Oleh Muallifah
“Dipaksa, terpaksa, biasa,bisa, luar biasa,” Begitulah kalimat standup comedy yang berasal dari Zawin, salah satu komedian yang masih membawa ritme pesantrren dalam setiap materi yang disampaikannya. Sekilas mungkin kalimat itu adalah kalimat yang biasa, hanya bisa lewat dan hilang. Namun bagi santri, kalimat tersebut adalah hal luar biasa apalagi bertahun-tahun mengenyam pendidikan pesantren dengan berbagai perjuangan dan kenikmatan ilmu yang luar biasa.
Bayangkan saja, ketika awal pertama memasuki pondok pesantren dengan sekelumit risalah hati meninggalkan rumah, orang tua, dengan dunia baru, tanpa teman, tidak ada tv, handphone, serta musik yang biasa didengar di rumah tiba-tiba ada di tempat yang penuh dengan hiruk pikuk pengajian, sekelumit jadwal yang melebihi 24 jam mengaji, belajar, dan belajar.
Sampai pada waktunya, hafalan, mengaji kitab kuning, terbiasa bangun pagi, bangun sebelum subuh, mengaji subuh, mengaji kitab hingga larut malam, menyetorkan hafalan menjadi sesuatu yang diluar jangkauan kita sebagai anak yang tidak biasanya. Semuanya menjadi hal menyeramkan jika diceritakan kepada mereka yang tidak mengenyam pendidikan pesantren. Namun, selanjutnya hal tersebut adalah nikmat luar biasa ketika dilewati dengan berbagai kesabaran menuntut ilmu, serta penuh nikmat.
- Iklan -
Kenikmatan ilmu bisa kita lihat setelah keluar dari pesantren, begitupun hikmah yang bisa diambil dari berbagai kehidupan yang ditemui pasca mengenyam pendidikan pesantren. Namun, kisah perjuangan di pesantren, kenikmatan dalam setiap waktu yang sudah berlalu tetaplah akan menjadi cerita indah.
Jika beberapa pekan lalu merdeka belajar adalah salah satu wacana yang menarik diskusi kalangan pendidikan akibat penerapan merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Maka sebelum wacana itu ada dan akan direalisasikan, pesantren sudah menjadi corong penerapan merdeka dalam belajar.
Bagaimana tidak, jika kita menilik jadwal pesantren dalam 24 jam. Semua sudah tertata rapi, pembagian kelas serta pembelajaran wajib dengan sunnah menjadi pilihan semua santri dalam belajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemaksaan belajar bukanlah satu-satunya cara yang diterapkan dalam pesantren. Kebebasan belajar menjadi hak santri untuk menuntut ilmu.
Pola pendidikan pesantren, tidak akan kita temui di sekolah manapun. Bahkan pada penilaian pendidikan nomor 1 di dunia yang menerapkan pendidikan kontekstual. Sebab pesantren menerapkan dualisme pendidikan yang kini siap secara sains dan agama bisa bersaing secara global.
Sejalan dengan pendidikan yang dikemukakan oleh salah satu ilmuwan yakni, Ivan Illich mengungkapkan bahwa jika ibarat sebuah hutan. Maka di dalamnya terdapat singa, kucing, semut, musang, rusa, monyet, dan lainnya. Jika kecerdasan hanya dilihat dai kecepatan menaiki pohon yang tinggi, maka tidak semuanya bisa melakukan. Sebab, gajah, singa, semut dan lainnya, punya cara masing-masing menunjukkan kehebatan dan kecerdasannya.
Dalam hubungan tersebut, pesantren merupakan pendidikan yang paling sempurna bagi penulis jika dilihat dari berbagai aspek model pembelajaran. Andai kata, ibarat dengan sapi, pendidikan di pesantren tidak hanya diberi susu dan rumput sebagai makanan wajib, yakni keilmuan agama, hafalan, kita kuning dan lainnya. Namun, santri diberikan kebebasan untuk menekuni keilmuan umum diluar dari tanggung jawab ilmu agama. Artinya, Sapi tersebut diberikan kebebasan untuk menikmati makanan lain dengan kebebasan itu sendiri.
Dalam konteks ini, selain kewajiban menghafal Al-Quran, mengaji kitab-kitab, santri diberikan kebebasan untuk memilih pengembangan soft skill di sela-sela waktu yang yang bisa dimanfaatkan untuk belajar serta mengasah. Artinya, santri tidak hanya dicetak sebagai kaum sarungan, yang paham ilmu agama berikut tafsir dan hadisnya. Akan tetapi, keilmuan di berbagai bidang, seperti bahasa, teknologi, matematika menjadi kombinasi yang sepadan dengan keilmuan agama yang dimiliki.
Di masa depan, santri sudah dipersiapkan menjadi ilmuan matematika, ilmuan fisika, ilmuan teknologi yang tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang didapatkan di pesantren. Kombinasi tersebut, lengkap didapatkan di pesantren selagi benar-benar dimanfaatkan oleh santri.
Metode Hidayah dalam Pesantren
Bisa kita lihat bahwa disatu sisi, kurikulum pesantren yang tidak tertulis dengan metode hidayah yang diungkapkan oleh KH. Hasyim Asyari nyatanya bisa membuat santri tercetak sebagai manusia yang bisa menjunjung tingggi nilai keislaman di tengah-tengah masyarakat.
“ Adab al-Allim Wal Muta’allim Fi Maa Yahtaju Ilayh al-mutaa’llim FI AHwali Ta’alumihi Wa Ta’limihi,” merupakan salah kitab karangan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dalam mengejawantah penerapakan pembelajaran di pesantren terhadap perilaku pelajar dengan pengajar, khususnya santri kepada kiai.
Artinya, pola interaksi antara guru dengan murid (santri dan kiai) merupakan sesuatu yang sangat sakral di dalam pesantren. Sehingga kiyai benar-benarmenjadi keramat bagi santri dalam berjuang memperoleh ilmu, serta ridho orang tua di rumah yang tidak pernah berhenti mengirim doa serta bekal dalam setiap bulannya.
Menilik dari pembahasan hidayah yang tidak bisa dirasionalkan dengan akal, bahkan dengan tulisan. Selayaknya manusia biasa, perjuangan santri di pondok pesantren yang setiap hari dalam waktu 24 jam selalu mengkaji keilmuan tanpa henti. Dengan kuantitas yang begitu besar, hal yang mustahil penggunaan metode ceramah dalam setiap kajian keislaman diikuti beribu santri bisa diikuti dengan seksama.
Akan tetapi, nyatanya, belajar tanpa kurikulum tertulis tersebut merupakan ilmu yang tidak bisa didapatkan dari sekolah manapun.
Disamping itu, jika dalam perkuliahan terdapat pengabdian masyarakat, tentunya santri sudah menerapkan sejak awal sistem pembelajaran itu. Sebab pengabdian adalah final dari keilmuan yang dijalankan selama di pesantren. Pengabdian terhadap bangsa dan negara, masyarakat, kiai, orang tua, khususnya kepada Allah Swt.
Artinya, santri sudah dituntut untuk betransformasi menjadi dewasa sebelum waktunya. Ini membuktikan kesigapan pesantren dalam mendidik, membimbing serta mengajarkan santri ilmu kehidupan agar elastis ketika bersama dengan masyarakat. Berada di tengah-tengah masyarakat tidak lantas menjadi manusia yang paling benar, namun mementingkan mashlahat untuk kerukunan antarumat yang beragam. Wallahu a’lam bish showab.
–Penulis Pengurus PC IPPNU Sampang.