Oleh M. Zainudin Aklis
Kartu Tanda Buku
Judul Buku: Memandang Perempuan Jawa
Pengarang : Harjito
- Iklan -
Penerbit : Beruang Cipta Literasi
Tahun Terbit: Pertama, Maret 2020
Tebal Halaman: ix + 190 halaman
“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama mengubah keadaan yang membuat derita ini. (Habis Gelap Terbitlah Terang hal 86). Kutipan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa perjuangan para perempuan sudah dimulai sejak era Kartini. Bahkan 31 tahun sebelum Kartini lahir, sudah ada tokoh perempuan yang memperjuangkan hak para perempuan, yaitu Cut Nyak Dhien.
Hingga tahun 2020 perjuangan para perempuan Indonesia belumlah selesai sepenuhnya. Falsafah “Dapur, Sumur, Kasur” masih diidentikkan dengan perempuan. Memang, perempuan kini sudah banyak yang berada di panggung politik serta meniti karir seperti para laki-laki dan bahkan banyak yang sudah bekeja di luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Jika para perempuan harus bekerja dan tidak mempunyai pembantu, maka selain bekerja mereka masih harus merawat anak dan serta urusan lainnya. Inilah peran ganda bagi para perempuan.
Di era yang serba mengandalkan teknologi ini, peran ganda bagi para perempuan sudah menjadi banyak pilihan. Semua itu dilakukan tak lain adalah agar kebutuhan keluarga tetap tercukupi di tengah makin mahalnya bahan-bahan pokok. Nah, di buku sehimpun esai Harjito yang berjudul “Memandang Perempuan Jawa” kita akan mendapati banyak pandangan tentang peran ganda seorang perempuan serta kehidupan perempuan dari berbagai sudut pandang lainnya yang akan membuat kita faham fenomena tentang persoalan perempuan.
Di dalam buku ini ada beberapa tulisan yang menarik untuk diulas, salah satunya adalah judul “Memoar Buruh Migran Perempuan dan Media Perlawanan.” Di sana kita mendapati informasi empat pola bagaimana narasi soal buruh migran dibangun. “Satu, naiknya kelas sosial dengan kepemilikan benda atau barang. Dua, menyembunyikan penderitaan dan kesengsaraan selama menjadi buruh migran. Tiga, manakala mengalami penderitaan, hal tersebut dianggap sebagai ujian dan konsekuensi dalam meraih hidup sukses. Empat, munculnya simbol-simbol atas kesuksesan.” (hal 43)
Adanya fenomena seperti ini, kita seperti sedang diperlihatkan kehidupan yang sarat akan gengsi dan pengorbanan seorang perempuan. Demi sebuah benda dan status sosial para perempuan rela bekerja keras menjadi Buruh Migran. Mereka rela memendam rasa sedih akibat jauh dari anak dan orang tua serta suami. Permasalahan seperti ini tak lain adalah akibat dari perekonomian yang kurang baik sehingga memunculkan inisiatif untuk bekerja di luar negeri atau adanya iming-iming gaji besar jika bekerja di sana.
Kehidupan ini tidak melulu harus menjadi kaya dan berpunya. Ketika sebuah keluarga telah memegang falsafah “Mangan Ora Mangan Sing Penting Kumpul” tentu akan mempertimbangkan beberapa kali untuk merantau sejauh itu. Lagi pula, banyak orang yang dapat bertahan hidup bahagia serta dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Apalagi jika mereka para kelurga berkumpul untuk saling bekerjasama tentunnya mereka akan bisa lebih dari yang mereka alami saat ini.
Selain memegang falsafah itu, hal yang harus diusahkan adalah soal kemandirian. Perihal itu di singgung oleh Harjito di buku ini dengan tulisan yang berjudul “Kemandirian Perempuan Jawa.” Sudah banyak wanita di era ini yang bisa mandiri, namun kadang stereotipe negatif yang sering beredar adalah perempuan itu sebagai makhluk yang lemah. Hal ini tunjukkan oleh Harjito bahwa kondisi stereotipe ini ada di dua puluh novel yang beredar pada tahun 1990-2000. Sebagai tulisan, tentunya itu dapat dijadikan gambaran zaman pada saat novel-novel tersebut beredar. Selain di novel, stereotipe ini juga hadir di beberapa stasiun televisi, lho. Jadi sangat mempengaruhi kehidupan pada saat itu. Sebab, media biasanya digunakan rujukan untuk berlaku.
Melihat seperti itu, tentunya para perempuan harus sadar akan sebuah kehidupan yang mandiri. Mandiri bukan hanya pada saat masih melajang. Tapi, saat berumah tangga bersama, perempuan dapat hidup secara mandiri dengan suaminya. Hal ini dapat diwujudkan, misalnya dalam hal menentukan keuangan mereka secara bersama-sama membiayai anak dengan cara iuran sesuai kesepakatan. Kemandirian memang hal yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sebab, dari kemandirian kita punya daya tawar dalam rumah tangga. Sehingga tidak ada posisi yang superior atu inferior saat kita berumah tangga.
Harjito sangat lihai dalam menjelaskan soal kemandirian hingga ia menuliskan beberapa sub judul seperti “Kemandirian Merawat Anak,” “Kemandirian Menjadi Pemimpin,” dan “Kemandirian Loyal Kepada Manusia.” Buku “Memandang Perempuan Jawa” ini memberikan kita berbagai macam refrensi tentang persoalan perempuan dan refrensi bacaan. Sehingga, ketika kita ingin menyelam akan mendapatkan banyak hasil.
Dari sini kita tahu, Harjito ingin mengajak pembacanya untuk mengerti berbagai macam persoalan perempuan. Apalagi tulisan ini berasal dari jurnal-jurnal. Tentunya kaya akan teori-teori yang dapat mengupas persoalan dari berbagai macam arah. Dengan begini, kita jadi tahu bahwa ketertarikan Harjito akan soal perempuan sudah mendalam sehingga tak diragukan di buku ini pembaca akan disuguhi tulisan-tulisan apik.
-Mohammad Zainudin Aklis lahir di Kudus, 12 Mei 1993. Sekarang beraktivitas di LP Ma’arif NU Jateng dan menjadi Mahasiswa PGSD di Pascasarjana Universitas PGRI Semarang.