Oleh Hamidulloh Ibda
Pada Sabtu malam (18/1/2020), saya ikut tahlilan di tetangga. Biasa, sebelum dimulai, warga dengan deretan problematika keumatan, kebangsaan, dan keagamaan turut menghiasai forum duduk bersila dan bersarung itu. Forum cangkrukan religius seperti ini saya yakin lebih bernas daripada sidang-sidang di kantor ber-AC. Menurut saya loh ya!
“Raja Totok Santoso wingi piye kabare yo?” tanya salah satu warga sambil menghisap tembakau made in Tuhannya tersebut.
“Lah, wes nek tahanan, wong rojo edan, jebul menipu kok,” timpal salah satu warga.
- Iklan -
Selanjutnya, berbagai macam pandang bermunculan, antara satu warga dengan yang lain turut aktif memberi komentar tanpa perlu moderator dan notulen laiknya seminar internasional ataupun studium generale.
Diskusi berlangsung sekira lima menit sebelum tahlilan dimulai. Usai tahlilan, diskusi lanjut sambil menikmati teh, kacang godok, pisang, dan jajanan lainnya sambil mengedarkan berkat. Nasi kardus khas oleh-oleh kondangan umat Islam di Nusantara.
Hampir semua warga di rumah tetangga saya kala itu menghujat Totok Santoso yang merupakan tersangka karena mendirikan Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Nama Totok Santoso melambung begitu viral karena ia mendirikan kerajaan baru.
Nama lainnya, adalah Totok Santoso Hadiningrat atau raja Keraton Agung Sejagat. Ia, sebelumnya pernah tergabung dalam Sunda Empire – Earth Empire yang berdiri di Bandung. Hal tersebut diungkapkan petinggi Sunda Empire, Ki Ageng Rangga Sasana dalam sebuah berita di media massa yang kemarin saya baca. Namun, Ki Ageng Rangga menyebut Totok Santoso sudah lama dikeluarkan dari Sunda Empire karena beberapa masalah. Dus, memangnya Totok Santoso dosa apa sih?
Terlepas Kang Totok ini orang besar, keturunan keraton, atau penipu ulung, cukuplah kita menghujatnya. Saya sendiri mengerem nafsu untuk turut mencibir Totok Santoso tersebut. Sebab, orang lebih hanyut karena berita, isu, media massa, namun tidak mau menelisik “alam bawah sadar”, behind the scene, bahkan gejala skizofrenia yang saya yakin didera Totok Santoso tersebut.
Skizofrenia: Antara Kewarasan dan Ketidakwarasan
Ledakan skizofrenia yang didentumkan Totok Santoso bagi saya memang luar biasa. Semua pikiran, tertuju pada berita tentangnya dan Kerajaan Agung Sejagat. Dari tukang kebun sampai tukung kibul merasakan hal sama; “Mosok ono rojo anyar, karo keraton anyar?” sekilas terkagum-kagum demikian.
Munculnya kerajaan atau Keraton Agung Sejagat di Purworejo menurut saya adalah hal biasa. Tak ada yang menarik nan unik. Sebab, munculnya orang-orang yang diidap waham kebesaran sudah ada sejak dulu kala dan membuat manifesto, dentuman besar, atau gerakan besar yang membuat dunia tertuju padanya. Termasuk beberapa orang yang mengaku nabi pascawafatnya Nabi Muhammad Saw. Mereka itu menurut saya “gendeng”, tapi sugestinya luar biasa. Bukankah orang seperti itu punya kelebihan?
Kita harus ingat, ada Mirza Ali Mohammad, Mirza Husein Ali, Mirza Ghulam Ahmad, Rashad Khalifa, Asy-syaikhah Manal Wahid Manna, Tsurayya Manqus, Al-Mukhtar bin Abi Ubaid, Sajah binti Al-Harits bin Suwaid, Thulaihah bin Khuwailid bin Naufal, Abhalah bin Ka’ab bin Ghauts Al Kadzdzab alias Al Aswadi Al Ansi, dan yang paling populer di dunia dan akhirat adalah Musailamah bin Tsumamah bin Habib Al Kadzdzab.
Deretan orang-orang ini bagi saya memiliki waham kebesaran yang “warbyasyah” karena usai Kanjeng Nabi Muhammad wafat, mereka berani mendeklarasikan diri sebagai “Nabi Baru” tanpa perlu public hearing apalagi fit and proper test.
Waham kebesaran seperti ini bisa mengidap siapa saja, karena pada diri manusia sering dihinggapi diri-diri yang lain. Saat kesurupan diri-diri yang lain inilah, ia tak terkontrol. Saat itulah, dirinya bukan dirinya sendiri. Karena di dalam dirinya, bersemayam diri-diri yang adikuasa dari diri yang lain. Sehingga, ia merasa besar, dahsyat, dan punya kekuatan di luar rata-rata. Ini bukan anomali, tapi bagian dari eksistensi skizofrenia yang memang membuat orang ingin menguasai dunia.
Ketika manusia dalam kondisi adikuasa itu, waham kebesaran sudah mengidap, maka ia ingin menjadi manusia super, Friedrich Nietzsche menyebutnya sebagai “Ubermensch”, sedangkan DC Comics dalam komiknya menyebut sebagai “Superman”, A Setyo Wibowo lebih sepakat dengan idiom “manusia yang melampaui”. Entah, apapun pilihan terminologinya, jelas-jelas manusia super atau waham kebesaran itu hampir hadir di dalam diri manusia, termasuk saya, Anda, dan kalian semua para pembaca.
Masalahnya, kemahakuasaan itu hadir dari pikiran, mimpi, atau ilahi alias dari Tuhan secara langsung. Sebab, semua nabi mengalami hal itu semua, ia memang ditakdirkan menjadi manusia yang memiliki kemahakuasaan yang dipinjami (tajalli) dari Tuhan. Gejala ini, saya menyebutnya sebagai gejala skizofrenia. Sebab, saya sejak 2013 sampai kurun 2017, menemani dan diskusi banyak dengan guru filsafat saya, Ahmad Fauzi penulis buku Agama Skizofrenia bahkan sampai kini meski jarang tatap muka.
Sedikit banyak, saya tahu apa itu skizofrenia teknis. Dalam diri manusia, diidap sebuah ilusi kebesaran diri, yang bercorak delusional dan itu ada dalam diri manusia. Seolah-olah, bahkan fakta, alam bawah sadar itulah yang mengendalikan, menyopir, dan menentukan langkah diri kita yang dalam konteks ini adalah diri yang sadar.
Nah, Totok Santoso, bagi saya adalah “pahlawan” yang menyadarkan manusia yang kelihatannya waras, namun tidak menelisik kedalaman alam bawah sadar manusia. Totok bagai cermin, di mana manusia era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 ini terjebak pada belenggu materialisme, kapitalisme, dan modernisme fisik tanpa memandang alam bawah sadar, atau apa saja yang metafisik pada diri manusia. Bukankah manusia kini hanya hobi memakai topeng, selubung, samaran, dan penuh falsifikasi?
Sihir Totok Santoso
Totok dengan gagah dan egaliter parsialnya mendeklarasikan diri sebagai “the new queen”. Dengan ditemani permaisuri yang ternyata bukan istri sahnya, Totok dengan rezim “Raja Agung Sejagat” pun mengundang awak media untuk menyebarluaskan informasi adanya kerajaan tersebut.
Kala itulah, semua orang tersihir, meski akhirnya “nyinyir”. Lalu, apa sih yang menarik dan dapat diambil hikmahnya dari Totok Santoso ini?
Pertama, seperti saya tulis di atas, Totok adalah penyelamat manusia dari belenggu materialisme. Totok mengajarkan kepada kita, untuk melihat orang agar tidak sekadar dari sudut pandang fisik saja, melainkan harus metafisik pula.
Kedua, Totok membuka kran riset agar para profesor atau guru besar sejarah turun gunung. Belajar sejarah dari masyarakat di lapangan, bukan sekadar meriset buku-buku cetak saja.
Ketiga, Totok menjadi simbol bahwa manusia saat ini rata-rata memang “ingin berkuasa” meski kadang dirinya tidak dapat menguasai dirinya sendiri. Saya yakin, jika Totok menguasai dirinya sendiri, Totok nggak bakalan masuk penjara dan mendeklarasikan diri sebagai raja. Edan po?
Keempat, Totok mengajarkan pada umat manusia untuk terus menelusuri hakikat diri, jati diri, harga diri, dan jangan sampai kita kehilangan diri, hakikat diri, harga diri, bahkan jati diri seperti yang sudah dilakukan sahabat Totok.
Cukup Totok lah yang menjadi “juru tebus” skizofrenia kosmis dengan mengaku raja. Sebab, orang waras dan edan, bagi saya tidak ada. Yang ada hanya orang yang menggunakan akal sehatnya, atau tidak menggunakan akal sehatnya. Atau, orang yang dikuasai alam bawah sadar, dan dikuasai alam sadar.
Totok merupakan deratan “pahlawan” yang berhasil mengelabui umat manusia. Dengan skizofrenia dan waham kebesaran yang ia idap, Totok mampu menggerakkan dunia. Menjual jabatan dengan beberapa nominal yang tak sedikit, dan semua orang tertipu dengannya. Dus, hebat mana, kita atau Totok?
-Penulis adalah Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah.