Cerpen Syukur Budiardjo
Malam ini adalah malam yang kedua puluh dua kali Sumirah duduk di kursi bambu di depan rumah petaknya di kompleks DPR (Daerah Pinggiran Rel). Rumah yang disewanya layaknya rumah liliput. Ditemani sepi. Juga telepon genggam teman setianya. Sumirah cuma menunggu. Hingga larut malam.
Anaknya satu. Laki-laki. Cuma lulusan SMP. Dua puluh dua tahun yang lalu anak lelaki satu-satunya itu masih dikandungnya. Kini anak itu mewarisi pekerjaan ayahnya. Bukan pegawai atau karyawan. Cuma buruh kasar di Kawasan Pancoran. Daerah Pecinan di Glodok.
Setiap tanggal 13 Mei Sumirah selalu begitu. Setelah salat isya, ia duduk di kursi bambu. Sendiri. Di depan rumah petaknya. Menunggu Sardi, suaminya. Juga berdoa bagi keselamatan suaminya itu. Karena kesetiaannya yang tak tergadai atau terjual kepada lelaki lain, ia masih menunggu Sardi.
- Iklan -
Tiga belas Mei 1998. Pagi hari. Setelah sarapan lontong sayur dan minum segelas teh manis panas, Sardi berpamitan kepadanya. Berangkat bekerja. Kuli di Pasar Pagi. Meski Jakarta diamuk penjarah, suaminya tetap berangkat bekerja.
“Semoga tak terjadi apa-apa padamu, Kang Sardi,” kata Sumirah kepada Sardi.
“Ya, Sum. Terima kasih. Oh ya, Sum, kabarnya Jakarta sekarang ini sedang kacau. Banyak toko dijarah. Di Glodok, toko-toko elektronik, tak cuma dijarah. Tapi juga dibakar.”
“Jangan ikut menjarah dan membakar, Kang!”
“Nggak, Sum. Oh, ya… jaga kandunganmu. Itu anak pertama kita.”
Sardi berjalan meninggalkan Sumirah. Menyusuri gang demi gang. Meninggalkan kompleks DPR. Lenyap ditelan keriuhan Jakarta yang ingar-bingar. Sumirah cuma bisa memandang dengan tatapan mata kosong.
Sumirah melangkah ke dalam rumah. Ia kini sendiri. Ditemani bayi yang dikandungnya. Jantungnya berdegup kencang.
Sebelum menikah dengan Sardi, Sumirah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Babah Atong. Sardi bekerja di toko milik Babah Atong. Sumirah dan Sardi hanya lulus Sekolah Dasar. Mereka berasal dari satu kampung di sebuah daerah perbukitan di Jawa Tengah.
Cinta Sardi kepada Sumirah akhirnya berujung di pelaminan. Mereka menikah. Setelah menikah, Sumirah dan Sardi menyewa rumah. Mereka tinggal di kompleks DPR, yang rata-rata penghuninya memiliki pekerjaan sebagai buruh atau kuli.
Sore menjelang petang Sumirah keluar rumah. Orang-orang di kompleks DPR menggerombol di sepanjang rel. Mereka membicarakan suasana Jakarta yang galau karena ulah para demonstran. Tapi Sumirah buta politik. Ia tak mau berkomentar tentang reformasi, yang tiba-tiba menjadi makhluk menarik di televisi. Ia juga tak mau tahu tuntutan para mahasiswa yang menginginkan Pak Harto, presiden kedua negeri ini, lengser dari kursi kepresidenan.
Perhatian Sumirah cuma tertarik kepada para lelaki tua dan muda, yang tinggal di satu kompleks dengannya. Ada yang memanggul televisi. Ada yang menenteng radio. Ada yang memanggul karung entah berisi apa. Bahkan ada yang menarik gerobak berisi televisi besar, radio, dan komputer.
“Tapi, di mana Kang Sardi? Awas kamu Kang kalau sampai berbuat seperti mereka,” Sumirah membatin.
Sementara itu, terlihat oleh Sumirah helikopter militer melintas di udara. Truk berpenumpang tentara tampak hilir mudik. Dari kompleks DPR, tampak asap dari toko-toko yang dibakar membubung di kejauhan.
Ketika azan magrib dari masjid berkumandang, Sumirah sangat terkejut. Karena di dekatnya telah berdiri Sardi dengan pakaian compang-camping dan wajah kusam. Tetapi Sardi cuma diam membisu. Tak berkata sepatah kata pun. Sumirah menegurnya.
“Tumben Kang, masuk rumah nggak pakai salam. Kok tiba-tiba saja sudah berada di dalam rumah.” Sardi hanya diam.
“Para tetangga tuh menjarah barang-barang elektronik di Glodok. Mereka nekat. Ya bermodal nekat. Atau mungkin malah dibiarkan?” Sardi cuma diam.
“Oh ya, Kang, salat magrib dulu. Saya siapkan kopi dan makan malam. Meski cuma ada tempe goreng dan sayur lodeh. Masih ada kok ikan asin kesukaanmu. Mandi dulu dan ganti pakaian yang bersih!” Sumirah terus nyerocos meski Sardi tak membalasnya.
Dari dapur yang cuma tersekat tripleks dengan kamar tamu, Sumirah membawa kopi panas. Makanan sudah tersaji di meja makan yang terletak di kamar tamu. Namun jantung Sumirah berdegup kencang ketika ia tak menemukan Sardi. Tak ada Sardi di dalam rumahnya. Sardi seperti lenyap ditelan bumi.
“Kang Sardi! Kang Sardi!” Sumirah memanggil-manggil Sardi. Tak ada jawaban. Bulu kuduk Sumirah mulai berdiri.
“Kang Sardi!” Sekali lagi Sumirah memanggil Sardi. Masih juga tak ada jawaban. Tak ada suara.
Akan tetapi, yang terjadi kemudian membuat Sumirah terduduk lemas. Tiba-tiba angin dingin bertiup kencang disertai bau sesuatu yang terbakar. Layaknya bau makhluk hidup yang dilalap api.
Sumirah masih menunggu Sardi. Hingga larut malam. Ketika itu kelebat bayangan Sardi menghampirinya. Seperti aroma daging yang terbakar menusuk hidungnya.
Itu penghormatan terakhir Sumirah bagi Sardi. Pada setiap tanggal 13 Mei. Selalu begitu. Karena hingga anak lelaki satu-satunya telah besar dan melanjutkan pekerjaan Sardi, sebagai kuli, Sardi tak pernah pulang ke rumah.
Konon kabarnya ratusan orang meninggal karena terbakar di banyak toko dan pusat-pusat perbelanjaan di berbagai tempat di Jakarta pada 13 Mei 1998. Mereka dikebumikan secara massal di berbagai Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Jakarta sebagai jenazah yang tak dikenal. (*)
Cibinong, Mei 2020
*SYUKUR BUDIARDJO, Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak, media online, dan media sosial. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Kontributor sejumlah buku antologi puisi. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019),) dan Beda Pahlawan dan Koruptor (2019). Buku kumpulan esai Enak Zamanku, To! (2019), dan buku non-fiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Cerpen yang sangat menarik dan indpiratif