Oleh Ahmad Nahrowi
Seuntai syair Arab berbunyi: الاُمّ مدرسة الأُولى اذا اعددتها اعددت شعبا طيّبا
Artinya: “Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkanya maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik.”
Kita semua tahu, pendidikan pertama manusia adalah ibu, satu tahun lebih dididik oleh sang bunda, Maka tidak salah dalam islam mayoritas ulama menganjurkan memilih istri itu berdasarkan agamanya dahulu, mengalahkan harta dan rupa. Dengan penuh kasih sayang bunda menimang dan berbagi nutrisi kepada kita melalui ASI (Meskipun banyak sekarang ASI tergantikan dengan susu sapi)
- Iklan -
Setelah itu lingkungan keluarga menjadi penentu akan berperilaku seperti apa generasi kita, selama enam tahun berada dilingkungan pendidikan keluarga, masa kecil kita kenyang dengan pendidikan adab, tatakrama, agama, dan pendidikan jiwa lainya. Dimasa ini kita dapat ilmu bagaimana tidak boleh memanggil orang yang lebih tua dengan namanya, makan harus dengan duduk, sopan-santun, diajari Boso Jowo alus (jika orang jawa) diajari cara berwudu (khusus muslim) dan dasar-dasar agama lainya.
Nah, memasuki usia tujuh tahun, ketika kita menginjak pendidikan Sekolah Dasar (SD) disinilah celaka bermula, kok celaka? celaka dari mana? jangan ngawur anda? sebentar, bernafas dulu sambil diresapi tulisan ini, disambi nyeruput kopi, atau ngemil rencekan rengginang biar ndak tegang, karena tulisan ini lumayan panjang.
Gimana tidak celaka, pendidikan adab, tatakrama & agama yang sebelumnya kita lahap kenyang di lingkungan keluarga, tiba-tiba terpinggirkan, terjajah dengan materi-materi sekolah formal. Sedikit demi sedikit otak kita dijejali dengan angka-angka, kata-kata, cerita-cerita, yang selanjutnya berkembang menjadi pelbagai displin ilmu, IPA, Matematika, IPS, TIK, Sejarah, dlsb. Khusus pelajaran sejarah ini sering mengalami distorsi (penyelewengan) fakta.
Ketika usia kita belum matang, masih kekanakan dan labil, kita langsung dijejali dengan pelajaran yang mengarah ke materi’il dan bersifat keduniawian. Sedangkan pelajaran adab yang sebelumnya kita lahap, perlahan lenyap tersingkirkan. Pelajaran adab yang sebelumnya menjadi lauk utama dalam porsi pendidikan kita, lama kelamaan menjadi sambal, ya hanya menjadi sambal, layaknya sambal yang dalam formasi makanan sering disisihkan, terpinggirkan, dimakan seperlunya, bahkan dibuang gara-gara tidak doyan.
Lingkungan keluarga yang mendidik kita sebelumnya supaya menjadi manusia yang berbudi pakerti baik dan benar, semuanya buyar ketika sudah memasuki sekolah formal, dan sesuai dengan tulisan saya di part satu yang lalu, masuknya sekolah formal berasal dari kolonial, yang menjadikan mindset kita lebih ke material.
Akan beda halya, jika kita masyarakat Indonesia pendidikan dasarnya mempertahankan sistem pesantren yang didirikan ulama-ulama kita dahulu, mindset atau pola pikir kita akan tetap terjaga.
Bukankah pendidikan formal itu sudah ideal? Kita melahap ilmu-ilmu alam, sosial, matematika dan lain-lainya?
Jika dibilang ideal ya ideal, tapi cukup disayangkan, mindset kita menjadi materialistis, bayangkan anak-anak yang masih naif, polos, menjelang pertumbuhanya sudah disuapi dengan pelajaran duniawi. Okelah hal itu akan menjadikan generasi kita tumbuh cerdas dan pandai, tapi kecerdasanya tidak berbanding lurus dengan budi pakerti. Hasilnya apa? Jelas terpampang didepan mata kita, para koruptor, makelar, mafia, dan para parasit negara lainya lahirnya dari orang-orang berotak jenius, cerdas, cerdik hasil dari jebolan-jebolan pendidikan formal. Ya gimana lagi, wong sedari dini sudah diajari materi.
Akan beda ceritanya jika kita menganut sistem yang dibawa pendahulu kita, dimana setelah turun dari ayunan keluarga, kita masuk lagi dipendidkan Madrasah Diniyah atau bahasa singkatnya Ngaji, setiap hari terus disuapi dengan ajaran-ajaran religi ukhrowi, mulai dari kitab alala, fasholatan, pegon, lanjut ke F.Qorib, Ahklakulil Banin, Ta’lim muta’alim, hingga ke kitab-kitab lebih tinggi lainya Ihya’, shohih bukhori, fathul wahab, Al-Muhadzab dll. Sebuah ajaran-ajaran yang penuh dengan pakerti dan jauh dari materi
Nanti ketinggalan zaman dong? jangan risau, pelajaran-pelajaran yang berkaitan tekhnologi, tetap dilahap, namun sifatnya hanyalah ekstra. bukan menjadi materi utama. Jangan khawatir tidak bisa matematika karena sudah ada ilmu falakiyah dan faroid, jangan khwatir buta sejarah ada kitab ahlal musamaroh karangan Syekh Senori Tuban dan kitab tobaqot- tobaqot besar lainya. tidak usah risau bisu bersastra, ada ilmu balaghoh didalamnya.
Nah nanti ketika ajaran-ajaran kitab tersebut telah kenyang dilahap, baru kita menyantap pendidikan formal, jadi ketika jiwa, Moral, dan adab talah kukuh dan kokoh, baru mengenyam pendidikan formal. Maka ketika belajar, niatnya benar-benar tertata, niat ikhlas lillahi ta’ala, hasil ilmunya untuk diamalkan bukan diselewengkan. Perihal ini, kita bisa menengok pada putra-putri kiai pesantren salaf, dimana pendidikan formal rata-rata cuma dilahap enam sampai sembilan tahunan, setelah itu lanjut belajar di Madrasah Diniyah.
Hasilnya, kita bisa melihat, lulusan Pondok Pesantren ketika berada dijenjang perguruan tinggi, akhlaknya lebih tertata, kecerdasanya pun juga berani bersaing, dan karena niat berangkat tholabul ilminya lillahi ta’ala, ketika menduduki jabatan penting dinegeri ini, akan takut jika tidak amanah, boro-boro korupsi, wong digaji saja sudah alhamdulillah, ya karena sebelum-sebelumnya sudah akrab dengan khidmah yang imbalanya bukan materi melainkan barokah.
Maka kegaduhan-kegaduhan di negeri ini bisa terhindarkan dari oknum-oknum parasit yang mengandalkan gelar, kepandaian, jabatan untuk mendulang kekayaan semata. Untung saja wacana Full Day School yang ramai tahun kemarin tidak terealisasi, jika terealisasi betapa ngeri negeri ini, dimana ilmu bercampur aduk dengan materi.
Kembali lagi saya utarakan, saya bukan anti formal, bukan benci pendidikan formal, kombinasi Madrasah Diniyah (Madin) dengan pendidikan formal ini sangat serasi, namun sangat disayangkan, Madin yang notabene anak sulung pendidikan dinegeri kita, dewasa ini terpinggirkan, termarjinalkan.
Point penting dari tulisan saya adalah: pertama, pelajaran agama di sekolah formal ditambah, khususnya kaitan adab. Kedua wali murid jangan membebani anaknya ketika sekolah untuk besar nanti bisa bekerja, karena itu ulah Belanda yang menjadikan kita bermental anak buah. Biarkan sang anak menemukan jati dirinya. Ketiga, Pengajar sekolah ketika berangkat benar-benar niat mendidik, bukan berangkat ngajar karena Gaji.
Keempat, Pemerintah seyogyanya lebih dan lebih lagi perhatian kepada madrasah dipelosok-pelosok negeri ini, karena banyak fasilitas yang tidak layak. Kelima, Kepada teman-teman, kenapa kalian tamat SD berhenti ngaji, apa kalian gengsi? Selama kau masih bisa bernafas Ngajilah terus, jangan nuruti gengsi, kalau bisa Mondok sampai Rabi, Ngaji sampai Mati. Terakhir. jangan takut memondokan anaknya.
Sekian, hanya sekedar opini dan wacana saya saja, jika ada ketidak sesuain, saya bersedia untuk ditegur, karena saya juga masih berproses belajar. Wallohu a’lam.
-Santri Pon. Pes Lirboyo HM Al-Mahrusiyah, Mahasiswa IAI Tribakti Kediri. Redaktur Pers Elmahrusy, Author Almahrusiyahlirboyo.sch.id