Pada Suatu Jeda
Jalanan jauh itu,
hari buta terlunta.
Sepi yang lacur
dilucuti kepak jalak.
Napasku, dengus
anjing pada bukit senyap
dilingkup kabut.
Mencarimu!
2010
Aku Jatuh Cinta
Aku jatuh cinta kepada perempuan tua
di terminal subuh yang gagap. Matanya,
menggugurkan magnolia dan jerit dunia
adalah gulma yang beredar dari inang.
O celak mata yang paripurna,
mengapa kepedihan terlihat begitu megah?
Ia sendiri menggendong bakul.
Kemana akan ia bawa onggokan sawi itu?
- Iklan -
Aku terluka, ia menolak tanganku.
“Tiga kilo di depan, Ibu sampai pasar.”
Aku melihat tubuhnya seperti malaikat
terlunta. Aku terlunta-lunta di semesta
bayang langkahnya yang terhuyung
menahan batuk. Aku terbatuk-batuk
dan terhuyung ketika mataku ditinggalkan
tubuhnya ke tikungan berkabut, sebelah
minimarket yang tak punya waktu tidur.
Beri aku peta. Langit ini kelewat asing.
Bumi terlalu murung!
2016
Penyair
Aku tidak akan menemanimu untuk menyingkirkan
orang-orang yang kau benci. Penyair, menarilah.
Puisi menemui bunyi yang murni dalam sunyi.
Kata tak memerlukan korban dan koran untuk menata
beberapa bunga, sekelumit biodata dan senyum
pada sebuah foto yang senantiasa cemas.
Untuk menghardik atau menyekap seorang polos
di kamar kau tak membutuhkan tanganku
dan aku takkan menari untuk setiap musik
yang kau putar karena puisi bukan pelayan polos
di kafe para pemabuk. Mereka yang bunuh-bunuhan mengira
puisi adalah ladang dan kata adalah bibit
padi untuk waktu panen yang rawan.
Penyair, tidak perlu mencekikku
tanganmu terlalu lemah untuk leherku sekalipun kau seorang dewa.
2015
Di Kampung
Sayap senja.
Kelopak kangkung yang ungu
di bawah matahari kemerahan
menggelincirkan angin
ke ujung lengkung pematang.
Merayap malam di genting-genting.
Jendela dan pintu ditutup Ibu.
Aku pulang seperti seorang bocah
telanjang membawa patahan layang-layang.
2017
T-E-L-E-P-O-N
I
Dulu, ketika di rumah saya juga di rumah Anda
baru ada benda asing bernama telepon,
diam-diam saya selalu menelepon Anda
waktu petang atau pada pagi di hari libur sekolah.
Berpuluh kali Anda mendengar dering
dan mengangkat gagang telepon
tapi Anda tidak pernah mendengar apa-apa.
Itu karena saya tidak sanggup bersuara untuk Anda
sekalipun melalui gagang telepon.
Saya sempat khawatir, adakah pesawat telepon
Anda dapat melacak nomor telepon saya?
Tetapi waktu dulu pesawat telepon
tidak memiliki layar pemindai. Jadi, saya tenang saja
menekan nomor telepon dan mendengar
caci makin Anda yang memabukkan itu.
“Hallo! Hallo! Siapa di seberang sana?
Bicaralah, bidadab!”
Anda tentu berusaha memperkirakan
siapa orang iseng di balik dering misterius
yang membuat Anda jengkel dan marah.
Mungkin Anda membayangkan orang-orang di sekolah. Mareka yang dendam
karena kekasih mereka jatuh cinta kepada Anda.
Mereka yang tanpa malu memberi Anda bunga di kantin. Atau Anda memperkirakan itu ulah guru-guru muda yang keder dipesona lesung pipi dan gigi gingsul Anda?
Saya tidak peduli
siapa yang Anda duga biang keladi,
karena saya tidak akan ada di dalam
perkiraan Anda. Itulah mengapa
saya terus menerus menelepon Anda.
Itu memang teror, tapi itu adil.
Anda sudah begitu lama menjadi teror
di dalam hidup saya.
Mengacak-acak jam makan dan jam tidur;
merusak gairah membaca dan bermain;
dan semua hal yang lebih dari sekadar
dering telepon yang sesekali.
Tetapi pada penghujung libur ujian akhir sekolah, menjelang hari kelulusan saya dan Anda,
ibu Anda yang galak itu mengangkat telepon.
“Bersenang-senanglah orang bodoh!
Tidak lama lagi kami akan memenjarakan Anda.
Kami tahu siapa Anda!”
Betapa tiba-tibanya bencana. Hanya suara Anda
satu-satunya yang membuat saya bahagia
dan itu, harus saya relakan juga?
Lebih dari sekadar langit runtuh. Lebih
dari sekadar terseret dalam kehampaan,
saya dalam kungkung semesta bayang Anda
lontang-lantung seperti kera lapar
di hutan terbakar.
Saya mendatangi begitu banyak sudut kota
yang memiliki telepon umum.
Memasukkan koin, menekan angka-angka
yang bertahun-tahun menjadi satu-satunya yang saya ingat lalu pergi
meninggalkan gagang telepon tergeletak
—yang entah Anda angkat atau tidak.
Saya kadang tertawa
membayangkan beberapa polisi mendatangi
telepon umum yang telah saya tinggalkan.
Saya memang tidak terlalu yakin
ibu Anda serius, tapi saya tidak cukup berani menanggung kecelakaan hidup yang lebih dari semua yang telah saya terima.
II
Waktu mengantarkan saya juga Anda
kepada hari-hari yang terus berubah.
Saya makin dewasa. Jakun saya makin jelas.
Bulu-bulu di dada dan janggut saya,
semua menjadi sangat lebat. Tentu kini
saya dan Anda tidak perlu lagi telepon rumah.
Anda dan saya punya telepon genggam.
Saya dapat nomor Anda dari Dewinta
—teman kita waktu sekolah dulu.
Kami bertemu di pasar malam
di alun-alun kota tempat saya dan Anda hidup.
Rudi, kekasihnya, dulu ia kelas 3E
membelikan sebuah boneka beruang
untuknya. Kemesraan mereka sejak dahulu memang menjengkelkan, jadi aku
tidak merasa perlu berlama-lama di sana.
Lagipula sepasang mata mereka yang kasmaran
meminta saya agar segera pergi.
Tetapi nomor telepon genggam Anda
tidak berguna, karena saya dan Anda
keburu bertemu di persimpangan kecamatan.
Sebuah pertemuan yang mestinya
menggembirakan itu membuat semua yang saya damba musnah dalam seketika.
Bukan sebab bentuk wajah, potongan rambut, dan lekuk tubuh Anda yang sudah lain,
tapi karena tatapan dan senyuman Anda
bukan tatapan dan senyuman
yang dahulu mampu menenteraman jiwa saya.
Saya kehilangan mata air di mata Anda.
Saya kehilangan telaga biru di senyum Anda.
Gigi gingsul dan lesung pipi Anda
hanya tempelan yang tidak memberikan
getaran apapun di dada saya.
Bahaya sekali! Begitu lama saya menantikan hari pertemuan, tapi ketika saya bertemu dengan Anda
saya tidak sama sekali menemukan Anda yang dahulu teramat saya cinta.
Bagaimana cara menjelaskan keadaan ini?
Saya telah merawat penderitaan demi penderitaan
untuk menjaga perasaan saya
sebagai alasan paling dungu untuk tetap hidup,
bermimpi, dan berbahagia
sementara Anda yang kini saya temui
menghancurkan semuanya.
Oh, sebiadab inikah takdir yang harus saya terima
hanya untuk mencintai Anda?
Rasanya, saya ingin mengutuk Anda
menjadi burung buruk rupa
yang mati ditembak segerombolan pemburu liar!
III
Hasrat orang baru gede menggebu-gebu
keberanian ciut dan akal yang mentok
akhirnya lelah dan menyerah pada usia.
Saya mulai melupakan Anda dan berbahagia dengan bayang Anda di masa lalu.
Itu cara saya hidup di dalam segala apa
yang tidak tersisa. Saya pikir tepat
membalas dendam dengan menganggap Anda mati.
Sebagai orang asing, tidak satu hertz pun perasaan saya akan bergetar untuk Anda.
Saya tidak akan bersedih untuk setiap hal yang terjadi terhadap Anda.
Hidup saya memang jadi tanpa rasa.
Anda mungkin dapat membayangkan
selembar daun kering mengambang di air tenang.
Tanpa perlawanan, tanpa tujuan.
Tanpa kehendak, tanpa harapan.
Seperti itulah saya setelah berdamai
dengan kebahagiaan baru
yang saya ciptakan.
Tetapi ketika saya menerima
surat undangan pernikahan Anda
yang tergeletak di muka kasur
yang kata ibu dikirim tukang ojek,
jantung saya tiba-tiba kembali
berdegup, lebih gila dari semua degup
yang pernah ada di dalam hidup saya.
Saya mengutuk diri saya sendiri.
Mengapa saya baru sadar
waktu telah bergerak begitu jauh.
Orang-orang berpuluh kali
berpeluk dan berganti kekasih;
orang-orang telah memilih menikah
menciptakan kebahagiaan kecil
di bumi yang serba semu ini
sementara saya masih terjebak
dalam dendam cinta
yang tidak pernah sepenuhnya terbalas.
Celaka! Kaki saya bergetar dahsyat
ketika berjalan mendekati Anda
di pelaminan.
Ketika suara saya yang terbata-bata
memberikan ucapan, selamat!
Kebahagiaan Anda yang sakral itu
adalah puncak penderitaan saya!
Saya benar-benar sampai pada kegilaan.
Bagaimana mungkin tidak satu detik pun
Anda melihat sorot mata saya
yang meronta-ronta?
Bagaimana mungkin
Anda sama sekali tidak pernah mengira
bahwa saya adalah orang yang dahulu
selalu menelepon Anda?
Saya adalah orang yang mencintai Anda!
Orang yang dicukupkan gairah cintanya
hanya dengan mendengar suara Anda.
Yang mati-matian tidak memilih mati
mesti hidup saya terasa telah sampai
pada kematiannya hanya untuk merawat
rasa sakit karena cinta saya kepada Anda.
Saya yang tetap datang meski diguncang
amarah yang membabibuta
di pelaminan Anda yang megah itu
tidak sama sekali diberi senyum.
Bedebah!
IV
Tidak apa-apa. Semua di bumi ini
pada akhirnya sampai pada hari tanpa getaran.
Saya baik-baik saja. Sebaik dunia Anda.
Barangkali kelak saya akan menelepon Anda, lagi.
Seperti petikan gitar yang dihentikan
sebelum lagu berakhir, ketika Anda berbicara
saya akan tenggelamkan telepon genggam
di kolam ikan lalu saya asyik bernyanyi
sambil bermain sabun di kamar mandi.
Banten, 2015
Profil Penyair:
Muhammad Rois Rinaldi, lahir di Banten 8 Mei 1988. Koordinator Nasional Gabungan Komunitas Sastra ASEAN dan Redaktur Sastra Biem.co. Bersastra sejak 1998. Tulisannya berupa puisi dan esai dimuat di berbagai media massa, baik lokal, Nasional, maupun media massa di beberapa negara ASEAN. Rois menerima penghargaan Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera, 2014) dan Anugerah Utama Penyair ASEAN (E-Sastera, 2015 dan 2016). Bukunya yang bertajuk Sastracyber: Makna dan Tanda menjadi buku terbaik terbitan Esastera Enterprise di Malaysia dalam kurun waktu 10 tahun (2006-2016). Surel:rois.rinaldi.muhammad@gmail.com. Instagram: @muhammadroisrinaldi