Tak ada yang lebih melelahkan dari perjalanan panjang mencari jejak-jejak Rasulullah. Rintangan yang datang silih berganti seolah menjadi menu harian bagi Qudamah. Namun ia selalu meyakini bahwa apa yang dilakukannya belum seujung rambut pun dibandingkan dengan perjuangan Rasulullah dalam bersyiar.
Pada hari keseratus lima, menjelang tengah hari, dalam cuaca mendung, sampailah Qudamah di tepi sungai. Sembari menunggu waktu zuhur tiba, ia berlindung di ceruk tebing yang cukup lebar, lalu merebahkan tubuhnya menghadap ke arah sungai. Suara gemericik air sejenak membuat tubuh Qudamah rileks dan mata terpejam.
Namun kenyamanan Qudamah tak berlangsung lama setelah mendengar seseorang meminta tolong. Ia pun beranjak menuju sumber suara. Dilihatnya seorang kakek tua penggembala tampak lari tertatih-tatih.
“Ada apa Kek?” tanya Qudamah, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
- Iklan -
“Anak dombaku… Anak dombaku…”
“Ada apa dengan anak domba Kakek?”
“Seekor serigala telah mencurinya. Ia lari ke balik batu besar di atas bukit sana,” ujar Kakek Penggembala, menunjuk ke arah bukit.
“Sebaiknya Kakek tunggu di sini saja. Biar aku urus serigala itu.”
“Bawalah tongkat ini. Ini akan membantumu.”
“Tak perlu, Kek. Aku sudah bawa ini,” Qudamah mengeluarkan badik dari dalam buntalan pakaian. “Ini sudah cukup serigala itu takut.”
“Baiklah. Bawalah anak dombaku kembali.”
“Jangan khawatir, Kek. Anak domba Kakek pasti kembali,” seru Qudamah sambil berlari.
Sejurus kemudian Qudamah sudah berada di dekat batu besar. Dengan perlahan ia melangkah agar tak mengagetkan serigala. Dan tak lama kemudian, Qudamah pun menemukan serigala tengah mencengkeram leher anak domba dengan kuku-kukunya yang tajam.
Melihat kedatangan Qudamah, serigala tampak waspada. Kedua matanya nyalang menyiratkan ketidaksukaan. Sementara itu, Qudamah telah menghunus badik. Ia berjaga-jaga jika tiba-tiba serigala menyerangnya.
“Tak tahukah kau wahai serigala, apa yang kau lakukan sesungguhnya perbuatan keji. Kau telah menyakiti anak domba itu!”
Mendengar perkataan Qudamah, serigala pun menggeram sembari menunjukkan gigi-giginya yang tajam.
“Jika kau tak melepaskan anak domba itu, maka tak segan-segan aku mengulitimu!”
“Wahai musafir, mengapa kau begitu zalim terhadapku. Allah telah menetapkan anak domba ini sebagai rezekiku hari ini. Mengapa kau hendak merebutnya dariku?”
Mendengar serigala dapat berbicara layaknya manusia, Qudamah pun terkejut. Kemudian mundur beberapa langkah.
“Kau bisa berbicara? Apa aku tak salah dengar?”
“Kenapa kau heran?”
“Ini tak mungkin.”
“Di dunia ini serban mungkin. Jika Allah berkehendak, segalanya bisa terjadi.”
Qudamah masih belum percaya dengan apa yang terjadi. “Kau pasti bukanlah serigala dari bangsa hewan. Kau pasti dari bangsa jin!”
Mendengar perkataan Qudamah, serigala pun melolong, seolah menertawakan Qudamah.
“Apapun bangsaku, seharusnya ada yang lebih penting bagimu dari sekadar mengurusi serigala yang dapat berbicara.”
“Apa itu?”
“Aku tahu kau hendak ke Syam untuk mencari jejak-jejak Rasullulah, bukan? Tapi di Madinah, kau tak hanya akan menemukan jejak-jejak beliau, tapi juga makam beliau. Tentunya itu akan membuat petualanganmu lebih sempurna.”
“Darimana kau tahu tentang tujuan perjalananku?”
“Sekali lagi kukatakan, kau tak perlu heran. Sekarang lebih baik kau kembali. Tak ada untungnya kau di sini.”
“Lalu, bagaimana dengan anak domba itu? Bagaimanapun kau harus mengembalikan pada pemiliknya.”
“Tak perlu. Pergilah. Kau sampaikan pada si pemilik anak domba ini, bahwa hari ini sudah menjadi rezekiku.”
“Tak bisa begitu!” Qudamah maju beberapa langkah dengan tetap menghunus badik. “Kau harus mengembalikannya. Jika tidak, maka badik ini yang akan memaksamu!” ancam Qudamah.
Meski Qudamah mengancam, serigala tampak begitu tenang. “Apakah kau hendak melawan takdir Allah wahai musafir? Jika iya, sesungguhnya kau manusia paling zalim di muka bumi. Tidakkah kau berpikir bahwa aku ada bukan atas kemauanku sendiri, tapi atas kuasa dan kehendak-Nya. Renungkanlah wahai musafir. Perjalananmu masih panjang dan tentunya masih banyak rintangan. Sementara ini bukan tujuan utamamu. Tujuanmu sendiri adalah menziarahi jejak-jejak Rasulullah. Jika kau beriman dan cinta terhadapnya, tentunya kau percaya dengan apa yang terjadi saat ini.
Aku berbuat begini karena aku memiliki empat ekor anak yang baru saja lahir dan harus kuhidupi. Jika kau membunuhku, kau tak hanya membunuh satu ekor serigala, tapi lima ekor serigala sekaligus. Sementara jika anak domba ini kumakan, tak akan berarti apa-apa bagi pemiliknya karena ia memiliki ratusan ekor domba. Dan aku yakin si induk domba ini tak butuh waktu lama akan melahirkan anak lagi. Sekali lagi renungkan wahai musafir. Kau tak ingin perjalanan sucimu ternoda bukan?”
Mendengar perkataan serigala, wajah Qudamah seperti tertampar. Ia tak percaya baru saja mendapatkan pelajaran hidup dari seekor induk serigala. Binatang yang dianggap rakus, jahat, dan kejam.
“Sekarang pergilah. Sampaikan permintaan maafku pada si pemilik anak domba ini.”
Merasa dirinya kalah, Qudamah pun pergi. Ia bergegas menuruni bukit untuk menemui kakek penggembala.
“Mana anak dombaku wahai anak muda?”
“Maafkan aku Kek. Aku tak berhasil membawa pulang anak dombamu,” ucap Qudamah sembari tertunduk.
“Kenapa? Apa kau kalah berkelahi? Tapi kulihat kau baik-baik saja.”
Qudamah terdiam. Ia bingung harus menjelaskan dari mana.
“Jawablah pertanyaanku wahai pemuda.”
“Ceritanya panjang Kek.”
“Maksudmu?”
“Akan kujelaskan. Tapi tak di sini. Mari kita cari tempat yang teduh.”
Qudamah dan kakek penggembala pun mencari tempat teduh, di ceruk tebing tempat Qudamah singgah sebelum mengejar serigala.
“Sebenarnya aku tadi sudah menemukan serigala yang mencuri anak dombamu, Kek. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Serigala itu tak mengizinkan aku membawa anak dombamu.”
“Hahaha… Maksudmu apa? Jangan bergurau.”
“Tidak Kek. Aku tak bergurau. Serigala itu dapat bicara layaknya manusia.”
“Omong kosong. Mana mungkin hewan dapat bicara seperti manusia.”
“Untuk apa aku berdusta. Bahkan ia tadi seolah menceramahiku.”
“Menceramahimu?”
“Ya, ia berbicara tentang hakikat hidup. Ia berkata bahwa apa yang baru saja terjadi bukanlah atas kehendaknya, tapi kehendak Allah. Jika aku mengambil anak domba itu, maka aku telah berbuat zalim dan menentang takdir Allah.”
“Dan kau percaya?”
“Percaya tidak percaya, Kek. Sepertinya serigala itu memang sangat butuh makanan.”
“Ia telah mencurinya dariku.”
“Ya, Kek, aku tahu. Tapi sesungguhnya ia adalah induk serigala yang baru saja melahirkan empat ekor anak. Ia butuh anak dombamu untuk menghidupi anak-anaknya. Ia juga berkata, jika aku membawa anak domba itu, bahkan jika terjadi perkelahian di antara kami dan induk serigala itu tewas, maka aku tak hanya membunuh satu ekor serigala tapi lima serigala sekaligus. Namun jika Kakek merelakan anak domba itu, tak berarti apa-apa bagi Kakek, karena Kakek telah memiliki ratusan ekor domba. Selain itu tak butuh lama bagi si induk domba juga dapat beranak kembali.”
Mendengar penjelasan Qudamah, kakek penggembala terdiam. Ia antara percaya dan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi ia tak melihat tanda-tanda bahwa Qudamah berbohong.
“Apa kata-katamu dapat dipercaya?”
“Demi langit dan bumi, Kek. Demi perjalananku yang suci.”
“Perjalananmu? Kau musafir?
“Iya, Kek.”
“Hendak kemanakah kau anak muda?”
“Mencari jejak-jejak Sang Rasul, Kek.”
“Rasulullah maksudmu?”
“Tentu saja, Kek. Siapa lagi.”
“Dari manakah asalmu anak muda?”
“Dari Timur, Kek. Kota Aswad.”
“Aswad? Sepertinya aku belum pernah mendengar kota itu?”
“Ya, Kek. Memang tak banyak orang yang tahu tentang kotaku. Sebuah kota kecil di Lembah Tsabit, di dekat Jabal ‘Abyad.”
Kakek Penggembala mengangguk-angguk kecil. “Baiklah anak muda, jika yang kau ceritakan benar adanya, aku telah menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Sesungguhnya di dunia ini tak ada yang tak mungkin.”
Qudamah mengangguk. “Sepertinya waktu zuhur sudah tiba. Mari kita salat, Kek,” ajak Qudamah, dijawab anggukan kakek penggembala.
Qudamah dan kakek penggembala pun turun ke sungai untuk mengambil air wudu. Namun baru beberapa gerakan wudu, tiba-tiba air sungai berubah keruh. Dan jauh di hulu sungai, terdengar suara gemuruh.
“Ayo lekas naik anak muda. Banjir akan segera datang!” seru Kakek Penggembala.
Mendengar perintah kakek penggembala, Qudamah pun segera berlari menjauh dari sungai.
“Ayo, Kek. Lekas naik!” ajak Qudamah. “Lihat itu, banjir sudah semakin dekat!”
“Tunggulah di situ.”
“Apa yang hendak Kakek lakukan? Lekas naik. Banjir akan menghanyutkanmu!”
Ajakan Qudamah tak dihiraukan Kakek Penggembala. Ia bergeming di tengah sungai seolah hendak menantang banjir. Dan tak lama berselang, banjir pun datang. Qudamah berlari kembali ke tepi sungai untuk melihat keadaan Kakek Penggembala yang barangkali telah terseret banjir. Namun alih-alih tenggelam, Kakek Penggembala justru terlihat duduk bersila di atas air seolah duduk di hamparan karpet. Tubuhnya perlahan menjauh ke hilir terbawa banjir.
Sementara itu, Qudamah terpaku di tepi sungai. Ia tampak belum percaya dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia juga tak menduga bahwa kisah-kisah ganjil selalu ada di setiap perjalanannya.
Kudus, 2020-2021
*M Arif Budiman, lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Buku kumpulan cerpen terbarunya Anjing Bersayap Malaikat (2020). Sekarang menetap di Kudus.