadah selesai, dan snack sudah dibagikan merata, semua jemaah lekas bubar dan kembali ke rumah masing-masing.
Menurut Romo Kiai Katib Masyhudi, mujahadah semacam itu tentu saja tetap bagus. Sebab, merupakan satu usaha batiniah bagi yang punya hajat-hajat tertentu. Akan tetapi, lanjut beliau, kalau keseringan, mujahadah lama-lama malah bisa menggoyahkan iman. Kata beliau, “Semakin sering orang mujahadah—kalau tak dilambari dengan pondasi ilmu yang cukup—ini akan jadi bahaya. Sebab, ada potensi merusak iman.”
***
Saya akan coba bantu memberi penjelasan, bagaimana alurnya sering mujahadah kok bisa sampai merusak iman. Kalau bagi saya sendiri, sudah terang benderang. Sebab, saya mendengarkan uraian Romo Kiai Katib Masyhudi secara langsung di majelis ngajinya. Lain bagi pembaca sekalian. Maka saya kira saya harus menjelaskan di sini. Tujuannya tak lain adalah untuk menyelaraskan pemahaman antara saya dan pembaca sekalian.
***
Jadi begini … orang yang rutin pergi ke majelis mujahadah itu apakah punya tujuan? Tentu. Apakah tujuan itu? Kita tentu tak bisa membacai isi hati masing-masing jemaah. Kita bikin satu perkiraan saja. Semisal, salah satu dari mereka ingin rezekinya lancar, yang lain lagi ingin segera dipertemukan dengan jodoh, yang lain lagi ingin bisa beli motor atau mobil baru, yang lain mau bangun rumah. Ada begitu banyak ragam kebutuhan orang.
Kalau setelah ikut mujahadah bertahun-tahun kok apa yang dia tuju tidak tercapai, apa yang terjadi? Di sinilah letak titik persoalannya. Akan ada potensi mereka menyalah-nyalahkan wewacan (bacaan wirid—Red.), yang tak lain adalah ayat-ayat atau apa pun yang mereka baca. Padahal, benarkah ayat-ayat atau bacaan-bacaan itu salah? Tentu saja tidak.
Bisa saja kegagalan itu akibat dari kurang seriusnya dia ketika mujahadah. Terganggu oleh omongan orang di sebelah, terganggu oleh notifikasi android, terganggu pembagian snack dan lain sebagainya. Bisa juga itu karena dia tidak melakoni usaha zahiriahnya. Kita sering dengar omongan, “Usaha tanpa doa itu sombong, dan doa tanpa usaha itu bohong.” Mungkin saja dia sebetulnya belum memaksimalkan usahanya, atau belum berusaha sama sekali. Bisa juga sebenarnya itu disebabkan terpelesetnya niat. Dia salah menggantungkan harapan. Semestinya kan menggantungkan harapan itu hanya kepada Allah semata, namun dia mempercayai bacaan-bacaan itu, mempercayai khasiat-khasiat ampuhnya. Inilah yang dinamakan terpelesetnya niat. Bisa saja. Bukan tak mungkin.
Ada banyak kemungkinan untuk penyebab tak tercapainya tujuan ini. Tapi bukan karena ayat-ayat atau bacaan-bacaan mereka itu salah, tidak manjur, tidak bisa dipercaya dan lain sebagainya.
Ingat, saudara, yang saya ungkapkan ini dalam konteks si pelaku mujahadah tidak lebih dulu dibekali dengan ilmu atau pemahaman agama yang cukup. Lain lagi soalannya kalau dia sudah memiliki pemahaman agama yang mencukupi, atau malah lebih dari cukup, sehingga keimanannya kokoh. Tak mungkin goyah imannya, cuma gara-gara tujuannya sejak dulu hingga kini tak kunjung tercapai. Bahkan, seringkali mereka mujahadah justru tidak dengan tujuan-tujuan khusus melainkan berusaha mencapai penghayatan zikir yang lebih baik dari hari ke hari. Penghayatan zikir itulah yang akan membuat mereka makin dekat dengan Allah.
Jadi, saya pikir, mujahadah semacam ini tidak recomended untuk dilakukan oleh orang-orang yang masih kurang ilmu atau pemahaman agamanya, yang masih gampang gojak-gajek iman di hatinya, yang masih keterlaluan cinta dunianya. Semestinya banyak instropeksi dulu. Apakah tujuan tindakan sudah tepat atau masih ada kemungkinan meleset. Ini harus diperhatikan betul-betul. Langkah terbaiknya bukan mujahadah, melainkan ngaji. Ya, ngaji. ***
Yogya, Desember 2020
*Muhammad Fajar Riyadi, santri aktif di PP. Fadlun Minalloh, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Kuliah di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Sudah menulis beberapa buku, di antaranya kumcer Maya & Mira (2019), kemudian novel Aku Dilarang Jadi Hafidz (2020), dan terakhir kumcer Antologi Kesedihan (2021).