Oleh: Nanang Qosim
Ritual peribadatan syariat Islam seperti salat Idulfitri memiliki keterikatan khas dengan siklus perjalanan rembulan mengelilingi matahari. Mata manusia memata-matai matahari saat tenggelam untuk bisa menetukan akhir Ramadan. Sebuah tongkat ditegakkan di depan masjid untuk memastikan salat zuhur telah tiba.
Bahkan, sekali tempo saat matahari tepat di atas Kabah, banyak manusia bergegas ke luar rumah menancapkan tongkat untuk memastikan arah kiblat. Di sini, manusia adalah mikrokosmos yang mengungkapkan alam makrokosmos. “Seperti halnya air menjadi penghubung antara ombak dan laut,” ungkap sastrawan sufi Aceh, Hamzah Fansuri.
Maka, kembali ke fitri juga berarti kembali menemukan kekuatan alam semesta. Dalam kaitan ini, saya teringat Albert Einstein yang menemukan energi fitri dalam lintas cahaya maha dasyat. E=mc2 menjelaskan persamaan nilai antara energi (E) dan massa (m), yang disetarakan secara langsung melalui konstanta kuadrat laju cahaya dalam vakum ( c2 ).
- Iklan -
Energi sama dengan massa kali kuadrat kecepatan cahaya. Einstein terperangah! Dalam ruang kontemplasi nalar ia bertawaf pada ruang maha agung jagad raya, matahari, planet-planet, bintang dan entah apa lagi. Ini tentu butuh energi luar biasa untuk menciptakan massa. Di sini, Einstein memosisikan energi sebagai emanasi Zat Maha Agung sekaligus Zat Maha Agung itu sendiri!
Khitah fitri khas Einstein yang memosisikan cahaya dalam vakum (c2) untuk menjabarkan abstraksi energi itu, 14 abad yang lampau telah disitir dalam Surah an-Nur (24):35, “Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, meski tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpumaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.‘
Surah an-Nur ayat 35 itu mengisyaratkan bahwa misykab/cela adalah simbol riligi, az-zujaj adalah komunitas manusia berzikir nalar, al-mishbah adalah kalbu. Asy-Syajarahb adalah sosok manusia yang bersih, steril dan istiqamah. Dan minyak adalah simbol rahasia-rahasia Allah. Akan halnya matsalu nurihi/ perumpamaan cahaya-Nya adalah cahaya makrifat. Hal ini diadopsi Einstein sebagai “The most beautiful experience we can have is the mysterious.’
Adalah ruang misteri sekaligus perjalanan emosi ketika manusia berada pada titik temu terjauh di antara seni sejati dan sains sejati. Emang sih sains kerap tidak dapat menembus ruang misteri, tapi melalui partikel suci fitri selalu saja ada hidayah yang membimbing manusia untuk menyentuh energi misteri itu.
Meski manusia tercipta, bermula dari saripati air yang hina, namun keberadaan manusia sangatlah amat istimewa. “Manusia adalah mahkota serta puncak alam semesta,” tutur Hamzah dari Pansur, empat abad lalu. Sementara Syams Al Din dari Pasai, pada abad ke-16 bertutur bahwa manusia adalah penjelmaan zat mutlak yang paling penuh dan paling sempurna. Bahkan Adinegoro menulis bahwa manusia adalah alam kecil, sebagian dari alam besar di atas bumi.
Aneka pendapat ini dalam kajian filasafat abad ke-16 menjadi acuan dalam memosisikan dan memaknai hakikat manusia. Di dataran pemikiran ini, kedudukan manusia ditempatkan pada dimensi religius yang kokoh. Ia terposisikan pada konstruksi pusat periferial keajegan alam. Seperti samudera maha luas, manusia adalah penghubung antara Zat Mutlak dan segala ciptaan-Nya.
Artinya, “Sebagai pangkat terakhir penjelmaan Zat Mutlak, maka manusia bisa diposisikan sebagai titik balik bagi perjalanan kembali kepada Allah. Secara potensial manusia adalah tempat pertemuan antara tanazzul dan taraqqi, atau tempat pertemuan pengaliran keluar dan pengaliran kembali,” tulis Dr Harun Hadiwijoyo. Bahkan seorang Soeryanto Poespowardojo menuturkan bahwa manusia ketika terlempar dalam situasi tertentu butuh bentuk-bentuk pengejawantahan yang perlu direalisasikan dalam dinamika dan historitas.
Paparan di atas diakses Albert Einstein sebagai sinergitas emanasi energi misteri E=mc2. Tidak aneh manakala kesadaran empiris-emosional menghantarkan manusia pada sains-sains Ilahiah bahwa jalinan mikroskopik yang membuat tanaman bertumbuh, mengeraskan sisa-sisa tubuh hewan laut menjadi bukit kapur, menyatukan uap air menjadi awan hingga pada big bang yang telah memuntahkan samudera partikel, hal mana material subatomik itu lalu membentuk miliaran galaksi, hingga terwujudlah “sebutir pasir‘ bernama planet bumi yang kini kita tempati.
Yang ajaib, sebagai makhluk yang hinggap di sebutir pasir, ternyata manusia memiliki potensi fitri dalam mengembangkan kebudayaan yang cemerlang. Pada titik terjauh, manusia memiliki moralitas yang tidak dimiliki hewan apa pun, termasuk apa yang dijelaskan dalam teori evolusi Darwin. Bahkan Einstein memberi apresiasi tinggi terhadap pandangan filsuf Baruch de Spinoza seputar “jiwa‘ yang tak berwujud dan tubuh yang berwujud adalah satu. Adalah spirit primordial (jiwa utama) yang menzikirkan moralitas Idulfitri.
Yang malang, potensi energi fitri ini kerap ditelikung perumitan dilematis bersifat holistik. Potensi yang dimiliki untuk memperluas kesempurnaan fitri direduksi langkah laku pembodohan jiwa. Hamzah menyebutnya ghaflat. “Adapun rupamu itu, bayang-bayang jua, namamu itu gelar-gelaran jua; dari pada ghaflatmu kausangka engkau bernama dan berupa,” ungkapnya.
Einstein, Tuhan dan Idulfitri?, “Sesungguhnya di sekitar Arsy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya, yang di antaranya terdapat suatu kaum yang menggunakan pakaian cahaya,‘ tutur seorang muballig. ‘Wajah mereka bercahaya dan mereka itu bukan Nabi, juga bukan pada syuhada. Siapakah mereka itu? Mereka adalah orang-orang yang saling menjalin cinta kasih karena Allah, dan saling bermajelis karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah semata.‘
Banyak yang tersenyum. Bisa jadi salah satu di antara mereka yang berpakaian cahaya Surga itu, atas ridha Allah SWT, adalah Albert Einstein.
-Penulis adalah Kolomnis dan peneliti, pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang.