Oleh Muallifah
Dalam peradaban Islam modern yang begitu lekat dengan spirit kerohanian yang berkobar-kobar, seringkali Islam hanya diartikan dalam kenikmatan ritual sedangkan sikap kepedulian pada realitas di sekelilingnya diabaikan. Kondisi seperti ini membawa wajah Islam yang dianggap tak ramah pada masyarakat terutama kaum mustad’afin, padahal sejatinya Islam hadir memudahkan manusia dalam membangun kesadaran pada keberadaan saudaranya.
Sebagai kaum elit yang dipercaya mendalami ajaran Islam dengan sanad keilmuan yang jelas, santri menjadi representasi muslim yang dapat dijadikan acuan esensi dari ajaran Islam yang sebenarnya. Tantangan yang dimiliki oleh santri masa kini bukan lagi dengan kurangnya informasi tentang bahan referensi yang digunakan sebagai penunjang pengetahuan. Akan tetapi, tantangan hari ini semakin berat, mulai dari tantangan eksternal dan internal. Dalam hal ini, tantangan global yang menjadi isu terberat bangsa ini yakni radikalisme.
Radikalisme muncul sebagai ide yang mematikan pemikiran bangsa untuk memecah belah bangsa atas nama agama. Padahal, agama hadir sebagai wujud kerohanian manusia yang dibutuhkan. Apalagi zaman yang serba instan dalam mengakses segala kebutuhan, kecuali kebutuhan rohaniah tidak bisa diakses melalui teknologi kecuali agama.
- Iklan -
Ia hadir sebagai jembatan bagi pemeluknya untuk bersikap selayaknya manusia, menghilangkan sifat kebinatangan manusia dari segala perilaku buruk yang menjerumuskan manusia lain. Sehingga dapat kita artikan bahwa kehadiran kita sebagai pemeluk agama Islam merupakan interpretasi dari Islam itu sendiri, ajarannya serta bagaimana esensinya Islam dalam sosial.
Corak kehidupan masyarakat dalam sosial, masyarakat maupun beragama tidak pernah lepas dari simbolisasi yang diinterpretasikan dalam berbagai makna. Misalnya wanita yang berjilbab, adalah ia seorang muslimah yang mematuhi aturan Tuhannya, dan menjauhi segala larangannya. Padahal, interpretasi semua itu bukan merupakan kebenaran yang seutuhnya, masih melalui kajian-kajian yang perlu kiranya spesifik untuk membuktikan kebenaran tersebut.
Namun, kebenaran umum yang sering dipakai oleh masyarakat banyak yakni ia yang memiliki rating tertinggi di kaca mata masyarakat. Akibatnya, kadang kita tidak memiliki usaha lebih untuk memaksimalkan upaya agar kebenaran umum yang ada bukan menjadi acuan utama dalam menetapkan kebenaran.
Sebut saja santri, pesantren dengan berbagai pembelajaran yang diterapkan di dalamnya memiliki simbol keislaman yang kuat bagi kebenaran umum. Akan tetapi, dalam kebenaran umum konteks sosial yang berbeda menganggap bahwa pesantren merupakan ladang serta sumber penyebaran virus radikalisme yang selalu menuai kontroversi publik. Imperium pemikiran masyarakat tentang pesantren yang terdapat dalam konsumsi publik media sosial kian semakin ciut dan mempercayai generalisasi buta bahwa pesantren adalah ladang radikalisme.
Perang santri bukan lagi dengan rasa malas yang melanda untuk mengaji, untuk bangun subuh dikala tidak terbiasa di rumah. Pegangan santri tidak hanya kitab kuno, ajaran tauhid bagaimana cara memanusiakan makhluk lain. Lebih luas lagi, santri masa kini melalui konstruksi pemikiran dengan landasan kondisi masyarakat yang serba teknologi, perlunya santri yang melek teknologi dengan digitalisasi dakwah yang harus diperkenalkan oleh santri untuk menjawab semua tudingan miring perihal santri dan virus radikalisme.
Data Kementerian Kominfo, menunjukkan selama tahun 2018, sudah dilakukan pemblokiran konten yang mengandung radikalisme dan terorisme sebanyak 10.499 konten. Terdiri dari 7.160 konten di Facebook dan Instagram, 1.316 konten di Twitter, 677 konten di Youtube, 502 konten di Telegram, 502 konten di filesharing, dan 292 konten di situs website. Melalui data tersebut, kita pahami bahwa internet menjadi ladang terbesar dalam perkembangan bibit radikalisme dan terorisme.
Ajaran Islam ahlussunah wal jamaah harus benar-benar didakwahkan dalam media sosial oleh santri dengan corak yang modern dan menyesuaikan zaman. Kebutuhan masyarakat millennial saat ini bukan lagi dengan metode dahulu yang diajarkan oleh leluhur kita. Akan tetapi, mengikuti tren modern yang sekarang sudah menjadi konsumsi publik, hari ini santri harus lebih membranding diri dengan digitalisasi dakwah untuk memunculkan ajaran Islam yakni Tawassuth, Tawazun, al-I’tidal, Tasamuh. Harus menjadi prinsip bagi santri masa kini dalam mendakwahkan ajaran Islam yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Dapat kita pahami bahwa peran santri dalam dunia sosial, dunia kapitalisme yang mendominasi jagat media sosial.
Cara marketing, memasarkan, mempromosikan ajaran Islam yang damai, ramah terhadap semua makhluk dimuka bumi dibuktikan dengan bagaimana interpretasi ajaran Islam yang dikemukakan melalui konten media sosial yang ramah, tidak memihak satu golongan, bersikap adil terhadap sesama serta memaknai keberagaman dengan sangat terhormat bisa dibaca oleh masyarakat luas bahwa santri memberikan sumbangsi besar terhadap penyebaran ajaran Islam rahmatal lilalamin. Setigma negatif tentang ajaran Islam yang berafiliasi pada ajaran radikal dapat diminimalisir dengan upaya tersebut.
Hal ini harus dilakukan seorang santri sebagai peserta didik pesantren yang mengenyam pendidikan agama lebih dalam, menelaah berbagai kitab kuno dari berbagai refrensi dengan sanad keilmuan yang jelas, perpaduan pemahaman ajaran Agama Islam, dengan kemampuan pengetahuan umum, melek teknologi. Santri hadir sebagai problem solver dalam upaya menangkal radikalisme bagi generasi yang akan datang.
-Penulis adalah mahasiswi IAIN Madura, kader PMII IAIN Madura, penulis buku “Mahasiswa Baper No! Produktif Yess!