Oleh Hamidulloh Ibda
Angka buta aksara pada kaum hawa ternyata lebih besar dibandingkan dengan kaum adam. Apakah ini kebetulan, atau ada faktor sosial yang menjadikan perempuan dominan buta aksara daripada laki-laki? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut 3,4 juta jiwa (2,07 persen) penduduk Indonesia masih buta aksara. Rinciannya, jumlah Iaki-laki 1.157.703 orang dan perempuan 2.258.990 orang (Kompas, 4/9/2018). Data itu tersebar di 11 provinsi dengan rentang usia 15-59 tahun yang didominasi perempuan.
Data di atas menjadi bukti Sumber Daya Manusia (SDM) perempuan masih rendah. Di sisi lain, problem kaum hawa masih menempati ruang-ruang “belakang” dengan menjadi pembantu, pelacur, atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Survei World Bank pada akhir 2017, ada sekitar 9 juta TKI di luar negeri yang didominasi perempuan (Kompas.com, 23/4/2018). Problem ini harus dituntaskan dengan memberantas buta aksara pada perempuan. Jika perempuan Indonesia sudah melek aksara, dalam jangka panjang mereka akan mencerdaskan anak-anaknya. Secara strata sosial, mereka dapat bekerja laik dan menempati posisi sama seperti laki-laki.
Buta aksara tak sekadar urusan pemerintah dan menjadi hal biasa. Namun, buta aksara adalah masalah dasar kemajuan bangsa, karena tanpa SDM kuat, bagaimana mungkin suatu bangsa dapat maju? Wajar jika UNESCO pada Deklarasi Dakkar 2013 menegaskan masalah tuna aksara menjadi masalah dunia yang harus segera dituntaskan.
- Iklan -
Indonesia sebagai negara berkembang harus serius menuntaskan buta aksara pada perempuan. Sampai 1 Juli 2019, BPS menyatakan jumlah penduduk Indonesia 268.074.600 jiwa, total perempuan sekitar 132,89 juta jiwa dan sisanya laki-laki. Dari jumlah itu, masih ada sekitar 2.258.990 perempuan buta aksara. Maka menuntaskan buta aksara pada perempuan menjadi kunci memajukan bangsa. Sebab, perempuan adalah ibu yang menjadi “guru pertama” bagi anak-anaknya. Bagaimana masa depan anak bangsa jika ibunya saja buta aksara? Tentu ironis.
Perempuan Dilarang Terbelakang!
Hukum gender selama ini sudah menempatkan perempuan setara bahkan sama dengan laki-laki. Banyaknya kaum hawa bekerja sebagai anggota dewan, bupati, walikota, dekan, rektor, menjadi bukti mereka memiliki potensi sama dengan laki-laki. Maka paradigma “dapur, kasur, sumur” atau kanca wingking pada kaum hawa harus diluruskan. Pasalnya, saat ini porsi kesetaraan di berbagai level pekerjaan, status sosial, budaya, pendidikan, dan politik memberi peluang besar pada perempuan.
Pembangunan kualitas SDM sangat ditentukan ibu-ibu cerdas yang menjadi “pendidik pertama” bagi anak-anaknya. Maka diktum al-ummu madrasatul ula (ibu adalah sekolah utama) harus dioptimalkan dengan menyiapkan perempuan literat dan memiliki kecerdasan, jenjang pendidikan, dan hak sama seperti laki-laki.
Kesuksesan pendidikan anak juga ditentukan ibu yang cerdas. Untuk itu, konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap kehidupan, hanya wilayah domestik, atau urusan masak, macak, manak (masak, berhias, beranak) harus dihapus sejak dini. Sebab, tidak ada orang hebat tanpa ibu yang hebat pula. Saat ini sudah tidak zamannya perempuan terbelakang karena sudah banyak di antara mereka tampil sebagai pemimpin, pelopor, bahkan pejuang.
Akan tetapi, konstruksi kesetaraan gender masih paradoks dengan data buta aksara yang ada, karena perempuan masih menempati urutan pertama. Meski perempuan kodratnya memang tidak “setara” dengan laki-laki, namun mereka harusny tidak sekadar menjadi ibu biologis bagi anak-anaknya. Mereka harus menjadi ibu ideologis, cerdas, literat, dan dilarang buta aksara karena menjadi “pintu pengetahuan” bagi anak-anaknya. Maka dibutuhkan strategi pemberantasan buta aksara yang terstruktur, sistematis, masif, dan istikamah pada perempuan.
Pemberantasan Buta Aksara
Pemberantasan buta aksara pada kaum hawa berbeda dengan laki-laki. Secara kodrati, perempuan dominan menggunakan perasaan daripada akalnya. Meski demikian, tidak berarti perempuan lebih bodoh karena mengutamakan aspek estetika daripada logikanya. Ada beberapa formula memberantas buta aksara yang ramah gender. Pertama, pemberantasan buta aksara berbasis perempuan.
Caranya, menurut Elizabeth (2007:135) dengan menciptakan iklim kondusif untuk mengembangkan potensi perempuan, memperkuat potensi (modal) sosial perempuan untuk meningkatkan mutu hidupnya, dan pemberdayaan perempuan dengan melindungi dari penindasan dan kebergantungan. Selain literat, mereka juga memiliki bekal kemandirian karena diberdayakan sesuai prinsip olah pikir, olah rasa, dan olah raga sebagai satu kesatuan dalam pemberantasan buta aksara.
Kedua, memberikan ruang spesial dan akses pendidikan merata pada perempuan dari jenjang SD sampai perguruan tinggi. Sebab, faktor utama perempuan buta aksara bukan karena tidak memiliki harta, namun karena mereka tidak mau atau putus sekolah.
Program SM3T, Paket A, Paket B, Paket C, atau sekolah nonformal lainnya harus memberi ruang khusus pada perempuan dengan usia berapapun. Harus ada program khusus agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung, dan belajar literasi sesuai perkembangan zaman. Khususnya, bagi ibu-ibu rumah tangga, petani, buruh, pembantu rumah tangga yang putus sekolah.
Hal ini senada dengan Inpres Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA). Ketika formula ini dilakukan, maka ke depan tidak ada perempuan buta aksara di negeri ini. Pasalnya, ironis jika di era Revolusi Industri 4.0 ini masih ada perempuan buta aksara.
Ketiga, pemberdayaan berbasis kebijakan, aksi sosial politik, dan pemberantasan buta aksara berbasis lifeskills atau softskill. Bagi anak-anak dan remaja perempuan yang statusnya di pelosok, yatim piatu, pengemis, gelandangan harus diberi ruang untuk mengenyam pendidikan melalui beasiswa atau pendidikan gratis berbasis lifeskills atau softskill.
Bagi perempuan di atas 17 tahun, harus ada pemberdayaan khusus yang memberi ruang belajar yang diintegrasikan siap bekerja. Melalui balai latihan kerja, kursus, training, lokakarya, dan sejenisnya, perempuan akan lebih tertarik belajar karena mereka sudah membutuhkan pendapatan untuk hidup. Riset Marwanti, dkk (2011:99) menyebut model pendidikan keaksaraan terintegrasi life skills berbasis potensi daerah sangat efektif memberantas buta aksara.
Keempat, mendirikan kelompok belajar dan wirausaha. Sebagai makhluk telaten, rapi, dan menyukai keindahan, pemberantasan buta aksara berbasis wirausaha ini akan memudahkan perempuan dalam belajar literasi dan berkreasi dengan berbagai produk. Mulai dari pakaian, souvenir, tas, baki lamaran, dan lainnya.
Kelima, pemberantasan buta aksara berbasis komunitas literasi. Komunitas ini dapat bersinergi dengan taman baca, rumah baca, perpustakaan, PKK, ormas, atau komunitas literasi perempuan yang memiliki kegiatan membaca, menulis, meresensi, mendata, dan memproduksi karya. Mulai karya jurnalistik, karya ilmiah, karya sastra, hingga karya seni. Wujudnya dapat berupa tulisan, gambar/lukisan, majalah, tabloid, buku, tulisan di blog, video Youtube, dan lainnya. Dengan demikian, mereka mendapat dua bekal sekaligus, yaitu bekal hidup literat dan bekal ekonomi.
Kelima formula di atas ketika dilaksanakan konsisten, maka menjadi gerakan revolusioner memberantas buta aksara pada perempuan. Sebab, perempuan literat akan melahirkan generasi literat pula. Lalu, kapan kita memulai pemberantasan buta aksara pada perempuan?
-Tulisan ini pernah dimuat Satelitpost, 15 Juli 2019.