Oleh Al-Mahfud
Tepat tujuh puluh satu tahun yang lalu, sejarah mencatat Kota Bukittinggi Sumatera Barat sebagai saksi berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Belanda yang saat itu melancarkan Agresi Militer II berhasil menguasai Yogyakarta (yang saat itu menjadi ibu kota negara) dan menangkap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Dalam kondisi darurat karena kekosongan pemerintahan, Soekarno memberi mandat pada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat.
Mr. Sjafruddin segera menggelar rapat dengan Gubernur Sumatra, Teuku Muhammad Hasan. Hasilnya, pada 19 Desember 1949 dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Mr. Sjafruddin sebagai ketua dan Teuku Muhammad Hasan sebagai wakil ketua. 22 Desember 1948, sejumlah tokoh Republik di Sumatra Barat berkumpul di Halaban, sebuah nagari yang berjarak sekitar 56 kilometer dari Bukittinggi. Hari itu juga, konsep pemerintahan darurat disiapkan sehingga tercetuskan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Susunan kabinet disusun. Sjafruddin sebagai pendiri PDRI merangkap jabatan Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, sekaligus Menteri Luar Negeri. Sehari usai PDRI dibentuk, melalui siaran radio, Mr. Sjafruddin berpidato ke seluruh masyarakat Indonesia dan menegaskan bahwa Republik Indonesia masih ada. Ia menegaskan bahwa negara Republik tidak cuma bergantung pada Soekarno-Hatta. Mr. Sjafruddin juga memompa semangat para pasukan untuk terus melakukan perlawanan kepada Belanda.
- Iklan -
“….Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi. Pemimpin-pemimpin yang lain akan putus asa. Negara RI tak tergantung pada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga buat kita. Patah tumbuh, hilang berganti! Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkan hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh” seru Mr. Sjafruddin dalam pidatonya (Rinaldo: 2016).
Sejarawan Sumatra Barat Mustika Zed, dalam Somewhere in the Jungle: Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1997) seperti dikutip dalam tirto.id (19/12/2017), setelah Yogyakarta bahkan Bukittinggi diduduki, “Belanda mengumumkan bahwa Republik sudah tak ada lagi”. Tapi, berkat PDRI, “ada perkembangan baru yang tak terduga oleh Belanda: membuat keadaan krisis kepemimpinan Republik segera dapat dipulihkan kembali”.
Usia Republik yang masih sangat muda terancam tamat jika tak segera diambil tindakan, sebab saat itu Ibu Kota Yogyakarta berhasil diduduki Belanda dan Soekarno-Hatta berhasil ditawan. Atas dasar tersebut, Mr. Sjafruddin dan tokoh-tokoh lain seperti Tengku Mohammad Hasan, Soetan Mohammad Rasjid, juga Loekman Hakim, mendeklarasikan PDRI.
Pendirian PDRI menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sejarah 71 tahun yang lalu tersebut kemudian diabadikan dalam peringatan Hari Bela Negara (HBN) setiap tanggal 19 Desember. HBN ditetapkan melalui Keppres No. 28 Tahun 2006 oleh Presiden RI ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono. Peringatan Hari Bela Negara menjadi pengingat sekaligus pendorong bagi bangsa ini untuk selalu berjuang membela, merawat dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menjaga Persaudaraan
Bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara (polkam.go.id). Bela negara tak sekadar dalam arti fisik dengan mempertahankan negara dari serangan atau agresi dari pihak-pihak yang berusaha mengancam, menduduki, dan menguasai negara. Semangat bela negara juga bisa diwujudkan dengan perjuangan menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari berbagai persoalan yang sedang mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Misalnya, bentuk ancaman terhadap NKRI tersebut adalah merebaknya kekerasan, intoleransi, dan pertikaian antarsesama warga bangsa yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Juga merebaknya radikalisme atau ideologi-ideologi ekstremisme agama yang telah terbukti menciptakan kekerasan dan mengancam keharmonisan di tengah masyarakat. Merebaknya kebencian, hoaks, hate speech, dan berbagai bentuk pertikaian di media sosial, hingga peristiwa bom bunuh diri yang memakan korban adalah bentuk-bentuk ancaman bagi bangunan persaudaraan dan persatuan bangsa.
Jika kita cermati, berbagai persoalan tersebut menggambarkan bagaimana Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan seperti rasa saling menghormati, toleransi, persaudaraan, dan persatuan antarwarga bangsa sedang terkikis. Rasa saling menghormati yang terkikis membuat orang gampang menyalahkan, menyerang, dan bahkan saling melukai sesama. Dari sanalah, pertikaian dan perpecahan bisa timbul sehingga mengancam keutuhan bangsa.
Melihat semua itu, momentum Hari Bela Negara setiap 19 Desember mesti menjadi saat bagi kita untuk kembali menguatkan nilai-nilai kebangsaan dan semangat Pancasila. Pemerintah, para pejabat, hingga masyarakat luas, semua mesti menjiwai semangat Bela Negara dengan menjalankan prinsip-prinsip hidup dalam Pancasila sebagai filosofi dan dasar negara. Seperti memegang teguh sikap saling menghormati antarumat beragama, menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan sosial, persatuan, musyawarah, dan semangat gotong royong. Jika nilai-nilai tersebut terus dijaga dan ditumbuhkan dalam kehidupan berbangsa, maka itu akan menjadi benteng yang dengan kokoh menopang tegaknya bangunan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-Al-Mahfud, Penulis, dari Pati. Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media.