Oleh Hamidulloh Ibda
Pada dasarnya tugas peneliti adalah meneliti. Hanya itu. Tapi apa yang disampaikan Kepala Badan Litbang dan Diklat (Kaban) Kemenag RI Prof. Dr. Achmad Gunaryo, MsocSc memberikan perspektif berbeda. Intinya, peneliti pengembang berbeda dengan peneliti pendidik alias dosen.
Hal itu beliau sampaikan dalam kegiatan Pengayaan Teori Penelitian Tahap 1 dan Sinkronisasi Program dan Kegiatan Puslitbang dan Balai Litbang Agama Semarang yang terlaksana di Grand Wahid Hotel, Salatiga, Senin (12/1/2021) sampai Jumat (15/1/2021) kemarin.
Sebagai penyimak yang baik, saya mencoba menguraikan pesan-pesan Prof Gunaryo tersebut. Ada beberapa poin yang menjadi catatan penting khususnya dalam dunia riset. Hal ini penting tentunya bagi dosen maupun guru dan utamanya bagi peneliti sendiri.
- Iklan -
Penelitian Tanpa Pengembangan
Dengan tegas, Prof Gun dalam forum itu menyebut selama ini banyak sekali penelitian yang tidak dikembangkan atau bahasa saya penelitian tanpa pengembangan. Bagi saya benar adanya karena hampir semua penelitian baik didanai negara atau mandiri rata-rata hanya mengegolkan pencairan dana dan tidak memikirkan tindaklanjut.
Meski demikian, tren riset saat saat ini sudah bagus. Arti bagus karena sudah berbasis luaran penelitian seperti artikel ilmiah publikasi jurnal, buku, atau HKI. Sebab, riset zaman dulu hanya berkutat pada laporan berhalaman-halaman yang justru mengaburkan substansi riset. Periset lebih sibuk mengurusi nota, anggaran, dan administrasi lain daripada fokus memikirkan luaran penelitian.
Lantas, apakah sekadar itu? Tentu tidak. Hilirisasi penelitian pada pengembangan hemat saya wajib ain. Sebab, penelitian harusnya dapat dinikmati kaum bawah, akar rumput, masyarakat kelas menengah ke bawah yang dapat menikmati secara praktis dari hasil penelitian tersebut.
Apa gunanya penelitian yang didanai dengan APBN atau APBD ketika hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas? Sebut saja artikel ilmiah, buku, HKI, itu semua hanya dapat dikonsumsi peneliti, dosen, mahasiswa, guru dan kaum akademik lainnya.
Lalu, apa impact bagi masyarakat kelas bawah? Apa tugas peneliti hanya dalam ranah keilmuan saja? Ya, idealnya sih tidak demikian. Karena perubahan besar sangat ditentukan perubahan cara berpikir. Cara berpikir ditentukan ilmu pengetahuan. Jika riset sebagai embrio ilmu pengetahuan secara praktis dapat dinikmati kaum non-akademik, mengapa tidak?
Urgensi Pengembangan
Saya sepakat dengan Prof Gun. Meski sangat berat. Sebab, pandangan guru besar mantan Direktur Pascasarjana UIN Walisongo ini mengharuskan adanya pengembangan yang secara metodologis ada pada research and development atau biasa disebut R and D.
Seluruh penelitian memang harus ditindaklanjuti. Sudah seharusnya hasil penelitian tidak hanya dibaca kaum intelektual, namun harus bisa dibaca, diimplementasikan kaum bawah. Tidak mudah memang. Karena peneliti yang sudah terbiasa menulis dengan bahasa-bahasa ilmiah namun akan susah ketika disuruh menulis dengan bahasa tutur atau bahasa rakyat.
Seperti contoh penelitian bahasa ngapak, coba itu dipecah-pecah menjadi tulisan-tulisan kecil yang mudah dipahami rakyat. Bisa dalam bentuk komik, cerita pendek, namun dapat dibaca anak-anak yang dapat disebut jelas manfaatnya. Ini adalah tantangan ke depan. Penelitian harus dikembangkan. Peneliti harus bisa mengembangkan penelitiannya.
Penelitian lain tentu dapat dilihat dari produk yang memanfaatkan teknologi atau bahan-bahan bekas. Misalnya istri saya membuat mobile learning media yang dapat dijadikan media pembelajaran berbasis digital anak-anak SD/MI. Saya dendiri mengembangkan wayang tumbuhan dan hewan beserta naskah dramanya. Tapi kan tidak semua peneliti pada disiplin ilmu tertentu dapat melakukan R and D tersebut. La kalau jurusannya tasawuf, perbandingan agama, kan susah meski semua itu bergantung penelitinya.
Dalam konteks ini, apa yang diharapkan Prof Gun tentu arahnya pada Balai Penelitian dan Pengembangan di semua lini instansi. Mereka secara posisi wajib melakukan penelitian sekaligus pengembangan. Karena bagi saya dua hal itu ya bagai dua keping mata uang. Jika demikian, maka konsekuensinya anggaran pada aspek pengembangan juga harus dinaikkan.
Peneliti di Balitbang itu berbeda dengan peneliti di perguruan tinggi. Kalau di perguruan tinggi itu harus tembus Scopus, Thomson Reuters, Web of Science, SINTA, karena harus memenuhi akreditasi, kenaikan pangkat, tapi peneliti di Balitbang tidak bisa seperti itu karena harus bisa research and development.
Maka penelitian harus dipublikasikan dan dikembangkan karena ada penelitian dengan biaya negara namun takut dipublikasikan. Jangankan dikembangkan, dipublikasikan saja takut kan aneh. Bisa jadi penelitiannya ada masalah, belum selesai atau tidak serius. Padahal jika sudah terpublikasikan, ada luaran, ada pengembangannya, suatu saat ketika hasil penelitian kita misalnya ditayangkan di TVRI, siapa yang bangga?
Jangan takut ketika hasil penelitian kita dipublikasikan tidak dibaca dosen, karena tujuan kita adalah perubahan di masyarakat, bukan sekadar dibaca dan disitasi dosen dan peneliti lain. Itulah perbedaan peneliti di Balitbang dengan peneliti di perguruan tinggi.
Jika peneliti di Balitbang harus dilanjutkan pada pengembangan, lalu bagaimana dengan peneliti yang berstatus dosen? Sudah jelas tugas dosen adalah mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat sebagai ruh dari Tridharma Perguruan Tinggi.
Jika peneliti di Balitbang juga terkendala di pengembangan karena alasan anggaran, nasib peneliti dosen juga sama. Anggaran pengabdian kepada masyarakat juga rendah jika dibandingkan dengan penelitian.
Keresahan Prof Gun tentu saya dan kawan-kawan dosen rasakan. Penelitian masih belum dapat maksimal diintegrasikan dalam pengabdian kepada masyarakat.
Lalu bagaimana idealnya? Peneliti di Balitbang wajib melakukan pengembangan. Meski susah karena hanya beberapa ruang lingkup tema penelitian yang dapat diintegrasikan dengan pemanfaatan teknologi kekinian.
Dosen sendiri sebagai peneliti juga harusnya mulai melakukan penelitian yang integral dengan pengabdian. Saat ini sudah banyak LP3M atau LP2M melakukan inovasi penelitian berbasis pengabdian atau pengabdian berbasis penelitian.
Teknisnya dapat menggunakan pendekatan, jenis, dan metode penelitian berbasis pemberdayaan seperti Community Development, Participatory Action Research (PAR), Asset Based Communities Development (ABCD), dan lainnya.
Luarannya pun baik peneliti pengembang dan peneliti pendidik juga harusnya dapat dikonsumsi masyarakat bawah bahkan anak-anak. Meski tidak semua rumpun disiplin ilmu dapat “dipaksa” menghasilkan sesuatu tepat guna bagi masyarakat, namun harusnya luaran dan pengembangan dapat dinikmati masyarakat dan termasuk anak-anak.
Lalu, bagaimana caranya?
–Penulis adalah dosen STAINU Temanggung.