Oleh Muhammad Syaiful, S.Pd.I, M.Ag
Kesadaran umat Islam tentang akan pentingnya memaksimalisasikan perintah Allah SWT dalam berbagai aspek mulai marak. Penamaan atau penggunaan label Syariah mulai menjamur dalam berbagai komoditas dari mulai produk Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Bisnis Syariah, Restoran Syariah, Hotel Syariah, Wisata Syariah dan bahkan dari bidang farmasi dan kesehatan.
Berbagai Produk yang mengandung unsur Islam diyakini telah sah memiliki label Islam. Seakan-akan membedakan mana yang dianggap produk Islam dan yang tidak, dalam perbankan misalnya disebut Bank Syariah diakui sebagai bank yang telah menerapkan aturan-aturan yang termaktub dalam agama, lebih spesifiknya menghindari hal yang berkaitan dengan riba. Sementara Bank Konvensional dianggap tidak menerapkan aturan Islam maka menjadi haram digunakan.
Hal itu terjadi juga dalam sektor lain, seperti restoran dan hotel syariah yang kini mengkotakkan bahwa produk selain berlabel syariah tidak layak bagi seorang muslim mengkonsumsinya. Mereka mengakui bahwa produknya sudah aman dan terlindungi dari berbagai hal yang dilarang oleh Islam, dibuktikan dengan penyematan sertifikasi halal dari MUI.
- Iklan -
Namun agaknya hal itu terlalu berlebihan, pasalnya tidak semudah itu menerapkan aturan- aturan Islam dalam komoditas tersebut. Kalau dicermati, perusahaan syariah hanya melihat tren tersebut untuk merambah pasar dari kalangan umat muslim.
Para pengusaha mengganggap hal ini sebagai peluang untuk meningkatkan jumlah konsumen dari sektor komoditas produk mereka, dengan menjadikan tren bersyariah perusahaan-perusahaan berlomba-lomba menciptakan produk bersertifikasi halal. Akan tetapi dalam kenyataannya ini membuat hal itu menjadi kapitalisasi agama, bisa jadi label syariah adalah strategi dagang untuk meraup untung besar, contohnya adalah kasus agen travel biro haji dan umroh yang telah menipu puluhan bahkan ratusan calon jamaah haji dan umroh.
Sehingga para anggotanya tidak jadi berangkat haji atau umroh. Atau kasus penipuan dan penggelapan dengan modus pembangunan perumahan syariah. Atau banyak sekali yang menggunakan embel-embel syariah untuk menarik pelanggan dari kalangan muslim agar mudah percaya pada bisnis mereka.
Kata Syariah yang beredar tampaknya hanya berhenti pada arti syariah, yang mempunyai arti aturan. Dalam hal ini aturan mana yang diterapkan? aturan Islamkah ? aturan negara kah? Atau aturan perusahaan tersebut sendiri? Tren pelabelan syariah yang kini sedang booming ternyata tidak diiringi aktualiasi Islam yang sebenar-benarnya, penerapan syariah dalam bisnis Islam itu seharusnya tidak hanya dalam cakupan penamaan istilah yang mengandung unsur Islam, atau menggunakan simbol-simbol yang bernuansa Islam saja. Akan tetapi dalam penerapannya juga harus sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Islam.
Perlu evaluasi mendalam dari orang-orang yang terlibat di dalam sektor tersebut, agar nantinya label Syariah tidak hanya diterapkan dalam aspek luarnya saja, tetapi semua nilai-nilai Islam dalam hal bermuamalah atau akad perdagangan harus diterapkan juga, sehingga orang-orang Islam dapat meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt dengan melalui penggunaan semua produk yang telah berlabel Syariah secara sempurna.
Perlu digarisbawahi bahwa kami tidak mengatakan semua yang berlabel Syariah itu tidak sesuai syariat Islam atau sampe pada fatwa haram, akan tetapi kami ingin mengkritisi dalam praktik penerapan nilai-nilai Islam tampaknya sangat minim dalam bisnis yang berlabel Syariah tersebut.
Harapannya ke depan, hal itu dapat dievaluasi lagi dan bagi pelaku usaha sebaiknya tidak hanya dilandasi niat meraup untung saja dengan cara mengkapitalisasi agama tapi alangkah baiknya dilandasi niat untuk menjembatani umat muslim dalam memenuhi kebutuhan rohaniahnya dalam menjalankan ajaran agamanya, dengan niat ta’awanu a’lal birri wat taqwa (tolong menolong dalam kebaikan).
-Penulis adalah Pengurus LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.