Oleh Bandung Mawardi
Bahasa menentukan kerja birokrasi. Bahasa “pilihan” untuk agenda-agenda “kemadjoean” meminta “permufakatan” dengan kebijakan-kebijakan besar. Perhitungan dampak bahasa mengacu kondisi tanah jajahan dan “situasi global” dalam sebaran ideologi, agama, imajinasi, dan lain-lain. Di tanah jajahan, “pilihan” bahasa diberlakukan pada akhir abad XIX dimaksudkan mengubah “masa depan”. Pamrih kebijakan bahasa bernalar kolonial malah memicu perubahan-perubahan tak masuk daftar capaian teramalkan.
Benedict Anderson (1982) menjelaskan: “Dengan diperluasnya jaringan pendidikan pada awal abad XX, bahasa ‘Melajoe’ menjadi semakin penting guna mencetak kader-kader pribumi bawahan yang diperlukan untuk menanggulangi birokrasi negara dan organisasi yang berkembang dengan pesat.” Sejarah bergerak disokong bahasa. Di Hindia Belanda, bahasa Melayu mengubah arah sejarah, bergerak jauh “mengalahkan” bahasa Belanda atau bahasa Jawa. Bahasa membesar dan tebar pengaruh melalui pendidikan, pers, pendidikan, sastra, dan lain-lain.
Kita membuka buku lama, buku tak digunakan sebagai acuan dalam artikel bertema bahasa dan kekuasaan oleh Benedict Anderson dimuat di Prisma edisi November 1982. Buku berjudul Soerat Kandoengan susunan L Th M terbitan GGT Van Dorp & Co, Semarang, 1890, berketerangan: “Boeat goenanja segala priajie-priajie, jang memegang pakerdjaan di tanah gouvernemennan di poelo Djawa dan Madoera, ia-itoe: katrangan atas segala hoekoem dan prentah, jang patoet diketahoei olehnja.” Sasaran pembaca jelas. Buku tebal mengandung kaidah atau pejunjuk bagi orang-orang di birokrasi bentukan kolonial. Buku digunakan resmi untuk memulai mufakat bahwa bahasa pilihan untuk “kemadjoean” di tanah jajahan adalah bahasa Melayu. Pilihan bahasa itu “mengingkari” jumlah pengguna bahasa Jawa terhitung tertinggi ketimbang bahasa-bahasa lain. Nalar kolonial tak memilih bahasa Jawa dengan dalih-dalih politik, adat, estetika, dan lain-lain.
- Iklan -
L Th M mengungkapkan: “Di poelo Djawa dan Madoera jang terpakee basa Mlajoe, Soenda, Djawa dan Madoera. Basa mana jang misti dipilih, djikaloe itoe soerat kandoengan trada misti ditoelis dalem basa itoe semoea? Tentoe basa Mlajoe, sebab dimana-mana priajie semoa sedikit-sedikit mengerti djoega basa itoe! Tetapi basa Mlajoe itu ada jang aloes atawa toelen, ada jang kasar dan terpakee pada satoe doea tempat sadja, seperti basa Mlajoe Betawi.” Kalimat-kalimat masih mengandung pertimbangan setelah bimbang penentuan bahasa. Buku diinginkan terbaca kaum “priajie” dengan penguasaan bahasa Melayu meski belum sempurna. Bahasa itu memungkinkan buku mudah dipelajari ketimbang menggunakan bahasa Jawa. Buku beredar di Jawa dan Madura tapi menggunakan bahasa Melayu.
Di tata birokrasi, bahasa Melayu semakin penting. Di kalangan Jawa, penggunaan bahasa Jawa, Melayu, dan Belanda sering bergantian sesuai dengan keperluan dan tempat. Jawa terbukti menjadi “tanah subur” bagi bahasa Melayu. Pendirian sekian serikat atau perkumpulan di Jawa cenderung memilih bahasa Belanda atau Melayu dalam komunikasi dan pembuatan dokumen-dokumen. Kebesaran bahasa Melayu semakin terbukti melalui penerbitan surat kabar dan buku. Bahasa itu terpilih juga oleh pengarang-pengarang peranakan Tionghoa, Minangkabau, Jawa, dan lain-lain dalam gubahan sastra. Pada awal abad XX, sejarah bergerak oleh bahasa Melayu. Kemenangan bahasa pun diraih menimbulkan konsekuensi-konsekuensi kekuasaan dan kesusastraan. Benedict Anderson menunjuk kemauan para pengarang lahir dan tumbuh di Jawa dalam menggubah sastra berpihak ke bahasa Melayu (telah menjadi bahasa Indonesia) ketimbang bahasa Jawa. Pilihan itu memuat kesadaran politik dan estetika.
Arus bahasa Melayu menderas mula-mula oleh para pengarang peranakan Tionghoa, bukan para pengarang tenar berlatar adab Minangkabau dan Jawa dibesarkan oleh penerbit milik pemerintah kolonial: Bale Poestaka. Penggunaan dan pengaruh bahasa Melayu berlangsung seru oleh para pengarang peranakan Tionghoa (sudah) memiliki keunggulan dalam percetakan, penerbitan, pemasaran, dan pembentukan komunitas-komunitas keaksaraan. Peran besar bersebaran di pelbagai kota meski sengaja diluputkan dari catatan dan ingatan sejarah dalam sejarah kesusastraan modern di Indonesia.
Myra Sidharta (1989) mengenalkan tokoh dan penggerak bahasa Melayu. Tokoh itu bernama Kwee Tek Hoay. Penjelasan: “Kwee Tek Hoay itu seorang yang sangat gemar membaca. Tetapi ia baru dapat membaca banyak setelah ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda dan setelah itu ia dapat meminjam buku-buku dari guru-gurunya. Rupanya setelah membaca semua itu ia ingin membagi pengetahuannya dengan menerjemahkan buku-buku itu ke dalam bahasa Melayu. Hal ini dilakukannya dengan maksud mencerdaskan kaum peranakan yang memerlukan pengetahuan yang luas di pelbagai bidang.” Ikhtiar menerjemahkan buku-buku asing dibarengi pula gairah menggubah sastra dalam bentuk novel dan drama. Bahasa Melayu dalam buku-buku Kwee Tek Hoay membenarkan babak-babap pertumbuhan bahasa itu menjadi bahasa Indonesia.
Di buku berjudul 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena (1989) dengan editor Myra Sidharta, kita diingatkan para pengarang peranakan Tionghoa membuktikan kerja bahasa dan sastra memungkinkan bahasa Melayu pantas terpilih dalam keaksaraan dan pergaulan di Indonesia sejak awal abad XX. Kwee Tek Hoay menjadi tokoh terpandang dengan bukti menulis buku dan menerjemahkan, disempurnakan peran dalam industri penerbitan buku. “Usia sastra Melayu-Rendah di Indonesia jauh lebih tua dibandingkan dengan sejarah sastra Indonesia sendiri,” penjelasan Jakob Sumardjo. Ingatan memastikan penggunaan bahasa dalam gubahan sastra para peranakan Tionghoa pernah dibedakan oleh pembuat buku-buku sejarah sastra di Indonesia. Suguhan sastra mereka lama dipinggirkan, berada di luar ingatan pengajaran sastra di sekolah-sekolah. Bahasa mereka sering diledek “kasar” dan “rendahan”. Bahasa itu justru berterima dan memiliki dalih melawan kebijakan-kebijakan resmi menempatkan bahasa dalam birokrasi, pendidikan, pers, sastra, dan lain-lain.
Kita mengingat penggalan-penggalan itu setelah mengetahui bahasa Indonesia semakin bernasib apes dalam birokrasi. Pengetahuan dan penguasaan bahasa Indonesia teranggap rendah di kalangan pegawai cap pemerintah. Kita sengaja “menuduh” ketimbang pihak sering disalahkan mengarah ke sekolah. Nalar kekuasaan mutakhir sulit menggunakan bahasa Indonesia secara bermutu, menjauh pula dari estetika. Kita sudah jemu mengejek orang-orang dalam kerja birokrasi absen membaca buku-buku sastra. Nasib bahasa Indonesia berbeda dalam arus sastra. Bahasa Indonesia terus bergerak dengan capaian-capaian besar, meninggalkan masa lalu kebahasaan (mungkin) belum pernah dipelajari para pengarang mutakhir. Begitu.