Oleh Junaidi Abdul Munif
Dalam sejarahnya, esai di Indonesia mulai dipopulerkan oleh HB. Jassin, tokoh yang dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia karena ketekunannya mengumpulkan karya dari para sastrawan. Jassin bahkan menyimpan puisi WS Rendra yang ditulis dalam bungkus rokok dan secarik kertas tulisan Chairil Anwar yang mengedit puisi Perjanjian dengan Bung Karno.
Esai adalah salah satu genre prosa, -selain cerpen dan novel, karena bahasa esai memiliki nilai estetika sastrawi (indah). Esai identik dengan membahas karya sastra, -mungkin karena pengaruh HB. Jassin yang memopulerkannya adalah orang yang bergelut di dunia sastra. Di era sekarang, tema-tema esai lebih berwarna, melampaui tema soal sastra dan kebudayaan. Esai pendidikan, politik, filsafat, agama, dan lain-lain begitu berlimpah.
Sebagaimana artikel opini, esai merupakan pendapat penulis dan lebih bersifat subyektif. Obyektivitasnya lebih disebabkan sifat argumentatifnya, dalam arti “opini” tersebut memiliki basis ilmiah (hipotesis, teoretik, dan simpulan). Bahasa yang sastrawi ini (sebagai esai pada perkembangan awalnya) yang membedakannya dengan opini secara umumnya.
- Iklan -
Dalam penulisan esai, lazim ada kata “saya” untuk memberi impresi pada tulisan. Untuk menunjukkan kedekatan antara penulis dan tema yang ditulis. Model ini berbeda dengan opini dan artikel ilmiah yang haram menggunakan kata “saya, aku, kita, kalian.”
Mengapa Esai?
Esai ditulis secara pendek, sekitar 5-8 ribu karakter. Esai tidak berpretensi membahas persoalan secara tuntas. Ia hanya mengungkap peristiwa dari satu teropong yang –bagi penulis esai- dianggap penting. Tema-tema esai yang menarik, -menurut subjektivitas saya, justru karena keberhasilannya mengambil anasir tertentu dan mengaitkannya dengan seuatu peristiwa besar.
Aktualitas esai berangkat dari peristiwa yang aktual dan besar. Lalu dari peristiwa besar ini kita “menembak” dari teropong yang “tidak lazim.” Misalnya, soal virus Corona yang booming ini, penulis esai bisa menembaknya dengan sisi kebudayaan, misalnya kehadiran padasan (tempat wudlu) di depan rumah yang mulai hilang. Karena disediakannya tempat cuci tangan akan mengingatkan kita pada padasan dan kendi yang di masa lalu lazim ditemui di depan rumah.
Bagi sebagian orang, tulisan seperti itu mungkin terkesan meksa (memaksa), othak-athik gathuk. Namun, jika berhasil ditulis dengan argumen yang runtut dan logis, tidak mengapa. Toh, esai sebagaimana di atas, tidak berpretensi membahas persoalan secara tuntas. Esai hanya berupaya menangkap keping dari peristiwa. Keping-keping lainnya dapat diisi oleh tulisan genre lain (opini, jurnal, makalah, skripsi, dll).
Esai Yang Menarik
Arief Budiman menulis Esai tentang Esai sebagai “alat bantu” kita menghargai nilai sebuah esai, yang bergerak dari subyektif-obyektif, bolak-balik, dan sesuai minat penulisnya. Dari psikologis, menulis esai adalah menulis sesuatu yang menarik minat esais (penulis esai). Teori-teori dalam esai hadir secara longgar, serentak, dan mungkin tumpang tindih. Ada teori yang mungkin dianggap kurang nyambung. Terkesan diadakan demi “obyektivitas” esai.
Contoh esai yang bagus adalah Catatan Pinggir (Caping) Goenawan Mohamad. Konsistensinya menulis Caping setiap minggu di Majalah Tempo bahkan membuatnya Esai model Caping menjadi “genre” tersendiri dalam khasanah penulisan esai di Indonesia. Di esai-esainya, Goenawan Mohamad sering menghadirkan negasi (tapi) dan mengakhirinya dengan pertanyaan. Seolah dia sedang “mempertarungkan” teori-teori.
Esai-esai Cak Nun juga menarik sebagai bagian dari perkembangan apa yang masyhur disebut story telling. Yaitu menulis keseharian yang dibumbui dialog (naratif), dan deksriptif. Membaca esainya kita seperti membaca cerpen, tapi juga opini pribadinya. Peristiwa besar dilihat Cak Nun dari pespektif orang-orang disekitarnya, baik itu tokoh atau bukan.
Bagaimana Saya Menulis Esai?
Modal utama bagi penulis esai adalah membaca buku apa pun, mendengar apa pun. Selajur dengan semangat postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran tunggal yang mutlak. Esai adalah bagian dari dekonstruksi, membongkar narasi-narasi besar melalui secuil narasi kecil.
Pengalaman pribadi saya dalam menulis esai, saya banyak memungut berbagai khasanah yang saya anggap cocok. Misalnya dalam menulis tentang kaitan pendidikan dan profesi, film-film dari tahun 1970, 1980, dan 1990-an, menarik untuk dijadikan referensi, demi melihat salah satu keping penanda zaman. Bahwa pekerjaan yang populer dalam film kita adalah dokter, insinyur, hukum, ekonomi.
Di antara yang pernah saya tulis, saya sering menggunakan lagu-lagu kritik sosial Iwan Fals sebagai titik pijak. Misalnya, lagu Teman Kawanku Punya Teman, Si Tua Sais Pedati, Mencetak Sawah, -untuk menyebut beberapa lagu yang saya ingat. Lagu-lagu ini saya tempatkan sebagai “penanda” era tertentu.
Problem yang sering muncul ketika menulis esai adalah writer’s block. Kondisi buntu, seperti tak bisa melanjutkan lagi. Menyiasatinya adalah dengan menyela dengan kegiatan lain, atau membaca lagi untuk mendapatkan suatu “pencerahan.” Tentu setiap orang memiliki siasat yang berbeda-beda untuk mengatasi writer’s block ini.
Cara yang kedua adalah menulis pokok pikiran atau kalimat utama. Secara mudah, teknisnya adalah kita buat (misalnya) lima kalimat utama yang ditata dengan model paragraf. Kemudian kita lengkapi dengan kalimat-kalimat pengembang. Setelah kita terasa ada kalimat pengembang yang mungkin tidak nyambung dengan kalimat utama. Dan saya tata lagi agar lebih runtut.
Pada akhirnya, sebuah esai selesai ditulis, meski hanya sebagai kepingan peristiwa. Esai yang selesai ditulis sangat berhak dikirim ke media massa (online maupun cetak), untuk bertemu dengan pembaca yang lebih luas.
-Tulisan ini disampaikan dalam Diklat GLM Kuliah Artikel Populer pada Senin 6 Juli 2020.