Oleh Khamim Saifuddin
Di awal tahun ini, kiranya banyak isu seksi untuk di bahas secara komprehensif oleh berbagai analis kebijakan pendidikan. Analisis terhadap beberapa pola kebijakan pemangku jabatan menjadi sangat urgen demi terselenggaranya pola manajerial pendidikan Indonesia mendatang. Salah satu dari sekian banyak kebijkan adalah tafsir PMA 58 tahun 2017.
Pemberlakuan secara serius terhadap PMA No 58 tahun 2017 menimbulkan polemik politis dan psikologis bagi masyarakat pendidikan. Pasalnya tafsir yang salah muncul menghiasi wacana sosial pelaku pendidikan. Sebagaimana kita ketahui, pada PMA No. 58 Tahun 2017 disebutkan bahwa sosok seorang kepala sekolah atau madrasah perlu memenuhi persyaratan yang ditentukan pemerintah.
Maksimal berusia 55 tahun, Memiliki pengalaman mengajar sedikitnya 9 tahun di madrasah negeri dan 6 tahun di madrasah swasta, Diutamakan memiliki sertifikat Kepala Madrasah sesuai jenjangnya untuk madrasah yang diselenggarakan pemerintah, Bagi kamad di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal terdapat persyaratan khusus terkait pengalaman dan pangkat. Ini beberapa poin yang memerlukan pemahaman secra serius.
- Iklan -
Poin di atas secara jelas menjadi syarat mutlak bagi lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan tidak perlu untuk dipersoalkan secara detail. Asalkan memenuhi persyaratan, siapapun PNS bisa berkesempatan menjadi seorang leader. Sangat wajar jika pemerintah membuat kebijakan seperti ini.
Namun demikian pemaknaan syarat ini berlaku tanpa terkecuali marak terjadi akhir-akhir ini. Entah karena gagal paham atau ada agenda politis rata-rata kepala sekolah memaknai hal tersebut. Imbasnya dipenghujung akhir tahun ini KKM/KKS berlomba-lomba menyelenggarakan pelatihan kompetensi kepala guna memperoleh sertifikasi kepala sekolah/madrasah.
Ironisnya tidak semua kepala memberikan kesempatan pendelegasian kepada warga sekolah/madrasah secara merata. Secara politis, sangat wajar jika kebijakan ini mengindikasikan ada upaya pelanggengan kekuasaan personal. Sekali lagi analisis ini berlaku bagi lembaga pendidikan yang diselenggaran masyarakat.
Secara psikologis tata cara pemberian informasi kepada warga sekolah/madrasah juga menimbulkan tanda tanya besar. Sedikit menukil kalimat informasi “ Bagi yang menginginkan menjadi seorang kepala sekolah/madrasah, bisa mengikuti pelatihan komptensi kepala “. Secara sederhana kalimat informatif ini kurang beretika sebab akan menimbulkan keengganan untuk berpartisipasi. Bagi sebagaian orang kan merasa risih jika terstigma menginginkan jabatan. Maka tanpa penggunaan kata seperti itu saya berkeyakinan akan banyak yang mengikutinya. Ditambah lagi biaya yang harus dikeluarkan secara mandiri (dibiayai oleh sekolah/madrasah) semakin mempertajam pertanyaan adanya politisasi pendidikan khususnya masalah penempatan jabatan kepala. Maka untuk menghindari hal seperti itu berdampak pada hubungan horizontal lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya memberikan solusi yang terbaik.
Solusi Permasalahan
Dari sekian banyak permasalahn yang muncul, ada baiknya semua pemerhati pendidikan untuk berikhtiat mencairkan masalah sehingga cita-cita good government pendidikan akan tercapai secara maksimal. Berikut beberapa solusi yang penulis tawarkan untuk mengatasi masalah tersebut.
Petama dinas pendidikan atau kementerian agama sebagai kepanjangan tangan pemerintah perlu menyelenggarakan pelatihan peningkatan kompetensi kepala secara merata. Artinya pola penunjukan atau pendelegasian menjadi penting untuk dilakukan guna menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Menurut hemat penulis sebuah lembaga pendidikan perlu adanya check and balancing kebijakan dari mitra pendidikan. Jadi dalam suatu lembaga perlu ada setidaknya 2 orang yang memiliki kompetensi sebagai seoran leader. Seperti kebijakan yang saya sampaikan bahwa pola penawaran tidak akan efektif dan menimbulkan keengganan bagi masyarakat pendidikan untuk menawarkan diri.
Kedua pemberlakuan PAK bagi semua warga pendidikan secara berkelanjutan. Bagi tenaga pendidik dan kependidikan yang berstatus PNS masalah PAK tidak ada masalah karena sudah diatur secara detail dalam peraturan perundang-undangan. Namun bagi non PNS ketiadaan mekanisme PAK seakan mengaburkan peraturan menteri tersebut. Poin jabatan fungsional menjadi masalah serius untuk diterapkan. Pasalnya masalah ini nyaris tidak akan bisa diterapkan pada jenjang pendidikan yang diselenggarakan masyarakat pasalnya tidak pernah ada mekanisme penilaian angka kredit sehingga semua warga pendidikan stagnan dalam masalah jabatan fungsional.
Ketiga memberikan sosialisasi secara benar tanpa menimbulkan multi tafsir bagi semua warga pendidikan. Peran pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan atau kementerian agama menjadi penting untuk melaksanakan tugas pokoknya yaitu sosialisasi tata aturan dengan baik dan benar. Praktik di lapangan banyak pemangku kebijakan seakan menafsirkan hal yang salah dalam mengartikulasi tata aturan yang telah dibuat. Sehingga kesalahan ini memunculkan masalah bagi warga sekolah yang paham aturan.
Keempat memberikan tata aturan dalam masalah administasi supervise pendidikan kepala seklah/madarasah secara berkesinambungan. Kenyataan di lapangan menyatakan bahwa banyak oknum kepala madrasah yang tidak bisa menjalankan fungsinya secara baik dan benar dalam manajement pendidikan. Hal ini lantaran tidak adanya mekanisme monitoring dan evaluasi dari pemangku kebijakan secara rutin, kalupun ada hanya 4 tahun sekali dalam kegiatan akreditasi sekolah/madrasah. Dengan ketiadaaan manajemen supervise yang komprehensif dan berkesinambungan menjadikan kepala madrasah/sekolah menyepelekan tata aturan manajemen yang sesuai dengan ketentuan. Banyak kepala yang menyalahgunakan kewenangan keuangan yang berimbas pada tidak seimbangnya kepentingan secara makro, misalnya.