Oleh Drs. KH. Mohamad Muzammil
Meskipun persyaratan dalam berijtihad demikian ketatnya, namun sesuai perkembangan jaman, ulama sekarang tetap melakukan ijtihad, atau mencurahkan segenap kemampuannya dalam memahami dan menerapkan hukum yang terperinci dari sumber hukum primer, Al-Qur’an, Al-Hadits, ijma’ dan qiyas.
Persyaratan melakukan ijtihad tidak lah sederhana, seperti harus menguasai sejumlah keilmuan dalam Islam: nahwu, shorof, balaghoh, Mantiq, tafsir, asbab al-nuzul, mustholah Al-Hadits, asbab al-wurud, rijalul hadits, fiqh, Ushul fiqh, qowaidu fiqhiyah, juga harus mampu memahami keilmuan kontemporer seperti ekonomi, politik, sosiologi, antropologi, kedokteran, dan seterusnya.
Selain harus menguasai keilmuan tersebut, seorang Mujtahid juga dituntut untuk memiliki karakter atau akhlaq yang baik dalam perilaku kesehariannya.
- Iklan -
Karena itu dalam kondisi sekarang mustahil seseorang menguasai semua disiplin keilmuan tersebut. Kalau pun ada yang menguasai tentu tidak dalam pengertian spesifik dan profesional, sebagaimana disiplin keilmuan yang telah berkembang sekarang. Artinya, hanya mengetahui dasar-dasarnya saja.
Untuk itu sulit ditemukan adanya Mujtahid mutlak, kecuali melalui musyawarah dari berbagai ahli di bidangnya, atau melakukan ijtihad secara jama’i. Dalam ijtihad jama’i, meskipun dijamin bahwa “tidak mungkin kesepakatan para ahli dapat terhindar dari kesalahan”, namun dengan keterbatasan waktu, tempat, perhatian atau konsentrasi para ahli yang berbeda-beda, juga dapat menjadi kesulitan tersendiri dalam perumusan masalah dan pembahasannya. Paling tidak, dengan bertemunya para ahli dari berbagai disiplin ilmu dalam suatu majelis musyawarah akan menjadi wasilah terwujudnya kebaikan-kebaikan bagi umat atau masyarakat.
Atau dalam istilah sekarang diperlukan simposium atau sejenisnya. Namun dengan cepatnya perkembangan persoalan yang dihadapi, seringkali dilakukan musyawarah “mendadak”, sehingga hasilnya masih bersifat “instan”, dan akan melahirkan diskusi baru pada waktu dan tempat yang berbeda.
Kita lihat misalnya hasil musyawarah beberapa organisasi kemasyarakatan di berbagai tingkatan, baik pusat dan daerah dalam menyikapi covid-19, nampak berbeda-beda perumusan masalah dan hasil pembahasannya, terutama tentang perlu atau tidaknya sholat jumat, sholat fardlu berjama’ah, dan bahkan sholat tarawih pada Ramadhan mendatang di masjid atau musholla.
Keragaman hasil kesepakatan atau perumusannya tersebut mengakibatkan umat yang di bawah masih bertanya-tanya melalui pemimpin-pemimpinnya di daerah. Hal ini menandakan keterbatasan hasil ijtihad jama’i oleh ulama saat ini, yang berbeda jauh dengan hasil musyawarah ulama terdahulu, yang hasil ijtihadnya bisa dipahami dan diamalkan dengan mudah.
Bisa jadi saat itu belum ada medsos seperti sekarang, atau karena keikhlasan mereka dalam melakukan ijtihad, sehingga tidak menimbulkan polemik dalam masyarakat.
Para ahli juga nampak berbeda pandangan dalam mensikapinya. Banyak informasi yang bertebaran di media sosial, yang seolah menggambarkan perbedaan pandangan tersebut, sehingga terkesan setiap wilayah atau daerah mengambil kebijakan sendiri-sendiri.
Kemudian setelah terbitnya Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2020 tanggal 31 Maret 2020, yang disusul dengan Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020, perbedaan sikap dan kebijakan diharapkan dapat disatukan kembali.
Hal ini penting mengingat pada pasal 5 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 2020 disebutkan, “pembatasan sosial berskala besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara berkoordinasi dan bekerjasama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 6 ayat (1), “pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar diusulkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Kemudian dengan terbitnya Permenkes nomor 9 tahun 2020 tertanggal 3 April, pengajuan usulan tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB) harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
Dengan terbitnya peraturan tersebut sudah semakin jelas bahwa wilayah atau daerah mana saja yang akan dinyatakan berlaku kebijakan PSBB dan daerah mana yang tidak.
Hal ini juga akan berdampak tidak berlakunya hasil ijtihad yang dilakukan oleh ormas di tingkat pusat pada wilayah atau daerah tertentu, namun akan berlaku pada wilayah atau daerah lainnya yang dinyatakan PSBB.
Bagi wilayah atau daerah yang tidak dinyatakan PSBB berarti situasi telah pulih, sehingga masyarakat dapat kembali menjalankan kegiatan seperti semula sebelum adanya isue tantang covid-19.
Semoga Indonesia kembali segera sehat dan bangkit kembali membangun negeri menuju masyarakat yang adil dan makmur, amin. wallohu a’lam.