Oleh: Pasini
Lelaki pucat itu mengangkat wajah begitu jendela bergerak terbuka. Ia bangkit dari duduknya di bawah meja yang kakinya tinggal tiga. Sebuah senyum menggantikan gundah. Aku menangkupkan dua telapak tangan di tengah dada, berisi permintaan maaf tidak bisa mengunjungi beberapa hari. Ia tampak mengerti. Kepalanya manggut-manggut memaklumi.
“Aku sibuk sekali,” bukaku, bukannya mungkin ini kedatanganku untuk yang terakhir kali. Entahlah. Seperti ada yang menjegal lidahku dan membelokkan arah kata. Padahal sudah dari semalam aku berencana dan begitu yakin akan sanggup melakukan. Agaknya benar, bicara bukan sekadar perkara membuka mulut dan melompatkan patah-patah kata. Ada intrik rasa yang membumbui.
“Apakah kau begitu menungguku?” tanyaku. Ia mengangguk. Ah, aku bodoh sekali. Sungguh kekonyolan menanyakan permasalahan yang sudah diketahui jawabannya. Lelaki itu hanya tinggal sendirian. Tidak pernah ke mana-mana. Jadi, kalau tidak menunggu, apa yang bisa dilakukan?
- Iklan -
Bukannya tanpa sebab kedatanganku kali ini dengan menggeraikan rambut. Itu tidak pernah kulakukan selama sepuluh tahun terakhir. Bukankah perayaan terbaik atas perpisahan adalah menekuni kembali apa yang tersaji pada lorong waktu?
Dulu sekali ia pernah menggeleng-gelengkan kepala. Tidak suka. Lalu membuka sak besar yang masih bertali. Aku ingat sak itu, baru kemarin dimasukkan Ayah ke gudang, berisi barang-barang lawas tak terpakai yang sudah disortir Ibu. Ia raih sisir yang sudah tanggal beberapa geriginya. Astaga, itu adalah sisir merah bata kesukaanku. Pantas saja di meja kamar tidak ada, berganti dengan biru muda. Rupanya Ibu yang menyingkirkannya.
Aku didudukkan pada dipan, sudah barang tentu rusak juga. Lalu ia berada di belakangku, merapikan rambutku dengan sisir usang itu. Beberapa kali gerakan tangannya terjeda saat aku mengaduh. Lalu melanjutkan kembali dengan lebih pelan dan hati-hati. Kepang kuda yang indah. Ia tersenyum. Aku juga.
Kejadian itu hanya selang sekian hari dari pertemuan pertama kami, suatu siang menjelang sore yang cerah. Pada musim penghujan, pekarangan samping rumah disulap Ayah menjadi kebun bayam yang rimbun. Tapi kemudian menjadi lapangan sepakbola pada sebuah kemarau yang sudah berlangsung beberapa bulan. Karena bahkan rumput-rumput liar pun baru bisa tumbuh setelah bersusah payah melawan kuasa tanah. Warnanya coklat memerah.
Seorang teman yang ceroboh salah mengarahkan bola. Mengenai jendela gudang yang dibangun beberapa langkah di belakang rumah. Aku yang diminta untuk mengambil. Bingkai jendela itu dalam keadaan terbuka, entah karena sudah lapuk kayunya atau saking kuatnya tenaga yang dilimpahkan kepada si bola.
Aku melompat ke dalam gudang lewat jendela yang terbuka tadi. Dan kutemukan ia. Seorang lelaki remaja, sepertinya beberapa tahun di atas usiaku. Bertelanjang dada. Hanya bercelana pendek lusuh. Wajahnya mengingatkan aku pada warna kapur tulis di kelas. Ia terkejut sebagaimana aku. Tapi penilaianku sendiri, aku adalah anak yang cukup pemberani. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari sebuah wajah yang pucat. Aku pernah menemukannya pada Ibu saat terkena angin duduk. Juga Ayah saat pulang kerja kemalaman plus kehujanan.
Ketika kukatakan maaf telah mengganggunya, lelaki itu hanya menggeleng saja. Tidak apa-apa, mungkin itu maksudnya. Ketika kukatakan lagi bahwa aku sedang mencari bola, ia malah sibuk membantuku. Celingukan di kolong dipan dan almari lapuk. Tapi justru ditemukannya benda itu tersangkut di dalam keranjang bambu dengan anyaman sudah agak renggang. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi teman-teman riuh meneriakkan namaku. Bergegas aku pergi. Padanya aku berjanji akan datang lagi. Ia mengangguk cepat sambil menatap penuh harap.
Pada malam harinya, panasku kambuh. Suhu tubuhku tinggi lagi. Ibu mengomel, “Sudah Ibu bilang. Kau kan anak perempuan. Malah ikut bermain bola. Harusnya menonton saja.”
“Bu, apakah ada seseorang yang tinggal di gudang belakang rumah kita?”
“Seseorang? Siapa maksudmu?” Ayah terheran-heran.
“Remaja lelaki. Wajahnya pucat dan…”
“Ini mungkin pengaruh demamnya, Yah. Ia kembali mengigau. Sepertinya besok perlu kita bawa ke dokter.” Ibu buru-buru memotong. Ia bahkan menyuruh Ayah ke kotak obat dan mengambil tablet penurun panas. Tak lupa mampir ke kulkas dan mengambil air dingin untuk mengompres.
“Sudah jangan bicara apa-apa lagi! Cobalah untuk tidur!” perintah Ibu.
Aku kecewa karena tak ada yang menanggapi. Aku dianggapnya sedang berhalusinasi.
Kekecewaan pula yang sering aku bawa pada lelaki pucat itu akhirnya. Tidak hanya terhadap Ayah maupun Ibu. Tetapi juga guru, teman-teman sekolah, belakangan kekasih. Padahal ia hanya mendengarkan tanpa sekali saja menimpali. Tapi aku begitu merasa dimengerti. Tiap hari, atau paling tidak dua hari sehali, aku pasti diam-diam pergi ke gudang dan menemuinya.
“Aku sudah punya kekasih, tapi Ibu tidak suka. Ia bilang lelaki itu tidak baik. Aku betul-betul kesal pada…” aduku tiga bulan lalu. Aku masih ingat reaksinya ketika itu. Wajahnya memerah dibalut keruh. Seperti orang marah, kecewa, luka, atau sejenisnya. “Ibu hanya tidak ingin kamu salah pilih.” Kutirukan pula sebagian kalimat Ibu yang lain di depan lelaki itu. Lengkap dengan kritik bahwa tangis Ibu yang begitu menderu-deru ketika itu menurutku terlalu dramatik. Karena kami pada awalnya hanya berbincang-bincang biasa laiknya anak dengan orang tua, sebelum kemudian aku membuat pengakuan telah memiliki kekasih dan berniat membawanya ke rumah agar ia dan Ayah bisa mengenalnya juga.
“Perjodohan telah disepakati. Seminggu lagi aku akan menikah dengan lelaki itu. Tapi, aku akan dibawanya ke luar pulau setelah resmi menjadi istrinya. Di sanalah ia selama ini tinggal dan bekerja.” Kalimat itulah yang sebenarnya hendak kukatakan sedari tadi sekaligus menjadi alasan kenapa bisa menghilang sampai lima hari. Acara lamaran, seserahan, pengajian, benar-benar menyibukkan.
Lelaki pucat itu membalikkan badanku. Kami berhadap-hadapan sekarang. Kepangan rambut yang indah. Tapi aku lebih terkesima pada bulir-bulir air mata yang membanjiri pipi tandusnya. Aku tidak bisa membaca maknanya. Sedih atau pun sebaliknya. Karena tangis bisa mewakili keduanya.
Dilepasnya kalung berbandul koin yang selama ini dikenakannya, dipakaikan kepadaku. Kuamat-amati. Bermotif seorang bayi. Sepasang matanya terus saja mengalirkan tangis. Kami berpelukan. Erat sekali. Tapi kurasakan tubuhnya mendadak rapuh, berangsur menjadi serbuk, tak bisa kupegang lagi, sebelum kemudian hilang sama sekali.
***
“Mungkin Mbah Tum akan mau menerima jika kamu yang memberikan. Dia kan sayang sekali sama kamu,” kata Ibu. Ibu juga pernah berkata, aku adalah bayi terakhir yang dihadirkan Mbah Tum ke dunia. Selepas itu, ia tidak menjadi dukun beranak lagi. Mbah Tum bilang itu karena tenaganya sudah senja sebagaimana usianya. Sudah banyak dokter dan bidan yang lebih mumpuni.
Lalu Mbah Tum menggantungkan sisa usia pada sepetak kebun singkong di samping rumah kayunya. Ia sebatang kara. Ibu kerap memberinya beras dan piranti lauknya. Tapi entah kenapa, belakangan ini ditolaknya. Beberapa orang menyebut mungkin Mbah Tum beranjak pikun. Ia kerap berbicara sendiri, berteriak-teriak macam orang ketakutan, lalu tiba-tiba berubah menjadi tangis sedu-sedan.
Siang itu, saat aku pergi ke rumah Mbah Tum, ia sedang menembang di beranda rumahnya. Caping Gunung yang serak, khas suara tua. Tapi enak juga.
“Dari mana kamu dapat kalung itu?” balasnya, bukannya menjawabku dengan salam juga sebagaimana aku menegurnya. Saking kagetnya, kaki Mbah Tum sampai mundur beberapa senti. Badannya gemetar sehingga tangannya perlu mencari-cari tiang penyangga.
“Lelaki berwajah pucat di gudang belakang rumah.”
Mbah Tum meraung-raung. Ia menelungkupkan sepasang tangan menutupi mukanya. “Duh, Gustiiii. Mantraku bekerja. Mantraku benar-benar bekerja…”
Aku membatu. Heran berbalut bingung.
“Aku sudah bilang pada Ratmi, aku adalah pembawa kehidupan dan bukan sebaliknya. Tapi Ratmi adalah teman baikku dan ia terus memohon. Ada janin dua belas minggu di perut anak gadisnya, peninggalan seorang berandalan…”
Mbah Tum tiba-tiba menceracau. Bak orang kesurupan. Mendiang Eyang dibawa-bawa.
“Ia masih segumpal darah merah. Pada suami Ratmi yang hendak menguburkan, kuminta untuk disertakan kalung yang telah kurapali mantra. Dengan begitu ia tetap bisa tumbuh dan kasatmata bagi orang-orang tertentu…”
Mbah Tum semakin tergugu. Aku masih membatu tapi pikiranku mendadak kacau.
“Aku tidak mau lagi apa-apa yang dikasih Retnowati. Itu adalah kesalahan terbesar dan begitu kusesali. Anak itu mengejar-ngejarku sampai kini. Sepertinya ia tidak akan melepaskan sampai setidaknya aku gila atau mati.”
Darahku mendadak panas. Aku pulang dengan berlari kencang bagai kuda jantan kesetanan.
Kucari lelaki pucat itu. Ia masih setia dengan senyum tertulusnya. Aku ingin memeluknya, keinginan yang melebihi sebelum-sebelumnya. Tapi seberkas cahaya terang menyergap cepat tubuhnya dan membawa ia pergi. Aku mengejarnya sampai ke luar gudang. Tetapi lelaki itu semakin dibawa tinggi oleh cahaya tadi. Wajah pucatnya berangsur cerah, begitu pun dengan tubuhnya yang tiba-tiba terlilit oleh jubah. Ia terus saja melambaikan tangan ke arah bawah.
Tangisku pecah makin keras, mewakilkan pesan: maafkan ketidak-adilan yang telah dilakukan Eyang maupun Ibu. Terima kasih telah menjagaku selama ini. Kamu bisa pergi dengan tenang sekarang. Abang layak menempati surga yang terindah.
SELESAI
*PASINI, tinggal di Karang Malang. Mitra BPS Kabupaten Ngawi sebagai tenaga entry data. Menulis cerpen yang pernah tersiar di sejumlah media cetak dan daring, antara lain: Media Indonesia, Femina, Jawa Pos, Republika, Cendana News, Detik, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Kompas.id.