Cerpen M Arif Budiman
Har duduk menepi ketika Wir, anaknya, menepuk pundak Har. Sejenak Har melepas lelah. Lalu bersandar di bawah pohon kamboja. Peluh perlahan membanjiri tubuh legamnya hingga semakin memperjelas otot-ototnya yang mengular. Meski demikian Har sudah tak sekokoh dulu sebab usia perlahan terus menggerogotinya.
Sudah hampir setengah abad Har mengabdikan hidupnya sebagai penggali kubur. Meski demikian Har bukan tak ada pilihan pekerjaan. Bahkan sudah sangat sering Har mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih layak dan bergaji lumayan. Namun Har selalu menolak dengan halus.
Ada alasan tersendiri mengapa Har selalu menolak tawaran pekerjaan yang dianggap lebih layak. Bagi Har, menjadi penggali kubur sudah menjadi panggilan jiwanya. Bahkan ia telah bersumpah pada dirinya sendiri akan terus menjadi penggali kubur hingga akhir hayatnya. Sumpah Har bukan tanpa alasan. Kenangan pahit masa silamlah yang membuatnya mantap menjadi penggali kubur.
- Iklan -
Berawal dari suatu pagi. Kala itu Har baru berumur 15 tahun. Ia dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit. Bapaknya ditemukan tewas di ladang tebu dengan luka berlubang di kepala. Seluruh keluarga larut dalam duka. Mereka tak menyangka bahwa Pak Karta, bapak Har akan pergi dengan cara yang tragis.
Kematian tragis Pak Karta bukan tanpa sebab. Keterlibatannya dalam kelompok kiri atau wong kiwo yang konon melatarbelakanginya. Ia telah menjadi incaran utama bagi kelompok kanan atau wong tengen.
Har memang pernah mendengar rumor bahwa bapaknya ikut dalam kelompok terlarang dan melakukan pergerakan bawah tanah. Bahkan bapaknya masuk dalam jajaran pengurus. Hampir seluruh pengikutnya adalah kalangan kelas bawah; petani, buruh, dan juga anggota tayub miliknya. Tujuan dari pergerakan itu untuk memperjuangkan kaum bawah yang mereka anggap selalu diperlakukan tak adil oleh penguasa. Namun pergerakan mereka justru dianggap sebagai kelompok pembangkang. Apalagi Pak Karta dan kelompoknya kerap melakukan kritikan-kritikan pedas terhadap penguasa melalui lirik lagu-lagu pengiring tayub yang ia pimpin.
“Kita harus terus bergerak. Apapun caranya. Tapi awas, kita lakukan secara senyap. Jangan sampai wong tengen tahu bahwa setiap pementasan yang kita lakukan membawa misi,” ujar Pak Karta suatu malam pada orang-orang yang berkumpul di rumahnya.
Sejak saat itu, Har tahu bahwa bapaknya memang menjadi pentolan wong kiwo di desanya.
***
Keterlibatan Pak Karta dalam kelompok wong kiwo membuat Har selalu dirundung rasa was-was. Ia selalu mencurigai tiap gerak-gerik orang-orang yang menatap rumahnya dengan asing. Suatu kali ia memukul seorang tukang mindring yang duduk menghadap rumah Har lantaran gerak-geriknya mencurigakan.
“Kamu pasti mata-mata mereka kan?” teriak Har sembari mengayunkan tinjunya ke muka si tukang mindring. Beruntung Bu Karta dan beberapa tetangga melerainya. Namun bukan Har jika ia mudah menyerah. Ia pun kembali mendaratkan tinjunya dan mengenai lambung si tukang mindring. Har baru berhenti setelah Pak Karta menampar pipi Har dan menyeretnya ke dalam rumah.
“Kamu bikin malu Bapak!”
“Tapi dia mata-mata Pak. Aku sudah memergokinya beberapa kali. Bahkan suatu hari aku juga memergokinya tengah mengintip ke dalam rumah.”
“Apa yang perlu dicurigai? Memata-matai untuk apa? Tidak ada barang-barang berharga di rumah ini!” dengus Pak Karta.
“Tapi Pak. Dia jelas-jelas ingin berbuat jahat di rumah kita.”
“Cukup!” pekik Bu Karta. “Kalian seperti bocah cilik saja. Apa kalian tidak malu dengan tetangga?”
Sejenak suasana hening.
“Aku hanya mengkhawatirkan keselamatan Bapak. Tidak lebih,” pungkas Har, lalu berkelebat ke kamarnya. Dan sepekan kemudian apa yang Har khawatirkan pun terjadi. Bapaknya ditemukan tewas di ladang tebu tak jauh dari rumahnya. Har sendiri ikut menguburkan bapaknya. Sejak saat itu Har bersumpah akan menjadi penggali kubur hingga akhir hayatnya.
***
“Aku dengar orang yang akan dikubur di liang lahat ini orang penting ya, Pak?” tanya Wir.
“Ya, dia bapak dari Lurah Sasmito. Dulu dia seorang pemimpin kompi. Sejak pensiun, dia memilih tinggal di kota bersama anaknya yang lain. Jadi memang tidak banyak orang di desa kita yang mengenalnya. Terutama anak-anak muda.”
“Sepertinya Bapak paham betul dengan orang ini?”
Har terdiam sejenak mendengar pertanyaan Wir. Kemudian ingatannya menghambur ke masa lalu.
“Dulu, ketika geger genjik melanda ibu kota hingga merembet ke desa-desa. Dia orang yang paling getol menyuarakan pemberantasan wong kiwo sampai ke akar-akarnya. Mulutnya sangatlah beracun. Bahkan keganasan mulutnya lebih mengerikan dari virus yang tengah menjadi pagebluk saat ini. Dia mempengaruhi setiap warga agar benar-benar benci terhadap wong kiwo.
Penjelasan Har sejenak terhenti ketika Bagio, salah seorang keluarga Lurah Sasmito datang menanyakan seputar galian liang lahat.
“Bagaimana Pak Har, apa sudah beres?”
“Tinggal merapikan Mas. Wir dan Sus yang sedang mengerjakan. Sebentar lagi juga beres.”
“Baik. Akan saya laporkan ke Lurah Sasmito bahwa galian sudah rampung. Tugas Pak Har, Wir, dan Sus hanya sampai di sini. Untuk ongkos galian, nanti akan ada orang suruhan ke rumah Pak Har.”
“Maksud Mas Bagio apa?”
“Ada orang lain yang akan menguburkan jenazah almarhum Pak. Jadi tugas Pak Har sudah selesai.”
“Jadi tugas saya hanya menggali saja?”
“Ya, Pak Har.”
Har masih belum mengerti maksud Bagio. Baru kali ini dia mendapat order hanya menggali saja tanpa menguburkannya.
“O iya. Kami juga minta Pak Har, Wir dan Sus agar menjauh dari lokasi ini. Sebab nantinya hanya tukang kubur saja yang ada di sini,” pungkas Bagio.
Mendengar perintah Bagio, ketiga penggali kubur hanya mengangguk tanpa banyak tanya. Namun perintah Bagio tetap mengundang tanya bagi ketiganya.
“Ada apa gerangan ya Pak? ujar Wir, setelah Bagio pergi.
“Iya. Sepertinya ada hal yang ditutup-tutupi,” sambung Sus.
“Kita lihat saja nanti. Sebaiknya kita menyingkir dari sini.”
Setengah jam kemudian iring-iringan jenazah pun datang. Di barisan paling depan beberapa buah motor, diikuti sebuah mobil ambulans dan dua mobil kerabat almarhum. Tak berapa lama enam orang berbaju hazmat turun dari ambulans dan langsung menggotong peti jenazah menuju liang lahat.
“Kok nganeh-nganehi ya. Semua orang yang membawa peti berpakaian seperti astronot,” bisik Sus.
“Setahuku itu baju khusus untuk penanganan virus yang tengah mewabah,” jawab Wir.
“Jadi, almarhum ini salah satu korban virus? Pantas saja para keluarga hanya melihatnya dari jauh.”
“Barangkali ini harga yang pantas untuk dia,” sambung Har, ketus.
“Maksud Bapak?”
“Seperti yang aku ceritakan tadi. Masa lalunya telah membuat banyak orang sengsara. Banyak perempuan yang kehilangan suaminya. Banyak anak yang kehilangan bapaknya. Semua karena mulut orang itu. Kini di akhir hayatnya, tidak ada satu pun keluarga yang berani mendekati kuburannya.”
Setelah prosesi pemakaman selesai dan orang-orang telah pergi, Har, Wir, dan Sus belum juga beranjak dari tempat semula.
“Ayo kita pulang. Sudah tidak ada lagi yang perlu kita tunggu,” ajak Sus.
“Kalian pulanglah lebih dulu,” Har beranjak. “Aku mau ke pusara orang itu.”
“Tapi Pak, kita tidak boleh mendekat. Nanti tertular,” cegah Wir. Namun Har tak menggubrisnya. Ia terus berjalan menuju pusara. Sesampainya di depan pusara, Har terdiam sejenak, lalu naik ke atas pusara seperti biasanya ketika ia menguburkan orang-orang yang mati. Namun kali ini ia tak menginjak-injak seperti biasanya membuat gundukan. Ia justru menari tayub di atasnya.
Melihat tingkah laku Har, Wir pun bergegas menghampirinya.
“Pak, turun. Jangan bikin masalah dengan Lurah Sasmito. Urusannya bisa panjang.”
Har masih tak menggubris perkataan Wir. Bahkan ia semakin bersemangat menari di atas pusara.
“Pak!”
“Diamlah, Wir. Kamu tidak perlu ikut campur. Kamu boleh pulang dengan Sus. Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku menikmati suasana ini. Setidaknya apa yang aku lakukan ini sebagai wujud syukurku. Kakekmu pasti senang.”
“Maksud Bapak?”
“Ya, orang inilah yang telah melubangi kepala kakekmu dengan peluru setengah abad silam,” pungkas Har sembari terus menari di atas pusara.
Kudus, April 2020
*M Arif Budiman, lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Buku terbarunya Anjing Bersayap Malaikat (2020). Kini bermukim di Kudus.