Oleh S. Prasetyo Utomo
BAYANGAN lelaki bertopeng raksasa dengan pakaian hitam kedodoran, berkeliaran di sekitar danau buatan dekat bundaran taman perumahan. Kadang para penghuni perumahan yang pulang malam, mengendarai mobil mewah dengan gemerlap lampu menyilaukan, tergagap melihat kelebat lelaki bertopeng raksasa, berlari kencang menyelinap pepohonan di tepi danau buatan. Bayangan lelaki bertopeng raksasa itu seperti sengaja mengejutkan siapa pun yang melintasi bundaran taman, membangkitkan rasa takut.
Satpam yang memergoki manusia bertopeng raksasa dengan baju hitam kedodoran, memburunya. Langkah kaki manusia bertopeng raksasa itu melesat, seperti tak memijak tanah, terus berlari melintasi gerbang pesantren Kiai Sodik, lenyap, meski pintu pagar tertutup rapat. Langkah satpam terhenti di depan pintu pagar pesantren. Mencari jejak manusia bertopeng raksasa. Kalau manusia bertopeng raksasa itu meloncati pintu pagar pesantren, tentu pintu pagar itu akan bergetar. Tetapi pintu pagar gerbang pesantren sama sekali tak bergetar. Tak ada tanda-tanda seseorang melompatinya. Gerbang itu dingin, sebeku batu.
Satpam yakin bila manusia bertopeng raksasa melompati pagar besi pesantren, tanpa menyentuh ujung-ujung besi yang runcing. Satpam tak percaya bila manusia bertopeng raksasa bisa lenyap serupa moksa. Manusia bertopeng raksasa menciptakan ketakutan-ketakutan penghuni perumahan yang mulai menempati rumah baru. Manusia bertopeng raksasa itu, tak diketahui pasti, apakah ia memang benar manusia atau siluman yang tak dapat disentuh dengan tangan manusia. Ketika perumahan mewah itu masih berupa bukit larangan yang berhutan lebat, manusia bertopeng raksasa berkeliaran di antara pepohonan. Kemunculannya dikeramatkan sebagai siluman penjaga hutan, angker, dan menakutkan.
- Iklan -
MENINGGALKAN direktur yang berumur tiga puluhan tahun, tampan, dan senantiasa berpakaian rapi, Suman merasa terusik perasaannya. Sungguh aneh, di perumahan mewah yang dihuni orang-orang kaya dan pejabat ternama yang mencari ketenangan hunian, diganggu manusia bertopeng raksasa, bisa datang dan menghilang begitu rupa. Direktur pengembang perumahan, masih muda dan cakap, yang tak percaya pada siluman, mengutus Suman untuk melacaknya ke pesantren Kiai Sodik. Manusia bertopeng raksasa itu bila malam menampakkan diri di sekitar danau buatan, dan bila diburu satpam, berlari menghilang ke pondok pesantren Kiai Sodik. Agak gugup dan canggung pada waktu Suman menerima perintah menghadap Kiai Sodik, untuk mengadukan kemunculan manusia bertopeng raksasa yang menakutkan orang-orang yang baru menetap di perumahan.
Memasuki pelataran pesantren Kiai Sodik, Suman diliputi perasaan geram. Ia memang belum sempat melihat manusia bertopeng raksasa. Tetapi cerita satpam telah membangkitkan rasa marahnya pada Kiai Sodik yang tersusupi santri penebar rasa takut warga perumahan.
Menahan geram, Suman memasuki gerbang pintu pesantren Kiai Sodik, yang kata satpam, manusia bertopeng raksasa bisa begitu saja lenyap, tanpa jejak kaki. Masih terbayang di benak Suman kemarahan terpendam direktur pengembang perumahan. “Kaulah yang dapat menghentikan gangguan manusia bertopeng raksasa!”
Di pintu gerbang pesantren, mobilnya dihentikan lelaki tua bermata juling, seorang santri tua yang setia pada Kiai Sodik. Sepasang mata lelaki tua juling itu seperti menantangnya. Sepasang mata yang mengancam. Tak mau surut dan kalah, Suman meyambut lelaki tua juling dengan senyum. Tentu, senyum licik. Senyum yang biasa mempermainkan orang-orang yang ditaklukkannya.
“Aku mau bertemu kiai.”
“Kiai sedang keluar kota. Ceramah,” balas lelaki tua juling itu, bertahan untuk tak menyerah dengan Suman, seorang pemborong perumahan, yang memperoleh banyak keuntungan dari pembelian tanah warga di bukit larangan yang kini diratakan, didirikan perumahan di atasnya. “Jangan pura-pura lupa, kaulah yang menghasut satpam dan orang-orang untuk membakar rumahku.”
“Jangan sembarang menuduh!”
“Kaulah itu yang ahli menuduh dan menghasut!” balas lelaki tua bermata juling. “Kau menuduh lelaki bertopeng raksasa berada di pesantren ini! Kau datang untuk menghujat kiai!”
“Memang manusia bertopeng raksasa lenyap dari kejaran satpam di pesantren ini!”
“Kau melihat sendiri?” tanya lelaki tua bermata juling, mencecar. “Tidak? Kalau begitu, pulanglah! Jangan kau teruskan pencarianmu! Aku pun tak pernah menghujatmu sebagai penghasut pembakaran rumahku hingga runtuh jadi abu.”
Bimbang, Suman menimbang-nimbang permintaan lelaki tua juling itu. Ia memutuskan untuk meninggalkan pesantren Kiai Sodik. Ia ingin kembali datang ke pesantren ini untuk bertemu Kiai Sodik. Ia ingin menjajagi seberapa tangguh kiai itu. Kini ia berpikir, mungkinkah manusia bertopeng raksasa itu diperankan lelaki tua bermata juling? Dulu manusia bertopeng raksasa yang mengganggu ketenteraman orang-orang yang menempati perumahan pada malam hari berlari menyelinap di rumah kayu lelaki tua juling itu. Rumah lelaki tua bermata juling pun dibakar orang-orang tak dikenal. Kini lelaki tua bermata juling menjadi santri Kiai Sodik, dan manusia bertopeng raksasa menghilang di pesantren itu. Suman tak mau menyerah. Ia meninggalkan pintu gerbang pesantren Kiai Sodik, dan menanti saat yang tepat untuk kembali menemui kiai itu.
KEDATANGAN Suman ke pesantren Kiai Sodik, menjelang senja, dihadang lelaki tua bermata juling di pintu gerbang. Tak tampak gentar sama sekali. Suman memperlihatikan kesabarannya, mendengar semua omelan lelaki tua bermata juling. Tetapi lelaki setengah baya itu sama sekali tak meninggalkan pintu gerbang pesantren. Ia tetap duduk di balik setir mobilnya, mengangguk-angguk, tersenyum, menahan diri, hingga lelaki tua bermata juling itu terdiam memandanginya.
“Aku sudah telepon kiai. Beliau berkenan menerimaku sekarang,” kata Suman, setenang mungkin, menampakkan kemenangan. Ia mesti melupakan bayangan masa kecil, semasa tinggal di lembah dikelilingi pegunungan yang digenangi air sebagai waduk, orangtuanya terusir dari tanahnya sendiri, menghadapi aparat yang angkuh meminta pindah paksa. Ia teringat akan ayahnya yang tak mau meninggalkan rumah, meski air sungai dibendung menggenangi pelataran hingga pelan-pelan rumahnya tenggelam. Ibunya yang menarik-narik tangan ayah, meminta untuk meninggalkan rumah yang ditenggelamkan. Yang diingat Suman adalah sepasang mata ayahnya: garang dan meradang.
Lelaki tua bermata juling itu juga menampakkan sepasang mata yang garang dan meradang. Ia terusir dari ladangnya sendiri, yang kemudian diratakan sebagai rumah-rumah hunian. Tetapi Suman – yang membeli ladang lelaki tua juling itu – menepis perasaan bersalah. Ia membeli ladang lelaki tua bermata juling itu dengan harga tinggi.
Tak ada reaksi lelaki tua bermata juling. Suman mengendarai mobilnya memasuki pintu gerbang pesantren. Tenang, penuh percaya diri, ia memasuki rumah Kiai Sodik. Di pendapa rumah itu ia tak diterima di kursi. Di pendapa rumah Kiai Sodik dihamparkan karpet. Siapa pun tamu yang hadir, duduk bersila di hadapan kiai. Suman agak canggung pada awalnya. Ia membiasakan diri duduk bersila, sebagaimana ia biasa diterima juru kunci Bukit Kahyangan, sebelum menenangkan diri dengan cara berendam di sungai atau berdiam diri di atas lempengan batu di antara pepohonan tua berumur ratusan tahun semenjak raja-raja Mataram dulu bersamadi di sana.
Begitu Kiai Sodik menemui Suman, lelaki pemborong perumahan itu menahan goncangan batin, yang meruntuhkan keangkuhannya. Sepasang mata kiai yang bening, menembus sisi gelap hatinya, membongkar semua keburukannya. Sepasang mata bening itu seperti cermin yang memantulkan keserakahan-keserakahan yang pernah dilakukannya. Dalam diam, tanpa isyarat apa pun, hanya dengan pandangan yang tenang, Suman merasa seluruh niat jahat kehidupannya terbaca kiai. Suman mencoba menenangkan diri.
“Saya datang ke pesantren ini untuk silaturahmi,” kata Suman, dengan suara bergetar.
“Bukan untuk melacak manusia bertopeng raksasa?”
“Oh, tidak, saya diutus direktur memohon restu kiai. Semoga perumahan yang kami bangun menjadi hunian baru yang tenteram.”
“Apa selama ini santri-santriku telah mengganggu ketenteraman penghuni perumahan itu?”
“Bukan begitu. Kiai tentu paham situasi yang sesungguhnya.”
“Ketakutan kalian yang menyebabkan penghuni baru perumahan itu terusik. Kalian menyangka manusia bertopeng raksasa sebagai ancaman. Ia sama sekali tak berbahaya. Lalu, mengapa harus membakar rumah lelaki tua bermata juling hanya lantaran curiga ia menjelma manusia bertopeng raksasa?”
“Kami tidak melakukannya.”
“Dusta itu diselimuti rasa takut, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan, memunculkan cerita-cerita buruk dalam hidupmu sendiri.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan?”
“Perbaikilah kelakuanmu. Kalau rumah lelaki tua bermata juling terbakar tak jauh dari wilayah perumahan, mengapa tidak kau bantu orang susah itu? Dengan mudah kau dapat mendirikan kembali rumahnya yang hangus!”
Suman menahan diri untuk tak membantah Kiai Sodik. Ia mesti mengatasi sepasang mata bening itu, tak ingin ditaklukkan. Ia mesti memberanikan diri, meminta Kiai Sodik untuk menghentikan tindakan lelaki tua bermata juling itu yang – dalam anggapan satpam – menakuti-nakuti penghuni perumahan mewah yang sedang dibangunnya. Tetapi benarkah lelaki tua bermata juling itu yang menyamar sebagai manusia bertopeng raksasa?
“Saya membawa pesan direktur, agar kiai turut menjaga ketenteraman di kawasan perumahan.”
“Aku juga berwasiat padamu agar rumah lelaki tua bermata juling yang dibakar, dibangun kembali!”
Suman ingin mendebat Kiai Sodik. Tetapi, sungguh aneh, suaranya tercekat di kerongkongan. Ia tak dapat berkata-kata, dan kehilangan keberaniannya. Tubuhnya bergetar. Ditahannya. Ia tak ingin menampakkan perasaan gentar di hadapan Kiai Sodik. Mestinya Kiai Sodik yang dibuatnya gemetar. Kiai tetap saja tenang. Sepasang matanya yang bening itu seperti menenggelamkannya. Suman menunduk. Tak berani menatap sepasang mata bening itu. Tatapannya luruh. Ia menunggu Kiai Sodik mengecamnya. Tetapi kiai tidak berkenan melontarkan nasihat yang tajam. Kiai berdiam diri. Menghukumnya dengan pandangan mata.
Tubuh Suman memberat serupa logam. Ia serupa patung baja. Lama ia tak bisa bergerak. Masih dirasakan napas, degup jantung dan detak nadi. Kiai Sodik bangkit, mendengar suara azan magrib. Pantat Suman lengket dengan karpet. Tak bisa diangkat. Tak bisa digeser. Ia ingin memanggil Kiai Sodik, meminta maaf, tak juga keluar suara dari mulutnya. Kiai kembali lagi ke pendapa selepas isya, masih bersarung, berpeci, harum kesturi. Menghampiri Suman yang tak sanggup mengangkat pantatnya.
“Hari sudah malam,” kata Kiai Sodik lembut. “Kalau kau mau pulang, segeralah bangkit!”
Sama sekali tak tampak kemarahan dalam perangai Kiai Sodik. Wajah kiai tetap tenang, lembut, dan menenteramkan. Agak lama Kiai Sodik menatap Suman, yang duduk bersila, menunduk. Menahan malu. Menahan geram.
Dengan gerakan pelan, menepuk pundak kanan Suman, Kiai Sodik seperti mengembalikan aliran darahnya. Lelaki setengah baya itu bangkit, pelan menghampiri Kiai Sodik, membungkuk, menyalami, mencium tangannya.
Pandana Merdeka, Agustus 2020
*S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.
Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabaasi.
Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel terbarunya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang segera terbit adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020).