Oleh Akhmad Idris
Zuhud sering diartikan sebagai sikap atau sifat untuk tidak mencintai urusan duniawi, sehingga Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan zuhud sebagai perihal meninggalkan keduniawian atau pertapan (bertapa). Imbas dari Pandangan seperti ini adalah terbentuknya sebuah opini publik yang menganggap bahwa kezuhudan hanya dapat diraih dengan sikap anti-duniawi.
Pertanyaannya, benarkah orang yang zuhud tidak boleh bersinggungan dengan urusan duniawi? Bagaimana Nabi Muhammad memaknai zuhud? Bagaimana Nabi Muhammad menindaklanjuti jika ada Sahabat beliau yang ingin meninggalkan keduniawian atau ingin menjadi seorang pertapa?
Jika ditelisik lebih jauh, maka akan ditemui sebuah simpulan bahwa zuhud itu bukan berarti anti-duniawi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat beberapa Ulama’ Salaf. Di antaranya adalah ungkapan Syaikh Nawawi al-Bantani dalam karyanya yang bertajuk Nashoihul Ibad yang menyebutkan bahwa zuhud adalah sikap seorang hamba yang memenuhi 5 perkara, yakni keyakinan total kepada Allah, tidak bergantung pada makhluk, ikhlas, sabar terhadap kezaliman, dan merasa cukup atas apapun yang dimiliki.
- Iklan -
Berdasarkan 5 hal tersebut, tidak ada ungkapan harus meninggalkan urusan duniawi. Bahkan hal terakhir (merasa cukup atas apapun yang dimiliki) justru mengindikasikan tentang kebolehan menggunakan urusan duniawi, namun dengan tolok ukur ‘secukupnya’. Setiap hal yang dimiliki ̶ menurut hemat saya ̶ merupakan wujud semiotik dari dunia itu sendiri, seperti istri; anak; profesi; tempat tinggal; dan sejenisnya yang harus disyukuri keberadaannya, meski kali sering tidak sesuai dengan keinginan hati. Konsep duniawi (istri; anak; profesi; tempat tinggal; dan sejenisnya) dalam sikap zuhud menurut Syaikh Nawawi al-Bantani sejatinya sejatinya bukan untuk diacuhkan, namun memunculkan sikap keberterimaan.
Jika manusia harus meninggalkan urusan duniawi, terus mau hidup di mana? Mau langsung ke akhirat? Pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani ini dikuatkan oleh pernyataan Syaikh Junaid al-Baghdady yang mengatakan bahwa zuhud adalah kondisi hati yang tidak gundah ketika tidak memiliki apapun. Semakin jelas bahwa inti dari zuhud adalah ketiadaan gundah di dalam hati, bukan ketiadaan dunia di dalam diri.
Nabi Muhammad sendiri memaknai zuhud dalam haditsnya riwayat Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah yang mengatakan bahwa “Zuhud terhadap dunia tidak berarti mengharamkan yang halal, tidak juga menyia-nyiakan harta; tetapi zuhud terhadap dunia adalah keyakinan seorang hamba kepada Allah yang lebih tinggi daripada keyakinan dengan kemampuannya sendiri dan lebih menyukai menerima pahala kesabaran meskipun musibah menyerang bertubi-tubi”. Hadits ini sudah cukup jelas dalam membatasi kriteria zuhud, yakni dengan ungkapan tidak harus mengharamkan yang halal dan ‘alergi’ terhadap uang. Esensi dari zuhud adalah kondisi hati yang yakin kepada Penguasa Semesta dan menerima dengan lapang dada atas setiap ujian dari-Nya. Bahasa sederhananya: zuhud adalah menggunakan dunia, tetapi tidak dimasukkan ke dalam hati.
Muhammad bin Sa’d dalam kitabnya yang berjudul at-Thabaqat al-Kabir menceritakan kisah tentang sahabat Nabi Muhammad (Ustman bin Mahzun) yang meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk menjadi seorang pertapa sekaligus ingin menjadi seseorang yang fakir. Mendengar hal tersebut, Nabi Muhammad berkata kepadanya, “Tidakkah Kau menjadikan Aku sebagai teladan? Aku menikah, Aku makan daging, Aku berpuasa tetapi Aku juga berbuka”.
Nabi Muhammad khawatir Utsman tidak memahami maksudnya, sehingga di kesempatan lain Nabi Muhammad menanyainya lagi: “Tidakkah Engkau meneladaniku?”.
“Apakah ada yang salah dengan yang aku lakukan, wahai Rasululullah?”, tanya Utsman dengan semangat.
“Engkau berpuasa setiap hari dan terus beribadah sepanjang malam tanpa henti”, jawab Nabi Muhammad. Ustman tidak membantah atas hal yang dikatakan Nabi Muhammad, sebab memang itulah yang dilakukan atas dasar ungkapan Nabi Muhammad tentang keutamaan sholat malam dan berpuasa. Nabi Muhammad melanjutkan perkataannya, “Jangan lakukan seperti itu, sebab matamu dan tubuhmu memiliki hak atas dirimu untuk beristirahat. Begitu pula keluargamu memiliki hak yang harus kau penuhi. Maka sholat dan tidurlah, berpuasa dan berbukalah”.
Kisah antara Nabi Muhammad dan Utsman bin Affan sudah seyogianya membuat manusia tidak ‘terlalu berlebihan’ dalam memaknai zuhud, misalnya dengan menganggap bahwa orang yang zuhud itu harus anti-daging dan hanya mengonsumsi sayur-sayuran serta makanan-makanan yang tak bernyawa. Riyadhoh seperti ini memang boleh-boleh saja (bahkan baik bagi orang-orang yang ingin melumpuhkan hawa nafsunya), namun kesalahan fatal dari anggapan ini adalah menyebut seseorang yang memakan daging sebagai orang yang tidak zuhud. Seseorang tetap bisa disebut sebagai orang yang zuhud meskipun mengonsumsi daging, asalkan mengonsumsinya tidak berlebihan (secukupnya) serta tidak mengeluh ketika tidak bisa mengonsumsinya. Pada akhirnya, manusia yang zuhud adalah mereka yang memanfaatkan segala urusan duniawi dengan bijaksana serta dengan hati yang senantiasa berserah & berterima kepada-Nya. Wallahu A’lam.