Oleh Umi Ha Es
Biodata Buku
Judul Buku: Ustad Salim Menangis
Penulis : Budi Maryono
- Iklan -
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Tahun Terbit: November 2019
Jumlah Halaman: 98
ISBN: 978-602-1220-28-3
Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa manusia boleh pintar setinggi langit tetapi jika ia tidak bisa menulis maka ia akan hilang dari sejarah. Kata-kata Pramudya tersebut benar adanya, terbukti banyak nama ilmuwan Islam yang telah meninggal berabad-abad lamanya namun sampai saat ini masih kita kenal melalui karya monumentalnya berupa kitab-kitab klasik. Bahkan karya-karya tersebut telah memberikan sumbangsih yang amat besar dalam perkembangan peradaban saat ini.
Bagaimanakah dengan karya fiksi? Karya fiksi selain mengabadikan nama penulisnya juga mengabadikan kebudayaan zaman di mana karya tersebut dilahirkan. Seorang penulis membangun karyanya tidak dalam ruang kosong, dalam menulis mereka diilhami oleh situasi dan kondisi masyarakat pada masa itu. Latar tempat maupun latar sosial yang digambarkan secara detail oleh penulis akan mampu memberikan gambaran yang nyata bagi pembaca di masa yang akan datang. Dengan menikmati karya fiksi seolah-olah pembaca dibawa meluncur oleh mesin waktu menuju masa silam.
Kumpulan cerpen karya Budi Maryono yang berjudul Ustadz Salim Menangis memiliki nuansa yang berbeda dibanding karya kumpulan cerpen lainnya. Hal ini dikarenakan cerpen-cerpen yang ada dalamnya ditulis dalam rentang waktu yang lama. Sebut saja salah satu cerpen dalam buku ini yang berjudul Kembali ke Jakarta (hlm.3), cerpen tersebut ditulis pada 30 tahun silam. 30 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah perubahan zaman. Banyak hal yang telah berubah dari masa cerpen ditulis sampai sekarang, sehingga dengan membaca kumpulan cerpen ini pembaca diajak untuk bertamasya ke masa lalu. Darinya kita bisa mengetahui kondisi perekonomian maupun konflik sosial yang dihadapi masyarakat saat itu.
Kumpulan cerpen yang satu ini juga bisa dikatakan sebagai rekaman kehidupan masyarakat yang terjadi di masanya.
Cerpen dengan judul Bapak (hlm. 11) menceritakan kepada pembaca bahwa pada tahun 90-an telah terjadi musibah yang menimpa para jamaah haji di Terowongan Mina. Musibah tersebut menelan korban jiwa yang cukup banyak. Kemudian dalam cerpen berjudul Embeeek (hlm.47) dan Angka Jitu (hlm. 47) dikisahkan tentang SDSB, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah, sebuah program undian berhadiah yang dilegalkan dan cukup digandrungi masyarakat di zamannya. Meski dibungkus dengan baju sumbangan berhadiah, namun tak sedikit pula masyarakat yang menyadari bahwa hal tersebut tidak berbeda dengan judi yang terselubung. Hal ini diungkap dalam dua cerpen tersebut, orang-orang yang masih memegang nilai-nilai agama dengan kuat tetap menganggap SDSB sebagai sesuatu yang diharamkan oleh agama.
Kesedihan-kesedihan yang menimpa rakyat kecil juga terekam di sini. Susahnya mencari uang saat itu ditulis dalam cerpen Kembali ke Jakarta (hlm. 3), Ustad Salim Menangis (hlm. 75) dan Aku Harus Terus Menyanyi (hlm. 85). Dari cerpen tersebut kita bisa merasakan betapa sulitnya mencari uang saat itu, bahkan untuk memenuhi kehidupan pokoknya saja susah. Kurangnya lapangan pekerjaan menyebabkan seseorang harus rela meninbgalkan keluarga dan pergi ke daerah lain, bahkan negara lain, hanya sekedar untuk menyambung hidup keluarganya.
Ada juga cerpen yang agak berat dalam buku ini, judulnya Lorong Panjang Itu (hlm. 21). Bagi pembaca yang masih punya nurani, setelah membaca cerpen ini dia akan merasa ditampar oleh pengarang. Cerpen ini adalah satu-satunya cerpen dalam buku tersebut yang tidak mampu terkoyak zaman. Kapan pun cerpen ini dibaca tidak akan ketahuan bahwa ini adalah karya yang telah ditulis puluhan tahun silam. Penulis memilih latar yang kekal untuk cerpen ini.
Lain halnya dengan cerpen yang berjudul 10.10, di sini penulis menunjukkan diri bahwa dia adalah benar-benar seorang sastrawan. “Anak kemarin sore” atau orang yang imajinasinya pas-pasan akan kesulitan memahami maksud cerpen ini meskipun sampai mengerutkan dahi sebelas lipatan. Otak pembaca akan dibawa berputar-putar terlebih dahulu oleh rangkaian kalimat kiasan sebanyak tujuh halaman baru kemudian diajak mendarat dalam sebuah simpulan bahwa manusia harus pandai memanfaatkan waktu, jika tidak maka ia akan merugi.
Kelebihan dari buku ini adalah meskipun cerpen-cerpen yang ada di dalamnya telah ditulis beberapa puluh tahun silam, namun amanat yang disampaikan masih sangat relevan.
Buku ini memuat 10 cerpen karya penulis yang sebelumnya telah dimuat di media massa. Meskipun bukan cerpen religi, namun dari 10 cerpen tersebut rata-rata merupakan cerpen yang kental dengan nuansa Islam. Mulai dari cerpen Bapak dan Ustad Salim Menangis yang berkisah tentang ibadah haji, cerpen Embeeek yang mengisahkan tentang peristiwa ibadah kurban, cerpen 10.10 yang sepertinya terinspirasi dari surat Al Asr, serta Kembali ke Jakarta yang diwarnai oleh usaha untuk merayakan lebaran.
Penulis mengaku dalam kata pengantar bahwa cerpen-cerpen tersebut dibuat “dalam rangka”, maksudnya menulisnya menjelang perayaan ataupun peristiwa tertentu. Tema yang dipilih pun disesuaikan dengan momen-momen yang ada di depan mata dengan harapan berpeluang besar untuk dimuat. Meskipun demikian cerita-cerita yang ada di buku ini tak ada satu pun yang terkesan dipaksakan. Semua cerita mengalir begitu saja dan enak untuk dinikmati.
-Peresensi adalah Kepala MI Al Mustajab Kec. Pringapus, Kab. Semarang. Pengurus LP Maarif Kab. Semarang dan Pengurus Pergunu Kab. Semarang.