Cerpen S. Prasetyo Utomo
SEEKOR CELENG turun lereng gunung, ditemukan mati dini hari, kaku di ladang singkong. Tergeletak. Tak diketahui wabah penyakit yang menyerangnya. Tubuh celeng itu tidak terluka senjata tajam pemburu. Tidak tertembus tembakan peluru, tidak tertikam tombak. Tak ada tanda-tanda celeng itu mati diracun. Lik Kapir menggali liang cukup dalam dan menimbuni celeng mati itu dengan tanah. Tanpa teman, Lik Kapir mengubur bangkai celeng.
Menjelang siang di kebun sayur ditemukan seekor celeng terkapar mati. Lik Kapir – lelaki tua, tukang kebun pedepokan Ki Broto – segera mendatangi tempat itu. Tubuhnya kurus, keriput, namun masih perkasa. Ia bersemangat menggali liang lahat, dan menguburkan bangkai binatang liar itu. Orang-orang merasa jijik dengan bangkai celeng yang dirubung lalat. Tapi Lik Kapir tak menunjukkan perasaan jijik. Ia menguburkan celeng mati itu dengan tenang, hati-hati, dan menjaga kewajaran.
Hari berikutnya, usai salat subuh, seekor celeng kedapatan mati di dekat pintu gerbang pedepokan Ki Broto yang tertutup rapat. Lik Kapir menyeret bangkai celeng itu ke kebun belakang. Digalinya liang lahat yang dalam, dan dikuburlah celeng itu. Orang-orang menghindari bangkai celeng yang dirubung lalat hijau. Lik Kapir tak pernah merasa jijik. Ia mengubur bangkai celeng itu dengan hati-hati, dengan kecintaan akan pekerjaannya itu. Tak menggerutu.
- Iklan -
Menjelang senja ditemukan bangkai celeng tergeletak di semak-semak belukar, tak jauh dari kebun sengon. Lik Kapir bergegas datang menguburkannya. Orang-orang desa menyingkir dari bangkai celeng itu. Lik Kapir seorang diri membuat liang, dan menguburkannya dalam suasana sunyi. Orang-orang yang semula menemani Lik Kapir menggali liang lahat, meninggalkannya, tak ada yang muncul, hingga penguburan celeng berakhir dalam senyap seorang diri. Mereka ngeloyor pulang. Diam-diam mereka menolak mengubur bangkai celeng itu, dan menyerahkannya pada Lik Kapir.
***
PAGI masih gelap ketika Lik Kapir menemukan celeng mati di ladang dekat gubuk yang ditempatinya. Tergeletak di ladang jagung. Ia segera menyeret bangkai celeng itu untuk menguburkannya. Ia memang sempat cemas bila kematian celeng-celeng itu akan berakibat pada manusia. Tapi orang-orang tampak sehat, tak ada tanda-tanda terjangkit wabah penyakit. Warga desa di sekitar pedepokan tampak bergairah bekerja ke sawah-ladang, ke pasar untuk menjual sayuran, atau ke dasar sungai lereng gunung untuk menambang pasir. Tiap saat ia mendengar kabar celeng mati. Terkapar di semak-semak belukar yang tersembunyi.
Lik Kapir, tukang kebun pedepokan Ki Broto, yang hampir setiap malam terjaga di ladang menghalau sekawanan celeng, tak lagi melakukan kebiasaan mengusir binatang liar itu agar kembali ke lereng gunung. Ia meninggalkan gubuknya di ladang, mendatangi pendapa rumah Ki Broto, ikut serta minum teh, makan jadah bakar, dan menabuh gamelan. Ia sempat memandangi tombak pusaka yang berdiri mencuat di pendapa. Tombak pusaka itu tak lagi dipinjam Lik Kapir untuk mengusir celeng-celeng liar yang memasuki ladang. Ia tak lagi berjaga sepanjang malam, mengusir celeng-celeng yang merusak ladang.
Selama ini Lik Kapir memilih tinggal di gubuk kecil di ladang milik Ki Broto, tak jauh dari padepokan. Seorang diri. Tanpa teman. Ia menikmati hidup dalam kesendirian. Istrinya sudah meninggal. Dua anaknya, lelaki dan perempuan, sudah berkeluarga. Rumah Lik Kapir ditempati anak perempuannya yang baru beberapa bulan menikah.
“Tinggallah di pedepokan. Kau tak perlu lagi tidur seorang diri di gubuk,” pinta Ki Broto.
“Rasanya masih lebih nyaman tidur di gubuk.”
Lik Kapir yang biasa berjaga di ladang pada tengah malam, kini merasakan kekosongan jiwa. Tetap terjaga, dan melihat ladang-ladang yang temaram. Malam harinya ia kehilangan debar dada: bertemu sekawanan celeng, dan terjadi pertarungan, hingga celeng-celeng itu mati, terusir dengan tubuh penuh luka tombak.
***
TAK bertemu Lik Kapir pada waktu salat subuh di mushola pedepokan, Ki Broto bergegas mencari tukang kebunnya itu ke gubuk. Masih bersarung dan berpeci, Ki Broto melintasi pelataran pedepokan. Kabut senyap menyergap perasaan Ki Broto, dan ini di luar kebiasaannya. Ia merasa dalam dirinya telah terjadi sesuatu pergolakan: rasa kehilangan yang besar. Ia belum lagi mengerti sesuatu yang hilang dari kehidupannya. Ia berjalan melintasi ruang-ruang pedepokan, dan mencoba menemukan sesuatu yang hilang dalam hidupnya itu: keluarga, para penari, penabuh gamelan, dan perempuan-perempuan memasak di dapur. Tak ada yang kurang. Mereka bekerja dengan kegembiraan. Ia berjalan melintasi pelataran dan kebun belakang pedepokan. Tak ada celeng yang mati. Langkah Ki Broto meninggalkan pintu gerbang pedepokan. Memasuki ladang jagung yang baru dipanen. Belum terlihat Lik Kapir mencangkul di ladang seperti biasanya. Gubuk tempat tinggalnya serupa sangkar yang ditinggal burung.
Masih remang, ketika Ki Broto menyentuh pintu gubuk. Bergerit. Terbuka sedikit. Ia melongok ke dalam gubuk. Lik Kapir terbujur di amben beralas tikar pandan. Ki Broto mendekat. Menggoncang pelan. Dingin. Tak terbangun. Lelaki tua kurus ini tak sakit. Tak mengeluh apa pun. Ia, yang telah mengabdi pada keluarga Ki Broto berpuluh tahun tanpa keluhan, kini tiba-tiba meninggal dunia. Menahan tubuh bergeletar, Ki Broto merasa kekosongan jiwa maha dalam.
***
DALAM pemakaman Lik Kapir yang senyap, hanya dihadiri sedikit orang kampung sekitar pedepokan yang melayat, Ki Broto baru merasakan ketulusan jiwa lelaki tua itu. Lalu, siapa yang bakal mengurus pedepokan, merawat lahan-lahan dengan begitu tulus seperti Lik Kapir? Lelaki tua itu memilih tinggal di gubuk, mengusir celeng-celeng yang merusak ladang setiap malam. Ketika celeng-celeng itu bergelimpangan mati hingga ladang-ladang tak lagi dihancurkan sekawanan binatang liar itu, Lik Kapir meninggal.
Gus Sarwi turut serta melayat. Ia berada di antara orang-orang kampung dan kerabat Lik Kapir yang berduka. Ia, pemilik pesantren, penerus Abah Ajisukmo yang sudah meninggal, memiliki banyak kemampuan melihat orang-orang jahat dan baik dari kepalanya. Para santrinya percaya, bila Gus Sarwi memandang orang-orang jahat, akan melihat kepala mereka sebagai binatang: macan, kerbau, celeng, ular, atau monyet.
Ketika jenazah sudah diusung sampai ke makam, Gus Sarwi yang memimpin doa pemakaman Lik Kapir. Jenazah diturunkan pelan-pelan ke liang lahat. Tali pocong mulai dilonggarkan. Pemakaman yang senyap. Hanya dihadiri beberapa kerabat. Orang-orang kampung tak banyak yang mengantar pemakaman Lik Kapir yang berada di lereng bukit, agak jauh dari makam Abah Ajisukmo yang senantiasa dikunjungi para santri.
Gus Sarwi mengulurkan sebatang rokok, dan dengan begitu saja Ki Broto mengambil sebatang rokok itu. Diselipkan di antara dua bibirnya. Disulut, dan aroma rokok ini harum. Ketika dihembuskan asap rokok itu, Ki Broto tergeragap. Ia bisa melihat pelayat di sekelilingnya bukan lagi berkepala manusia. Beberapa di antara pelayat itu tampak berkepala celeng.
“Lihatlah Lik Kapir sekarang,” pinta Gus Sarwi. “Apa kepalanya masih tampak sebagai kepala manusia?”
Ki Broto memandangi Gus Sarwi, yang memiliki kewaskitaan bisa melihat kepala manusia seperti karakter kebinatangannya: celeng, macan, monyet, atau bunglon. Sebatang rokok yang diberikan Gus Sarwi ini, sudah disulut dan dihembuskan asapnya, membawanya melihat Lik Kapir berkepala manusia atau celeng.
Di balik hembusan asap rokok itu, Ki Broto memandangi orang-orang di sekitar makam, siapa yang berkepala manusia dan siapa yang berkepala binatang.
“Dalam pertemuanku dengan Lik Kapir terakhir kali di pesantren, ia meminta untuk diberi tahu, apakah ia tampak sebagai manusia atau berkepala binatang. Aku tak berani mengatakannya. Ia merasa dirinya bukan manusia yang bersih. Bahkan ia dinamai orang desa dengan panggilan Kapir, lantaran dulu menolak untuk datang ke masjid dan tak pernah berkunjung kiai.”
Ketika kain kafan yang membungkus kepala Lik Kapir di liang lahat tersingkap sesaat, Ki Broto sempat melihat wajah itu. Buru-buru kain kafan itu dirapatkan kembali modin yang mengubur mayat, dan dipasang potongan-potongan bambu di atas mayat, ditimbuni dengan tanah, hingga tampak sebagai gundukan tanah basah. Dua batu ditancapkan. Bunga ditaburkan di atasnya.
Ki Broto tak ingin mengatakan pada siapa pun penglihatannya mengenai kepala Lik Kapir. Ia tahu, Gus Sarwi sudah memahaminya. Gus Sarwi, pemilik pesantren paling besar di kampung ini, berjongkok, memimpin doa, dan suaranya bening, tenang, berwibawa. Orang-orang yang tersisa di makam mengangkat tangan. Angin tengah hari terasa sejuk, matahari tak menyengat sama sekali. Wajah Gus Sarwi bercahaya. Sepasang matanya bersinar.
Sambil berjalan pulang menuruni bukit makam, Ki Broto hati-hati bertanya, “Apa Gus Sarwi ingin mengatakan, saat celeng-celeng dari lereng gunung mati, dalam kehidupan bermunculan manusia-manusia dengan perilaku lebih keji dari celeng-celeng itu?”
Tersenyum tipis, berhenti menuruni jalan setapak meninggalkan bukit makam, Ki Broto menyalami Gus Sarwi. Jalan setapak bercabang. Mereka berpisah. Ki Broto menyusuri jalan setapak ke pedepokan, Gus Sarwi mencari jalan setapak ke pesantren. Langkah Ki Broto melintasi tepi ladang jagung dan di tengahnya terdapat gubuk yang selama ini ditempati Lik Kapir seorang diri. Gubuk itu tampak rapuh dan kusam. Dalam hidup Ki Broto belum pernah merasakan gubuk itu terasa begitu sunyi. (*)
Pandana Merdeka, Januari 2020
*S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961, penerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Menerbitkan buku cerpen Bidadari Meniti Pelangi (2005) dan Kehidupan di Dasar Telaga (2020) serta novel Tarian Dua Wajah (2016) dan Cermin Jiwa (2017).