Dilahirkan di lingkungan yang kental dengan agama, Laeli tumbuh menjadi gadis yang sopan serta berbakti kepada kedua orang tuanya. Dibesarkan dari keluarga yang disegani di kampungnya, sebagai panutan dan imam masjid dengan title kyai, membuat lelaki harus berfikir ribuan kali untuk mendekati, Laeli si kembang desa.
Empat bersaudara, tiga laki-laki dan terakhir Laeli gadis sendiri, menjadikan dirinya yang dianggap paling spesial, yang orang bilang anak emasnya sang kyai. Ketiga kakaknya sudah berumah tangga sendiri , mereka bekerja menjadi pedagang dan petani. Dalam keluarga ini memang pendidikan formal di nomor duakan, karena yang pertama adalah pendidikan moral, budi pekerti yang mereka geluti di dunia pesantren.
Namun tidak dengan Laeli, cara mendidiknya agak beda dibanding dengan yang lain, kakak-kakaknya lulus SMP, langsung masuk ke pesantren. Karena kecerdasannya dan mendapat dukungan dari keluarga terutama bapaknya, Laeli hanya mengenyam pendidikan formal saja tanpa dibarengi dengan ilmu agama.
Tidak terasa, gadis kesayangan kyai sekarang sudah beranjak dewasa, yang dulu pekerjaanya hanya di kamar belajar, membaca Al Qur’an dan hanya ke luar kamar kalau dipanggil oleh orang tuanya. Kini, lambat laun aktifitas di kamar berkurang, pulang sekolah hampir selalu telat, karena sudah sibuk dengan urusan tugas katanya.
- Iklan -
Sang kyai, yang orang kampung sebut kyai Hambali, sangat terkenal lembut, tidak pernah membentak anaknya, dan seratus persen percaya apa yang keluar dari mulut munggil si Laeli. Meskipun bisa dikatakan, kehidupan sang kyai hanya cukupan namun apa-apa yang diminta oleh sang anak, tanpa tanya-tanya langsung diberi.
Pakaian yang selalu melekat pada Laeli adalah pakaian yang panjang, selalu menutup aurat dan tidak ada yang bisa melihat keindahan lekukan-lekukan tubuhnya.
Bahkan sekali-kali ketika ada tamu, dan tamunya laki-laki Laeli tidak sekalipun melihat wajah tamunya, dia hanya merunduk dan kalau ditanya jawabnnya juga seperlunya saja. Salaman dengan lawan jenis yang bukan muhrim belum pernah ia lakukan, meskipun di hari-hari lebaran dia memilih untuk menghindar.
Dalam hati sang kyai, cukup puas dengan hasil didikannya sendiri, keringatnya yang selalu mengucur deras, banting tulang, kaki di kepala, kepala di kaki, bekerja keras demi menafkahi keluarga dan biaya sekolah Laeli tidak sia-sia.
Semua pantangan-pantangan yang kyai katakan tidak ada satu pun yang berani dilanggar oleh Laeli. Termasuk berpakaian, memakai celana saja dilarang apalagi celana ketat tidak mungkin, Laeli selalu memakai rok, gamis panjang dan kalau di rumah kadang memakai sarung sisa dari kakak-kakaknya.
Banyak kumbang-kumbang yang datang mendekat, mencoba merayu sang kyai, agar setelah selesai sekolah, Laeli bisa menerima pinangannya. Namun sekali lagi tameng dari sang Kyai sangat kuat. Sampai saat ini belum ada yang bisa menembus kokohnya benteng pertahanan dari sang Kyai. Kumbang tahu, mendekati Laeli adalah hal percuma karena gadis itu adalah seperti misteri jarum dalam tumpukan jerami.
Tinggi semampai, putih, hidung mbanggir, suara lembut, membuat mata lelaki tidak akan berkedip selama beberapa detik, kalau melihat alaminya wajah Laeli yang belum ternodai oleh produk-produk make up buatan luar dan dalam negeri. Make up yang paling ampuh yang selama ini orang ketahui adalah air wudhu yang di dapat dari masjid di depan rumahnya setiap hari.
Tidak heran jika Laeli sekarang menjadi rebutan, teman-teman sekolahan selalu mengoda, berebut menawarkan jasa jika ada tugas. Namun Laeli masih berpegang dalam prinsipnya dan Laeli juga lebih cerdas dibanding teman-teman yang lain, berarti ia sadar bahwa mengerjakan tugas hanyalah modus belaka.
Dengan guru-gurunya juga sangat sopan, dia juga menjadi anak kesayangan di sekolah. Dengan semua kesempurnaanya sang guru yang berstatus masih perjaka, juga kesemsem dengan kecantikan Laeli. Ia, gurunya Laeli yang anak-anak sering sebut Pak Joko guru olahraganya. Nilai olahraga Laeli selalu bagus dan ini membuat kecemburuan dari teman-teman gadis lainya. Karena bagaimanapun wanita sejenis Laeli diakui kalau materi semacam Matematika, Fisika, Bahasa Inggris dan lain-lain nilainya pasti selalu di atas 90, namun kalau olahraga 75 sudah untung. Ini ada yang tidak beres.
Teman-teman kelas Laeli mencoba menyelidiki, sebenarnya tidak baik tapi karena rasa penasaran yang sudah tidak bisa dibendung, akhirnya ketika jam olahraga, Melly memberanikan diri membuka-buka tas Pak Joko, dia meagambil HP dan membukanya, kebetulan tidak ada sandi-sandi atau keamanan lain jadi Melly leluasa membuka HP punya guru olahraga tersebut.
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh, sepandai-pandainya Pak Joko menyembunyikan hubungannya dengan Laeli pasti terbongkar juga. Melly meneruskan apa yang ia lihat di HP gurunya tersebut. Layar utama atau Walpaper HP Pak Joko terpampang foto Pak Joko dan Laeli. Yang mereka anggap bukan foto biasa, posenya melebihi hubungan guru dan murid. Akhirnya gemparlah foto tersebut di kelas.
Anak-anak sudah tidak penasaran lagi, kenapa Laeli nilai pelajaran olahraga selalu baik, ternyata ada udang di balik Pak Joko, kata anak-anak. Sindir-menyindir selalu terjadi, awalnya Laeli hanya diam saja, namun karena hampir setiap hari di bully, Laeli akhirnya bertindak, tindakannya juga cantik, secantik paras wajahnya. Dia lapor ke Pak Joko, tentang masalah dengan teman-temannya dan Pak Joko langsung bertindak.
Keesokan harinya, ketika jam olahraga Pak Joko memanfaatkan momen tersebut. Tidak segan-segan to the point, kalau ada yang membully Laeli akan berurusan denga Pak Joko, kalau masih ngeyel nilai kalian tidak akan saya proses. Biarkan nilai olahraga kalian kosong, itu sebagai konsekuen atas apa yang telah kalian lakukan ke Laeli.
Semua anak hanya terdiam, dalam hati dongkol tapi apa daya, itu adalah guru yang berkuasa terutama hubungan dengan nilai, jadi cari aman sajalah.
Memang Pak Joko, termasuk guru favorit di sekolah SMA tersebut, selain ganteng, ototnya kuat, tubuhnya tinggi semacam atlet bulu tangkis yang sering orang sebut “Jojo” nya di sekolahan ini. Jadi selera Laeli memang tidak salah alamat dan banyak teman-tema gadis yang iri.
Pulang sekolah selalu telat, dan bapaknya, Sang Kyai lagi-lagi tidak sedikitpun menaruh curiga terhadap anaknya. Dia hanya heran, bibir Laeli sekarang terlihat lebih merah, dalam hati hanya berbisik, mungkin karena dia sudah remaja jadi ada perubahan secara alami.
Tanpa diketahui oleh bapaknya, Laeli kalau sekolah selalu membawa baju ganti, dan yang dibawa adalah celana. Kita tahu di keluarga tersebut adalah larangan jika memakai celana, di rumah sekalipun apalagi “celana jin” yang menakutkan. Alasan telat pulang sekolah adalah karena les dan ada tambahan jam.
Setiap pulang sekolah selalu diantar oleh Pak Joko, mereka sangat lincah dalam bersandiwara, mereka janjian di halte agak jauh dari sekolah. Namun ada-ada saja acaranya selalu melenceng dari jalan pulang. Yang ngopi bareng, shopping, nonton dan lain-lain. Intinya mereka adalah guru dan murid kalau di sekolah. Kalau di luar sekolah baju putih abu-abu sudah ditanggalkan dan PSH dari Pak Joko sudah dimasukkan. Sudah statusnya adalah pasangan kekasih haram yang sedang kasmaran.
Hal yang demikian berlangsung, selama berbulan-bulan. Di rumah Laeli, tidak ada sedikitpun perubahan. Selalu di kamar, keluar hanya seperlunya, pakaian sederhana dan masih menjadi kebanggaan keluarga dan masyarakat sekitar.
Begitu rapihnya, Laeli menyembunyikan bermacam-macam hiasan, pakaian dan barang-barang pemberian dari Pak Joko. Hp pun bisa sembunyi tanpa dikeketahui oleh sang Kyai.
Apalagi sang ibu sangat lembut, ditambah dengan sakit-sakitan membuat sang Ibu Nyai tidak bisa mengawasi anak kesayangan Kyai. Dia hanya sering berpesan kepada Laeli, jaga dirimu, hormati tubuhmu, kamu wanita kalau kamu hormat kepada dirimu dan tubuhmu maka kamu akan dihormati.
Sore itu ada tamu, Laeli masih di kamar dan dia hanya mengintip dari cendela. Terdengar suara agak gaduh. Dalam hati Laeli mungkin itu tamunya bapak, yang ingin meminta air, karena anaknya rewel atau sakit. Karena berkat doanya bapak, antara percaya dan tidak percaya banyak menenangkan anak-anak kecil yang rewel. Atau kalau tidak, tamu yang ingin menjenguk ibu yang sedang sakit. Masa bodoh ah… gumam Laeli, dengan asyik chattingan deng Pak Joko.
Tamu tersebut adalah Arifin, ia adalah teman Laeli sewaktu masih SD, dia ke rumah Laeli pertama silaturahim, dan yang kedua menanyakan kabar keluarga termasuk menanyakan anak gadisnya. Pak Kyai menjawab, keluarga baik, Laeli juga baik, hanya ibunya yang kurang baik. Niat hati dari Arifin, ingin rasanya Laeli yang memberikan secangkir teh manis, kalau tidak minimal segelas air putih sudah sangat meredakan rasa rindu ingin melihat wajah dari Laeli sang kembang desa.
Nampaknya sang Kyai kurang peka, yang diobrolkan hanya tentang pendidikannya di pesantren, memang Arifin sudah lama di pesantren kurang lebih sudah enam tahun. Banyak cerita yang ingin diceritakan tetapi tidak dengan pak kyai saja, namun ia ingin bercerita kepada pujaan hatinya Laelina Nur Syarifah (Laeli).
Lama menunggu, secangkir teh atau kopi juga tidak muncul. Akhirnya Arifin pamit mengundurkan diri dan menunda ungkapan yang terbendung selama ini. Mungkin ini belum saatnya.
Sampai di rumah, Arifin ditanya oleh bapaknya, H. Hanafi. H. Hanafi adalah teman akrab dari kyai Hambali. Dulu ketika remaja mereka bersama-sama menimba ilmu di pesantren yang sama.
“Bagaimana hasilnya Arifin, apakah kamu disambut oleh keluarga Laeli?”
“Disambut Bi,” jawab Arifin.
“Ya suyukurlah,” sambung H. Hanafi.
“Lancar urusanmu?”
“Tidak, Bi,” jawab Arifin.
Kemudian Arifin bercerita panjang lebar kepada bapaknya tentang kejadian tadi di rumah Laeli. H. Hanafi hanya menghela nafas dan bilang, “Biar besok-besok saya urus, sekarang kamu istirahatlah.”
Hari berikutnya, datanglah H. Hanafi ke rumah Kyai Hambali, sambutannya sangat hangat karena memang sudah lama tidak ketemu. H. Hanafi langsung bercerita tentang maksud kedatangannya.
“Kemarin anak saya ke sini, tapi kok tidak ada respon.”
“Respon apa, Kang? Masih belum paham….”
Kemudian H. Hanafi menjelaskan tentang maksud kedatangan Arifin kemarin, untuk menanyakan tentang Laeli, apakah Laeli sudah ada yang punya atau belum. Namun karena tidak ada sambutan, Arifin kemudian mengurungkan niat.
Sang kyai menanyakan tentang kedatangan Arifin kemarin, dia tidak berani jujur hanya menanyakan kabar dan silaturahim, seandaniya jujur pasti langsung diterima.
Pada hari itu, sudah jadi kesepakatan antara H. Hanafi dan Kyai Hambali. Untuk menikahkan antara Arifin dan Laeli, namun dengan syarat setelah Laeli menyelesaikan pendidikannya. Dan kedua keluarga sudah sepakat termasuk Arifin. Arifin sempat ragu-ragu dan menayakan tentang bagaimana dengan Laeli apakah dia menerima dengan kesepakatan ini? Pak Kyai sudah menjamin Laeli itu anaknya sangat penurut dan tidak berani membantah orang tua. Arifin semakin semangat.
Setelah hari itu, Arifin kembali ke pesantran dan Laeli masih sibuk dengan sekolah dan hubungan dengan guru olahraganya Pak Joko.
Setelah kelulusan, belum sempat Kyai Hambali menanyakan tentang kesediaanya menikah degan Arifin, Laeli sudah meminta izin untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota pelajar. Karena lagi-lagi kyai sangat mencintai dan memanjakan sang putri. Kyai mengizinkan Laeli untuk melanjutkan study.
Sempat ada protes dari keluarga H. Hanafi tentang keputusannya, kenapa Laeli malah disuruh untuk sekolah lagi. Bukankah sudah ada kesepakatan, kalau sudah selesai pendidikan akan segera dilangsungkan pernikahan. Jawab dari kyai ringan saja, dia ingin kuliah jadi pendidikannya belum selesai. Keluarga H. Hanafi menerima alasan yang masuk akal tersebut. Untuk Arifin, dia ingin segera menikah sebenarnya, nanti kalau sudah berkeluarga Laeli masih bisa sekolah. Sang Kyai menolakya tunggulah nak Arifin, sabarlah tunggu 3,5 tahun atau 4 tahun lagi, jaminan Laeli jadi milikmu, dalam keadaan utuh seperti ini.
Pagi itu Laeli ditemani oleh guru Joko mendaftar dan urus administrasi untuk persyaratan mendaftar ke perguruan tinggi. Karena cerdas dan kelebihannya dalam Bahasa Inggris, Laeli mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.
Seiring berjalannya waktu semester satu sudah berlalu, komunikasi dengan guru Joko mulai berkurang, karena perbedaan usia dan secara prinsip sudah berseberangan. Akhirnya Laeli memutuskan untuk putus dari Pak Joko. Meskipun Pak Joko masih cinta, dan sering datang ke kos-kosan, Laeli nampaknya sudah tidak membutuhkan jasa dari pak Joko lagi.
“Habis manis sepah dibuang,” itulah nasib si Joko.
Semakin Pak Joko mengejar semakin jauh Laeli menjauh, sesabar-sabarnya Pak Joko ada batasannya juga. Akhirya pak Joko menyerah dengan membawa luka hati yang terkoyak-koyak. Sampai di sini kisah pak guru Joko berakhir dalam kehidupan Laeli si kembang desa, anak sang Kyai.
Usut punya usut, Laeli sudah punya lelaki lain yang lebih tajir, anak seorang pengusaha kaya, dengan fasilitas serba ada, mobil, kartu kredit semua telah tersedia.
Dia adalah Aji. Belakangan tercium Ajilah yang telah memenangkan pertarungan sengit dengan Pak Joko.
Semua yang Aji punya dinikmati bersama dengan Laeli, namun apa yang dipunya oleh Laeli, juga dinikmati oleh Aji.
Hidup sendiri di kos-kosan, di kota orang tanpa pengawasan. Diibaratkan burung yang lepas dari sangkar. Di rumah hanya di kamar dan dibalut dengna pakaian yang membuat panas. Dan kesempatan di kota kembang, semua itu dilepsakan yang ada hanya pakaian kurang bahan, dengan warna rambut merah agak kecoklat-coklatan.
Semester dua, tiga berlalu kini masuk di semester empat. Sifat bosan pada diri Laeli muncul. Ditambah dengan cantiknya wajah yang semakin hari semakin terawat membuat semua mata laki-laki ingin mencicipi. Sebut saja Danang, selera tinggi yang menjadi tolak ukur dari Laeli tidak diragukan lagi. Danang anak pejabat teras di kota di mana dia menempuh pendidikan, dibuat mabuk kepayang.
Gaya hidup mudah dan mewah sudah Laeli pelajari dari Pak Joko, Aji dan ini ada kesempatan dari Danang. Laeli tidak menyia-nyiakan kesempatan, langsung diterima cintanya Danang.
Laeli kini hidup dengan dua hati antara Aji dan Danang, kecerdasan Laeli sangat membantu dalam hal ini. Dan banyak strategi untuk mengelabui keduanya. Memang HP Laeli sudah tidak bisa dihitung lagi, pemberian dari Pak Joko, Aji dan juga Danang semua punya nomor dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Sang Kyai, yang merupakan panutan dari warga desa, yang doanya selalu diamini oleh banyak umat. Namun anak kesayangan kini jadi bulan-bulanan di kota orang. Dosa apa yang telah kyai perbuat?
Laeli pulang, tidak ada perubahan sedikitpun dalam diri Laeli, di kamar, merunduk dengan tamu yang lawan jenis, pergi wudhu dan ngaji seperti biasa. Lagi-lagi cukup puas Kyai Hambali dengan Laeli, dengan didikannya, hidup dihiruk pikuk dan ingar-bingar kota orang, tidak mengubah kepribadiannya. Bangga dengan diri dan Laeli anak gadis satu-satunya.
Kini sudah sampai di semester-semester akhir, ya KKN menjadi puncaknya perjalanan Laeli. Bertemu dengan laki-laki yang tidak kalah tajir dan wajah ganteng ala-ala artis korea. Petualangan Laeli kini di mulai lagi. Meskipun kamar laki-laki dan perempuan sangat jauh namun, otak-otak kadal dari Puji teman KKN-nya selalu mencari cara untuk bisa mencicipi kelembutan kulit Laeli. Berjalan sekitar satu bulan dan semua sudah berakhir.
Tinggal cerita KKN di Desa Pansari, Laeli mengejar-ngejar Puji untuk bertanggung jawab. Karena Laeli kini sudah telat tamu bulanan, selama dua kali. Tampak cuek Puji, kemudian lari ke Aji, Aji masa bodo, dia sudah punya pengganti. Satu-satunya harapan adalah Danang. Danang juga sudah tahu permainan dari Laeli. Danang hanya ketawa, ini bukan hasil karyaku, saya sudah lama tidak berkarya denganmu. Hacur sudah masa depan Laeli. Kini Laeli binggung mencari sponsor tunggal untuk si jabang bayi.
Laeli pulang dengan berbadan dua, sampai rumah biasa masuk kamar dengan wajah sendu dan tanpa ada salam. Selama dua hari tidak makan dan tidak ke luar kamar. Kyai Hambali mencoba membujuknya untuk makan, namun Laeli tidak mau. Akhirnya Kyai mengundang bidan yang kebetulan rumahnya bersebelahan. Kyai menanyakan ke ahli kesehatan karena menganggap bidan lebih tahu tentang ini daripada orang awam. Setelah selesai diperiksa bidan keluar kamar, kemudian Kyai Hambali cepat bertanya, “Bagaimana kabar Laeli, sehatkan dia? Kalau sakit akan segera saya rujuk ke rumah sakit.” Bidan menjelaskan bahwa Laeli tidak sakit, hanya kecapean dan biasa “gawan bayi” memang orang sedang hamil seperti itu.
“Apa, hamil?! anak saya hamil?!”
Belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh bidan desa tersebut, berdiri, gemetar tanpa bisa berkata-kata hanya menangis dan kemudian badan roboh ke lantai depan pintu kamar Laeli.
Laeli anak kesayangan, yang puja-puja sebagai bunga desa kini telah layu oleh kumbang jalang. Hancur semuanya, hancur reputasi Kyai Hambali. Tidak ada lagi yang mengamini ketika ia berdoa, dan tidak ada lagi yang mau menjadi makmum ketika menjadi imam.
Satu-satunya harapan, adalah Arifin anak dari H.Hanafi.
Sebelum Subuh, Kyai Hambali pergi ke rumah Arifin, dengan maksud agar Arifin segera melangsungkan pernikahan dengan Laeli. Karena kekurangan informasi H. Hanafi hanya menyanggupi, kemudian Arifin dijemput di pesantren untuk pulang dan melangsungkan pernikahan dengan Laeli.
Doa-doa Arifin terkabul, “Jika Laeli baik mudahkanlah dia untukku, namun jika dia buruk untukku, agamaku dan keluargaku maka jauhkanlan dia dan gantilah dia dengan yang lebih baik,” itulah penggalan doa dari seorang santri yang dekat dengan Ilahi, yang setiap malam selalu menangisi tentang dosa-dosanya yang telah dilalui.
Ketika Arifin pulang, dan berkumpullah dua keluarga antara keluarga H.Hanafi dan Kyai Hambali untuk melanjutkan kesepakatan yang beberapa tahun lalu sudah disepakati. Terlihat Laeli dengan wajah yang begitu manis dengan balutan jilbab warna putih yang melambangkan kesucian, putih jilbabmu melambangkan kesucian namun tidak denganmu, Laeli.
Pertama H. Hanafi bertanya kepada Laeli bersediakan kamu Laeli, jika kamu saya nikahkan dengan anakku Muhammad Arifin Bin H. Hanafi? Laeli pun mengangguk dengan semangat. Kemudian kyai Hambali bertanya kepada Arifin apakah dik Arifin bersedia menikahi Laeli Nur Syarifah anakku?
Lama Arifin tidak menjawab, pertanyaan dari Kyai Hambali, Arifin melamun ingat cerita Rini temannya SD. Rini yang merupakan teman kampusnya Laeli mengetahui belangnya dari Laeli, semua sudah diceritakan, dari Aji, Danang, dan Puji serta banyak lagi lainnya. Kalau hanya itu permasalahannya Arifin masih memaafkkan namun kini Laeli tidak bisa menjaga kehormatan dan kesucian rahimmnya, Arifin tidak bisa memaafkan.
Dengan lantang Arifin menjawab, “Tidak! Kyai dulu ingin menikahkanku dengan Laeli dalam keadaan utuh, sekarang saya tidak bersedia menikahi Laeli, jujur cintaku pada Laeli tulus dari hati, namun itu dulu, sekarang kesucian bagiku tidak bisa ditawar, silakan Laeli, menikahlah dengan bapak biologis dari calon si jabang bayi!” dengan sorban kembali ke pundak tanpa pamit Arifin pergi bersama keluargannya.
Martabat seorang kyai telah luntur oleh anak yang tumbuh dengan kemanjaan dan kasih sayang yang berlebihan. Tanpa mengenyam pesantren, meskipun anak kyai dia bisa memensiunkan dini titel “kyai”. Laeli Nur Syarifah anak durhaka.
Wonosobo, 09 Maret 2020
*Ahmad Hamid, Guru Yayasan Al Madina Unsiq Wonosobo, Relawan Literasi Ma’arif.