Semarang, Maarifnujateng.or.id – Acara Lailatul Ijtima, Haul Arwah dan diskusi Epistemologi Islam Nusantara di Kantor PWNU Jateng Jl Dr Cipto 180 Semarang dihadiri Wakil Rois KH Hadlor Ihsan, Wakil Katib KH Munib, Ketua Tanfidziyah PWNU HM Muzamil, A’wan Syuriyah KH Masruhan Syamsuri, Wakil Ketua Prof Musahadi, Rektor Universitas Wahid Hasyim Semarang Prof Dr Mahmutarom, Sekretaris Tanfidziyah KH HudAllah Ridwan, Ketua-Ketua Lembaga NU Wilayah, Ketua JQH NU KH Amdjat Al-Hafidz dan ratusan jama’ah Nahdliyin Nahdliyat, Senin malam (18/11/2019). Kegiatan Lailatul Ijtima diawali sholat isya berjama’ah, mujahadah dan Tahlil yang diimami oleh KH Hadlor Ihsan. Setelah itu diskusi.
Moderator diskusi Prof Dr Musahadi, mengatakan tema epistemologi Islam Nusantara adalah tema yang sangat berat, setidaknya dalam perspektif filsafat ilmu. “Namun dengan hadirnya narasumber Rektor Unwahas Prof Dr Mahmutarom, kami yakin mampu mengursaikan sesuatu yang berat mudah difahami,” paparnya/
Rektor Unwahas Prof Dr Mahmutarom menjelaskan, Nusantara meliputi seluruh kawasan yang meliputi Indonesia ini ditambah Brunei, Malaisia, Pattani Thailand, yang dahulu disatukan pada masa kerajaan Majapahit.
Menurutnya, pada awalnya Nusantara ini didatangi mubaligh dari Kerajaan Turki Utsmani, namun sampai di daerah pedalaman Jawa, mubaligh tersebut dikalahkan Bhirawa sehingga mereka dibuat jamuan. “Kemudian diutus Syaikh Subakir yang diukuti Walisongo yang mampu melakukan dakwah di Nusantara ini, khususnya Jawa,” lanjutnya.
- Iklan -
Dijelaskan pula, Walisongo menggunakan pendekatan budaya sebagai media penyiaran Islam, sehingga Islam bisa diterima dengan bahasa lokal masyarakat Nusantara, termasuk di Jawa. Misalnya Walisongo menggunakan wayang sebagai simbul menyampaikan dakwah Islam ala ahlussunnah wal jama’ah.
“Walisongo pada awalnya tidak menggunakan istilah-istilah bahasa Arab, misalnya syahadat dengan istilah sekatain, sholat dengan sembahyang, mushola disebut langgar, dan seterusnya,” kata guru besar tersebut.
Prinsipnya adalah menolak keangkaramurkaan, katanya, seperti tokoh wayang pandowo limo yang menghadapi raksasa kurawa, yang pada akhirnya dimaknai bahwa setiap orang yang mampu melawan keangkaramurkaan dalam jiwanya maka jiwanya akan menjadi suci.
“Melawan keangkaramurkaan tersebut dilakukan dengan riyadloh, seperti dilakukan oleh Sunan Kalijaga Raden Syahid. Setelah Raden Syahid melakukan riyadloh dengan istiqomah, ia menjadi wali,” lanjut dia.
Dijelaskan pula, kuncinya adalah mempertajam mata hati, karena telinga bisa salah dengar, mata bisa salah lihat, akal bisa salah mengambil kesimpulan. Karena itu dengan mempelajari dan mencontoh sunnah-sunnah para Nabi dan Rasulullah, hati bisa menjadi jernih.
“Kebetulan dengan kajian Islam dengan pendekatan budaya, Islam bisa diterima penduduk Jawa yang agama aslinya adalah Kapitayan. Jadi Walisongo menggunakan pendekatan adab terlebih dulu, sehingga kemudian mampu dialog dari hati ke hati dengan masyarakat waktu itu. Setelah mempelajari kepustakaan Jawa seperti istilah manunggaling kawulo gusti, artinya adalah manunggaling roso, sehingga hati dapat terpenuhi rasa keimanan dan ketaqwaan,” lanjutnya.
Yang utama kan bisa bertemu dengan Allah SWT, katanya, hal ini dibahadakan dengan kalimat-kalimat yang indah, seperti tembang kidung Jawa yang diajarkan Walisongo. “Karena itu ulama kita terdahulu mengajarkan ilmu-ilmu keislaman seperti Tauhid, Fiqh, Tasauf, Nahwu, Shorof dan lainnya dibuat dengan nadhoman, dengan kalimat dan lagu yang menyentuh hati,” lanjutnya.
Menghadapi situasi kekinian, pihaknya mengajak harus hati-hati dengan belajar sejarah. “Hal ini penting karena Nusantara memiliki tradisi dan budaya yang luhur. Bukankah Allah Maha Indah dan menyukai keindahan? Contoh kearifan ulama terdahulu, Landerform yang masuk dalam Undang-Undang Pokok Agraria di negeri kita ini telah lama dipraktekkan oleh Sayyidina Umar ketika meminta tanah pemberian Rasulullah kepada Sahabat Bilal. Sahabat Bilal protes namun Sayyidina Umar mengatakan bahwa Sahabat Bilal silahkan memanfaatkan tanah itu sesuai dengan kemampuanmu untuk memanfaatkan, selebihnya yang tidak engkau manfaatkan biar kami bagikan kepada Sahabat lainnya yang membutuhkan,” jelasnya.
Karena itu, menurutnya, kearifan yang ada kita lestarikan, sembari mengambil hal-hal baru yang lebih manfaat.
Moderator Prof Musahadi, mengatakan meskipun paparan Prof Mahmutarom dengan idiom-idiom Jawa, namun bisa kita tarik benang merahnya tentang epistemologi Islam Nusantara.
Peserta diskusi, KH HudAllah, kami sepakat bahwa Nusantara ini tidak hanya Indonesia. Namun melihat tulisan yang ada di Al-Azhar, ulama-ulama Nusantara yang dulunya belajar di Mesir, nama belakang mereka tertulis al-Jawi. “Namun Kami melihat kearifan ulama terdahulu mulai terkikis, apakah hal ini merupakan dampak dari modernisasi? Bagaimanakah agar lembaga pendidikan yang ada ini kembali pada khasanah pemikiran ulama terdahulu?,” katanya.
Sementara itu, banyak audiens tertarik bertanya di forum itu. Ketua LBHNU Jateng Robbani, mempertanyakan bagaimana Islam Nusantara yang sesungguhnya?
Ketua LPPNU Khumaidi, konsep Islam Nusantara apakah bisa diterima masyarakat?
Kiai Mustaghfirin juag menayakan materi Islam Nusantara apakah madzhab baru atau seperti apa?
Imam Sofyan dari Salatiga, juga bertanya kearifan lokal, misalnya agama adalah memanusiakan manusia. NU didirikan ulama ahli Hadits, namun mengapa dibid’ahkan?
Saat menjawab, Prof DR Mahmutarom, mengatakan bahwa teori Santos, di era global ini terjadi pertentangan antara kapitalisme dengan kebutuhan lokal.
“Konsekuensinya, tarbiyah menggunakan statistik. Ulama terdahulu setidaknya menguasai sebelas Cabang Ilmu. Untuk itu, kita harus kembali pada tradisi leluhur kita untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh tradisi keilmuan pesantren,” lanjutnya.
Ini penting karena di Jepang, katanya, sampai kelas lima Sekolah Dasar tidak diajarkan matematika, namun diajari etika. “Hasil riset menunjukkan bahwa anak-anak yang sejak awal diajari matematika, kehalusan budi pekertinya belum terbentuk. Dahulu, lulusan Madrasah Tsanawiyah di Mranggen bisa diterima di Al-Azhar. Sekarang malah terjadi kemunduran. Jadi kita seyogyanya kembali pada kurikulum asli pesantren terdahulu, sehingga bisa membentuk karakter yang kuat, yang kemudian mendalami keilmuan hasil ijtihad ulama terdahulu,” paparnya. (admin/am/hi).