Oleh Hamidulloh Ibda
Jika kini, kita bosan dengan jutaan para ‘pahlawan kesiangan’ yang rajin “luru rai”, menjilat bahkan “rai gedhek” untuk kepentingan materi saja, maka jawaban kompatibelnya ya tukang kebun lah pahlawan sebenarnya.
Tukang kebun bukan sekadar bermakna profesi, melainkan sifat, karakter, dan subtansi. Mau satpam, guru, dosen, tukan sapu atau tukang kebun asli, semua memiliki tugas memperindah taman, itu tugas pokok tukang kebun. Saya menyebut pahlawan, bukan pahlawan nasional. Beda ya!
Jika tukang kebun asli, mereka bekerja pagi, pagi betul melebihi PNS, melebihi kepala dinas, bupati, gubernur, bahkan rela tidur di kantor meninggalkan anak istri. Ketika ada kegiatan, mereka mempersiapkan tempat, acara selesai, mereka juga masih bekerja membersihkan bekas kotoran atau regetan dari acara tersebut sampai selesai.
- Iklan -
Saya berkelakar demikian dengan istri yang sedang hamil tua usai Kemah Kebangsaan Satuan Komunitas Pramuka Ma’arif NU Jateng kemarin. Kemudian, istri saya bertanya; “Pa, kira-kira pahlawan sebenarnya saat ini siapa? Apakah guru, dosen, dokter, hakim, tukang parkir, tukang tambal ban, PSK, atau penjual karcis?”
“Pertanyaan dan jawabanmu itu, tak ada satupun yang laik menjadi pahlawan, Ma. Pahlawan itu sebenarnya bukan masalah posisi, tapi aksi. Bukan siapa dia, tapi berbuat apa dia. Bukan masalah profesi, tapi gerakan yang mereka lakukan. Bukan masalah to be atau jadi apa, tapi to do atau berbuat apa”.
“Berarti, guru belum tentu disebut pahlawan ya?”
“Ya durung mesti. Guru kalau sekadar ngajar, pulang, ngajar, pulang, terus tidak melakukan perubahan apa-apa ya sama saja pekerja, buruh. Tukang kebun, bagi saya paling cocok dengan era kini, Ma. Mereka bukan siapa-siapa, terlihat rendah, namun penentu segala macam gawe kehidupan manusia, khususnya kebersihan lingkungan, alam”.
Diskusi berlanjut, dan kami sama-sama introspeksi, bahwa menjadi pahlawan itu ternyata pada pekerjaan apa yang dilakukan, bukan menjadi apa, berposisi apa, menjabat apa.
Pahlawan dan Pahlawan Nasional
Pahlawan dan pahlawan nasional, bagi saya memiliki presisi perbedaan mendasar. Pahlawan bisa hadir di ruang-ruang sunyi tanpa harus diakui publik. Sekalipun, hadir dari orang-orang garis bawah-akar rumput. Sebut saja tukang sapu, tukang kebun, petani, nelayan, dan profesi lain yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
Berbeda dengan pahlawan nasional yang memang berjasa pada bangsa khususnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pada Jumat (8/11/2019) kemarin, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK Tahun 2019 tanggal 7 November 2019 yang menentukan enam pahlawan nasional.
Pertama, Abdul Kahar Mudzakkir, salah satu tokoh muslim yang ikut berjasa dalam proses pendirian dan pengembangan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang bertransformasi menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Kedua, Alexander Andries (AA) Maramis, pejuang kemerdekaan Indonesia dan pernah menjadi anggota BPUPKI dan KNIP bersama Kahar Mudzakkir dan KH Masykur. Ketiga, KH. Masykur, pendiri Pembela Tanah Air (Peta) yang kemudian menjadi unsur laskar rakyat dan TNI di seluruh Jawa. Keempat, Prof Dr Sardjito merupakan rektor pertama Universitas Gadjah Mada atau UGM.
Kelima, Ruhana Kudus atau yang juga kerap ditulis Rohana Kudus merupakan seorang wartawan perempuan pertama di Indonesia yang berasal dari Sumatera Barat. Keenam, Sultan Himayatuddin merupakan pemimpin Kesultanan Buton yang terletak di Pulau Buton sebelah tenggara Pulau Sulawesi.
Jika kita bercita-cita jadi pahlawan nasional, sangat ‘mustahal’ karena kita tidak hidup di era mereka. Paradoks. Kita berpotensi menjadi pahlawan ketika benar-benar mampu membawa perubahan mendasar.
Dari segi bahasa, pahlawan akar katanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “phala wan”. Artinya, orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Mereka merupakan orang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Definisi ini terlalu heroik karena dulu disandarkan pada perlawanan dengan penjajah.
Tapi bagi saya, pahlawan hari ini adalah mereka yang rela berkorban, pelopor bukan pengekor, flowers bukan followers. Mereka adalah generasi bunga yang harum, memberi perubahan, bermanfaat bagi semua orang tanpa harus dikenal manusia di sekitarnya. Itu pahlawan!
Tukang Kebun Itu Pahlawan!
Problem lingkungan hari ini menjadi isu yang sedikit peminatnya, baik dari kajian atau implementasinya. Problem sampah, dibebankan pada tukang sapu, tukang kebun, penjaga, dan lainnya. Padahal, setiap hari kita ‘nyampah’, entah berupa botol plastik, kantong plastik, sedotan, bungkus makanan, sterofoam, kardus, puntung rokok, juga kotoran.
Berapa kilogram plastik yang kita produksi tiap hari? Pernahkah kita menghitungnya? Ah, boro-boro! Buang sampah saja kita tidak pada tempatnya. Jika demikian, bukankah kita ini justru menjadi perusak lingkungan sekaligus sampah masyarakat?
Dari data Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia tahun 2019 ini menghasilkan 67 juta ton sampah khususnya sampah organik sekitar 60 persen dan sampah plastik 15 persen. Edan tenan! Saya khawatir, kalau Indonesia disebut “negara sampah” ketika tak dapat mendaurulang dengan teknologi baru.
Soal ini memang berat, meski tak mustahil kita lakukan perubahan dengan sekadar menjaga kebersihan diri, rumah, lingkungan, dan alam sekitar. Solusinya, jelas ada pada tukang kebun. Minimal, kita menjadi tukang kebun di rumah sendiri. Sebab, hampir semua kantor, sekolah, masjid, kampus, stadion, perpustakaan, barbershop, toko-toko, tiap hari ‘nyampah’ dan otomatis membutuhkan tukang kebun.
Tukang kebun yang saya maksud adalah mereka yang menjaga kebersihan lingkungan. Mereka bisa jadi berprofesi sebagai tukang ‘resik-resik’, atau orang yang berjiwa ‘penjaga lingkungan hidup’. Sebab, soal sampah ini menjadi problem dunia, maka negara-negara maju teknologinya seperti China, Amerika, Jepang, membuat teknologi daur ulang sampah sebagai pembangkit listrik. Ini luar biasa dan sudah dilakukan di Indonesia meski belum maksimal.
Kembali pada tukang kebun, secara objek material, ia bisa jadi profesi, jiwa, sifat, atau karakter orang yang rajin bersih-bersih, menjaga lingkungan dari kotoran. Secara objek formal, tukang kebun ini saya sebut sebagai guru, mereka bertugas menjaga lingkungan edukasi, menjaga siswa, agar terhindar dari kotoran, virus, racun, bakteri, dan kawan-kawannya.
Masalahnya, sudahkah kita menjadi tukang kebun yang menjaga lingkungan? Sudahkah guru-guru memahami bahwa mereka hakikatnya ‘tukang kebun’ yang bertugas menjaga taman (sekolah) agar indah laiknya taman surga? Sebab, sekolah itu ya taman, ‘raudlah’, Ki Hajar Dewantara juga memberi nomenklatur “Tamansiswa” pada sekolahnya.
Jika kita ingin menjadi pahlawan, jadilah tukang kebun sebenarnya. Jika tak mampu, hargailah mereka. Belikan makanan, atau baju, atau minimal kita hormati dan sayangi mereka. Seperti contoh pada Senin, 4 Desember 2017, Sindo memberitakan Kapolda Sulsel Irjen Pol Umar Septono lebih menghormati tukang sapu daripada personel polisi. Ini tindakan terpuji karena memanusiakan tukang sapu, tukang kebun yang memang jasanya besar, meski kelihatannya rendah.
Inilah pahlawan sebenarnya. Tukang kebun yang baik, memiliki heroisme menjaga lingkungan. Sebelum adanya banjir bandang, polusi udara, tukang kebun menjadi penentunya. Mereka perlu diberi penghormatan, berkat jasa mereka, kantor-kantor bersih, indah, dan tertata. Berkat mereka, alam kita lestari, sehingga tak ada kali mampet dan banjir bandang serta bencana alam lainnya.
Ironisnya, tukang kebun, tukang sapu, banyak yang kesapu. Mereka tidak digaji laik kecuali yang ASN. Mereka direndahkan, dihina, dan dipandang sebelah mata bahkan tanpa mata. Jika jutaan tukang kebun, tukang sapu, tukang resik-resik mogok tak mau bekerja, maukah kita menggantikan mereka menyapu, resik-resik dan jumputi sampah? Jika tak mau, berarti mereka memang benar-benar pahlawan! Sebab, sangat sedikit yang mau menjadi tukang kebun.
Dus, apakah kita mau jadi tukang kebun?