Oleh Deffy Ruspiyandy
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.” (QS.al-Isra : 7)
Hal ini benar aku alami. Aku tak tahu persis kapan hal itu terjadi, yang kuiingat saat itu adalah satu hari menjelang Idul Fitri. Usai melaksanakan salat subuh berjamaah, aku melihat ada seorang pria yang tampak sedih—seperti dirundung masalah. Beberapa rekanku berkata tidak perlu dibantu. Mereka beralasan kalau orang seperti itu sudah biasa menjelang Lebaran. Menurut mereka paling-paling ya nyari uang buat kebutuhan Lebaran.
Saat itu aku sempat goyah pula untuk membantunya. Setan pun berbisik biarkan saja, toh paling-paling dia itu mau menipumu.Tapi saat itu justru aku merasa khawatir dan sengaja kudatangi pria itu yang duduk di teras masjid. Dia tampaknya tak bisa berbahasa Sunda dan aku semakin percaya jika dia memang orang dari luar Bandung.
- Iklan -
Pria itu mengaku dari Jawa Timur dan dia kehabisan ongkos setelah barang-barangnya hilang di Bandung. Dia memperlihatkan laporan surat kehilangannya di sebuah Polsek yang kuketahui. Maka dia minta bantuan agar ia bisa pulang ke kampung halamannya karena jika ia tak ada ongkos maka tak akan bisa naik kendaraan.
Kubayangkan saat itu mau Lebaran maka ongkos mudik sudah pasti mahal. Aku merasa kasihan pula dan katanya dia akan tetap di masjid itu apabila belum ada yang membantunya. Kesannya agak memaksa namun aku tetap berbaik sangka kepadanya sebab bisa jadi dia memang orang yang sedang membutuhkan.
Segera saja kubawa orang tersebut untuk menemui istriku. Kuceritakan pada istriku kalau dia itu membutuhkan ongkos untuk mudik ke Jawa Timur. Istriku merasa iba melihat keadaannya hingga uang seratus ribu diberikan kepadanya dan pria tersebut tampak senang setelah mendapat uang dari istriku.
Bukan uang saja, melainkan istriku memberikan kue kaleng dan juga satu botol sirup merek ternama. Pria tadi saat itu mendoakan agar Allah membalas segala kebaikan bagi keluarga kami dan setelah itu dia langsung pamit meninggalkan kami berdua.
“Bapak yakin dia orang yang butuh ongkos? Ibu khawatir dia mah sepertinya penipu,” kata istriku setelah pria itu pergi.
“Mau dia benar atau mau dia menipu, biarkan saja. Tadi dia sendiri sudah mendoakan kepada kita. Semoga saja doa dia dikabul oleh Allah untuk kita,” jawabku agar kami tak mempermasalahkan dengan sesuatu yang telah diberikan kepada orang lain.
“Amiin…,” balas istriku.
Nah karena istri ada perlu untuk membeli bumbu masak dan juga beberapa keperluan dapur, maka istriku memutuskan untuk berangkat ke pasar. Aku pun disuruhnya untuk menunggu ketupat yang sedang dimasak. Padahal yang kutahu istriku pagi itu telah belanja ke pasar. Aku pikir mungkin ada yang lupa dibeli olehnya.
Namun setelah tiba di rumah, sepulang dari pasar, istriku bercerita ternyata dia melihat kenyataan jika pria tadi ternyata bisa berbahasa Sunda dan tertawa-tawa dengan temannya. Istriku tentu saja aneh dan bertanya kepada pedagang yang ada di sana. Ternyata pria itu masih orang Bandung dan tinggal di Kecamatan berbeda denganku. Istriku kesal saat itu karena benar dia dating ke rumah karena memang untuk menipu.
“Sudah saja kalau kita memikirkan dia terus bakal rugi dan sudah saja apa yang telah diberikan oleh kita hitung-hitung sedekah baginya,” jawabku agar istriku tak terus membahas itu.
“Sedekah sih sedekah,Pak… tapi cara kayak gitu tidak benar juga dan itu namanya penipuan,” timpal istriku sambal pergi ke dapur.
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (Q.S Al-Baqarah : 265)
Benar saja saja, sekitar pukul 10.00 WIB aku mendapatkan panggilan telepon yang kutahu kalau yang meneleponku itu adalah seorang pengusaha kue kering ternama di Bandung. Dia menyuruhku untuk datang ke rumahnya bakda zuhur. Aku mengiyakan. Katanya ada sedikit rezeki bagiku yang mungkin bisa digunakan olehku dan keluarga pada Lebaran tahun itu.
Usai melaksanakan salat zuhur, aku diantar adikku dengan menggunakan motornya menuju rumah yang dimaksud. Aku tak menunggu terlalu lama sampai akhirnya dia muncul dan memberikan sebuah amplop berwarna putih serta parcel buatklu. Aku pun berterimakasih dan langsung pamit pada saat itu pula.
Ketika sampai di rumah aku menyerahkan amplop itu kepada istriku dan parcel yang kubawa. Istriku tersenyum saat menerima amplop dan parcel itu.
“Pak, isi amplopnya itu ada satu juta rupiah. Alhamdulillah…,” ujar istriku dengan rasa senang.
“Makanya kalau mau memberi kepada orang itu mesti ikhlas. Karena Allah itu selalu membalas kebaikan dari orang yang melakukannya.” Aku berusaha mengingatkannya.
“Oh ya, Pak… kita juga belum bayar zakat fitrah. Sekalian saja kita ambil dari uang ini saja dan bapak yang bayar zakat fitrahnya kepada amil zakat,” pinta istriku.
“Oh ya kalau begitu….”
Aku tersadar dengan peristiwa yang kualami hari itu.Tentu saja Allah sangat berkehendak dengan segala ketentuan-Nya. Perintah bersedekah ternyata tak akan pernah merugikan dan tak mengurangi harta yang kita miliki. Bagiku, semua itu adalah pelajaran yang sangat berharga betapa kebaikan yang kita lakukan sekecil apa pun Allah pasti membalasanya. Bagi Allah tak ada yang sulit. Orang boleh menipu kita tapi Allah membalas beberapa kali lipat dengan apa yang telah kita keluarkan.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az Zalzalah: 7-8).
*DEFFY RUSPIYANDY, Penulis Lepas dan Penulis Ide Cerita di beberapa TV Swasta. Kini bermukim di Kota Bandung.