Oleh Hamidulloh Ibda
Dua hari menjelang Ramadan tahun 2019 ini, saya diajak teman ke kuburan Ki Ageng Makukuhan di Kedu, Temanggung. Setelah itu, kami bergeser ke kuburan Sunan Geseng di Walitelon, Temanggung. Setelah itu, kami sejenak diskusi dan menemukan fenomena menarik, yaitu soal kuburan ganda atau dobel. Sebab, Ki Ageng Makukuhn dan Sunang Geseng ini merupakan puluhan bahkan ratusan wali yang kuburannya ganda.
Sebelum melangkah jauh, kita tak asing dengan Mbah Soleh murid Sunan Ampel. Kuburannya ada sembilan di dekat Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya. Barangkali, ini petunjuk simbolis walisanga (9 wali) penyebar Islam dan pelopor perubahan di negeri ini. Kuburan Mbah Soleh jelas satu lokasi. Namun bagi wali lain, banyak kuburan mereka berbeda tempat.
Fenomena ini menarik dikaji mendalam. Meski beberapa kuburan itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun masih sedikit yang menelitinya dari berbagai pendekatan dan metode. Saya sendiri sepakat tidak mencari mana kuburan yang valid atau benar, melainkan rahasia dan misterinya. Mengapa ada kuburan ganda para waliyullah, raja-raja, leluhur, pejuang atau ulama-ulama di Nusantara ini?
- Iklan -
Misteri Kuburan Ganda
Saya pribadi meyakini fenomena ini natural, bukan rekayasa dan pasti ada campur tangan Tuhan. Dari hasil riset, kajian literatur, wawancara dengan sejumlah juru kunci, kiai, intelektual, serta observasi di lapangan, saya menemukan beberapa hal.
Kuburan ganda merupakan bentuk rahasia Allah lewat karamah wali tersebut. Ada beberapa jenis kuburan ganda yang disakralkan. Pertama, kuburan yang benar-benar dijadikan mengubur jenazah wali tersebut. Kedua, petilasan sang wali. Bisa gapura, masjid, rumah dan lainnya. Ketiga, tempat semedi, uzlah, atau pasujudan dan lainnya.
Dari kajian dan fakta empiris di lapangan, saya menemukan ada beberapa kuburan wali ganda. Pertama, Syekh Subakir. Kedua, Syekh Jumadil Kubro. Ketiga, Sunan Bonang. Keempat, Syekh Siti Jenar. Kelima, Ki Ageng Makukuhan. Keenam, Sunan Geseng. Ketujuh, Angling Dharma. Kedelapan, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Kesembilan, Mbah Duniyah. Kesepuluh, Ki Brojo Seti Singo Barong dan lainnya.
Jika ditulis, ini akan menjadi puluhan buku, jurnal, tesis, maupun disertasi. Setidaknya, tulisan ini membuka rencana masa depan untuk penelitian jangka panjang. Saya yakin masih banyak para wali, pahlawan, ulama, leluhur memiliki kuburan ganda dan belum diketahui publik.
Syekh Subakir
Saya menempatkan Syekh Subakir sebagai wali pertama yang kuburannya ganda. Mau tak mau, dalam sejarah Islam Nusantara beliau menjadi penumbal, yang maku bumi Jawa ini. Gelarnya pun Aji Saka, seorang sakti, diyakini “pendiri tanah Jawa” dan penakluk para jin, setan kala itu dalam menyebar Islam.
Meskipun misterius dan dianggap mitos, namun kajian tentang Syekh Subakir sudah ilmiah karena ada peninggalannya. Cerita Syekh Subakir tak lepas dari Walisanga, Batara Antaga (Togog), Batara Sarawita (Bilung), Batara Ismaya (Semar), dan Batara Manikmaya (Batara Guru).
Dalam buku Pakem Babat Tanah Jawa, M. Zamroji Ib, dkk (2009) menjelaskan silsilah Syekh Subakir. Beliau keturunan Abdulloh bin Aly, bin Ahmad bin Aly, bin Ahmad, bin Abdulloh, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Ahmad, bin Aly, bin Abubakar, bin Salman, bin Hasyim, bin Ahmad, bin Badrudin, bin Barkatulloh, bin Syafiq, bin Badrudin, bin Omar, bin Aly, bin Salman Alfarisiy.
Pendapat lain, Syekh Subakir merupakan utusan Sultan Muhammad I dari Istanbul Turki dan ulama Islam pertama sebelum Walisanga. Di Gunung Tidar Magelang, beliau membesarkan pesantren dan memusatkan pergerakannya.
Sampai sekarang, belum ada pakar sejarah berani menjamin keberadaan valid kuburan Syekh Subakir. Ada pendapat, Syekh Subakir wafat di Persia tahun 1462. Sedangkan yang ada di Indonesia dan diziarahi masyarakat hanya petilasan dan situs peninggalannya. Ada pula pendapat beliau wafat di pulau Jawa.
Dari beberapa literatur, ada sejumlah kuburan atau petilasan. Pertama, di komplek pemakaman Beji Benowo di pegunungan Tidar, Magelang. Lokasi ini menurut juru kunci hanya petilasan Syekh Subakir yang dekat dengan kuburan Kiai Sepanjang dan Semar. Kedua, kuburan di Tanjung Awar-Awar Desa Tasikharjo, Kecamatan Jenu, Tuban. Ketiga, kuburan Syekh Subakir di dekat Candi Penataran, Desa Penataran, Nglegok, Blitar.
Keempat, kuburan Syekh Subakir di kawasan Makam Astana Gedong Kenep, Kelurahan Mangunjiwan, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Kuburan Syekh Subakir di Demak ini diakui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng.
Meski demikian, berdasarkan legenda kesejarahan, jasad yang dimakamkan di tempat itu merupakan tokoh penanda tangan masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Terlepas benar dan tidaknya, kuburan Syekh Subakir atau petilasannya membuka pintu penelitian panjang untuk menelisik misteri yang ada selama ini.
Sementara Badri (2018) berpendapat semua kuburan di Indonesia yang diembel-embeli “Makam Syekh Subakir” sebenarnya hanya petilasan. Syekh Subakir itu hilang/sirna fisik-rohaninya dan pindah tempat. Mereka melakukan tugas lain di mana saja berada dan berganti episode kewalian berikutnya. Di Kabupaten Jepara, ia menemukan 450 wali lebih. Mulai dari nama wali dan lokasi ganda, satu nama menjadi tiga danyang desa dan lain sebagainya. Semua itu menjadi rahasia Allah yang dibuka lewat pintu karamah walinya.
Syekh Jumadil Kubro
Wali berikutnya Syekh Jumadil Kubro. Nasab Syekh Jumadil Qubro sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Beliau berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah dan diyakini keturunan ke-10 dari al-Husain cucu Nabi Muhammad.
Syekh Jamaluddin Al Husain Al Akbar alias Sayyid Hussein Jumadil Kubro atau yang biasa disebut Syekh Jumadil Kubro juga disebut Bapak Walisanga. Budianto (2015) menyebut Jamaluddin Hussein Al Akbar lahir sekitar tahun 1270 sebagai putera Ahmad Syah Jalaluddin bangsawan dari Nasrabad India. Kakek buyutnya Muhammad Shohib Mirbath dari Hadramaut yang bergaris keturunan ke Imam Jafar Shodiq, keturunan generasi keenam dari Nabi Muhammad. Setelah turun dari jabatannya sebagai Gubernur Deccan di India, Jumadil Kubro keliling ke berbagai belahan dunia menyebarkan Islam.
Sejumlah literatur lain menyebut Sayyid Hussein Jumadil Kubro berkeliling sampai ke Maghribi di Maroko, Samarqand di Uzbekistan lalu sampai ke Kelantan di Malaysia. Juga di Jawa pada era Majapahit dan akhirnya sampai ke Gowa di Sulawesi Selatan. Beliau wafat dan dimakamkan di Trowulan sekitar tahun 1376 masehi. Namun pendapat lain makamnya ada di Wajo Sulawesi Selatan karena terakhir beliau berdakwah di Gowa.
Dari data yang saya dapat, ada beberapa kuburan/petilasannya. Pertama, di Jl. Raya Pantura, Tambakrejo, Gayamsari, Kota Semarang yang konon dulu ditemukan Gus Dur. Kedua, di komplek Jl. Syech Jumadil Kubro, Troloyo, Trowulan, Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto.
Ketiga, kuburan Turgo yang diyakini kuburan Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya, di Bukit Turgo di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman yang berada dekat Gunung Merapi di sebelah barat Kaliurang, Sleman.
Keempat, kuburan Syekh Jumadil Kubro di Wajo, Makassar, Sulawesi Selatan. Ada pendapat lain, Syekh Jumadil Kubro dikuburkan di Malaysia. Namun, semua pendapat itu perlu penelitian lebih lanjut dan dibongkar misterinya.
Sunan Bonang
Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim merupakan salah satu di antara Walisanga. Sunan Bonang lahir tahun 1465 dan meninggal di Tuban pada 1525. Dari data yang saya temukan, ada beberapa kuburan atau petilasan Sunan Bonang. Pertama, kuburan di belakang Masjid Agung Tuban yang tiap hari diziarahi jutaan umat Islam dari berbagai penjuru.
Kedua, kuburan Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau Bawean, Jawa Timur. Ada dua makam yang dipercaya sebagai makam Sunan Bonang di sana. Dua-duanya terletak di tepi pantai. Ketiga, petilsan Singkal di tepi Kali Brantas, Kediri. Di sana, Sunan Bonang dulu sempat bedakwah meski tidak sukses seratus persen. Keempat, petilasan Sunan Bonang di Desa Bismo, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang.
Kelima, pasujudan Sunan Bonang di Desa Bonang, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang. Tempat ini sangat dekat dengan jalan raya, objek di sana berupa batu yang dipercaya tempat sujud Sunan Bonang kala itu untuk mendekatkan diri pada Allah.
Pendapat lain yang dijelaskan Bollan (1985: 123), kuburan Sunan Bonang ada di wilayah Tuban atau Madura, Jawa Timur, tepatnya ada di depan pesisir Binangun. Namun, dalam berbagai versi, yang valid dan kuat ada di belakang Masjid Agung Tuban. Sedangkan yang lain hanya petilasan dan kain kafan saat dulu diperebutkan.
Syekh Siti Jenar
Tokoh kontroversial ini memiliki banyak kuburan dan petilasan. Meski ajarannya dinilai menyimpang karena mengajarkan tarekat dengan menyandingkan syariat, namun Syekh Siti Jenar juga bejasa pada penyebaran Islam di Nusantara.
Dalam buku Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, Mulkhan (1999) menyebut Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Raden Abdul Jalil, Hasan Ali, Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang/Lemah Abang (tanah merah). Beliau lahir 1404 M di Iran dan meninggal 1517 M di Jepara. Syekh Siti Jenar disebut juga Pangeron Gedong, yang merupakan tokoh sufi, penyebar agama Islam di Jawa.
Dari data yang saya dapat, ada beberapa kuburan/petilasan Syekh Siti Jenar. Pertama, di Gedongombo, Semanding, Tuban atau sekitar 3 KM arah selatan dari pusat Kota Tuban. Kedua, di Jalan Jenderal A. Yani No. 513, Kecapi, Harjamukti, Kota Cirebon. Ketiga, di Desa Sumbersari, Kayen, Pati. Lokasi di Sumbersari ini, letaknya di tengah hutan dekat kuburan Syekh Bela-belu Abdussamad.
Keempat, di Mantingan, Kalinyamat, Jepara, Jawa Tengah. Lokasinya, di kompleks Makam Kalinyamat di sekitar Masjid Mantingan, Jepara. Kelima, kuburan dan petilasan Syekh Siti Jenar di Dukuh Lemah Abang, Desa Balong, Kecamatan Kembang, Jepara. Komplek ini, sejak tahun 2014 telah diresmikan Kemenag Jateng sebagai situs bersejarah.
Ada pendapat lain, jenazah Syekh Siti Jenar tak dikuburkan. Konon, kuburannya ada di tiga-lima langkah di dekat tempat imam Masjid Agung Demak. Ada juga pendapat kuburan/petilasan Syekh Siti Jenar ini sirna entah ke mana saat dulu dikubur hidup-hidup. Namun, presisi kuburan beliau tetap menjadi misteri hingga sekarang dan membuka pintu kajian ilmiah.
Ki Ageng Makukuhan
Saat berkunjung ke kuburan Ki Ageng Makukuhan di Kedu, Temanggung, saya kira hanya satu. Ternyata, saat diskusi dengan juru kunci dan teman saya, ada beberapa kuburan lain. Ki Ageng Makukuhan ini merupakan salah satu penyebar Islam di Jawa yang memiliki nama lain Syekh Maulana Taqwim, Jaka Teguh dan Maha Punggung. Di Temanggung, beliau dijuluki Sunan Kedu.
Dari penjelasan keluarga besar trah Ki Ageng Makukuhan yang berhimpun di Padepokan Makukuhan, banyak versi cerita tentang wali ini. Ki Ageng Makukuhan merupakan wali yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Glagahwangi pimpinan Sunan Kudus. Nama asli Ki Ageng Makukuhan adalah “Ma Kauw Han” karena beretnis Cina. Sunan Kudus, dulu memberi nama islami yaitu Syarif Hidayat.
Dalam penelitian Rokhmat (2008: 4-5), Ki Ageng Makukuhan ini disebut lahir pada 1471 M dan wafat pada 1497 M. Beliau, dulu pernah bergabung di Dewan Santrisanga generasi penerus Walisanga pada masa awal berdirinya Kesultanan Demak. Ki Ageng Makukuhan meninggal dunia pada tanggal 21 Ramadhan 1497 M. Bukti sejarah yang paling faktual berupa kuburan bernama Syekh Maulana Taqwim yang tak lain Ki Ageng Makukuhan. Kuburannya terletak di Jl. Raya Kedu No.81 Dusun Makukuhan, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Temanggung.
Selain kuburan pertamanya di Temanggung, ada beberapa kuburan lain. Kedua, kuburannya di Gunung Sindoro Temanggung. Ketiga, di komplek Gunung Manden, Parakan Temanggung. Keempat, di Kabupaten Banjarnegara.
Versi Saifuddin (2018), kuburan untuk mengubur jasad aslinya di Gunung Sindoro karena dulu beliau meninggal di bukit Sindoro saat perjalanan dakwah menuju Banjarnegara. Sedangkan di Makukuhan Temanngung kain kafannya, di Banjarnegara kitabnya, di Parakan hanya tongkatnya.
Di puncak Sindoro, kuburan Ki Ageng Makukuhan sering diziarahi setiap malam selikuran (21 Ramadan). Namun lokasi kuburan ini sangat mistis. Sebab, tak semua pendaki atau peziarah menemukan kuburannya meskipun di siang hari. Meski demikian, jasa beliau bagi umat Islam sangat besar karena beliau menyebar Islam dengan penuh kearifan. Warga Temanggung di Kedu mengenang jasanya dengan Grebeg Makukuhan tiap setahun sekali.
Sunan Geseng
Sunan Geseng atau Sunan Gosong, memiliki nama lain Eyang Cakrajaya. Beliau dipercaya murid Sunan Kalijaga. Keturunan beliau dari Imam Jafar ash-Shadiq. Nasabnya, Sunan Geseng bin Husain bin al-Wahdi bin Hasan bin Askar bin Muhammad bin Husein bin Askib bin Mohammad Wahid, bin Hasan bin Asir, bin ‘Al bin Ahmad, bin Mosrir, bin Jazar, bin Musa, bin Hajr, bin Ja’far ash-Shadiq, bin Muhammad al-Baqir, bin Ali Zainal Abidin al-Madani, bin al-Husain, bin al-Imam Ali.
Sementara Said (2016) berpendapat Raden Mas Cokrojoyo merupakan keturunan Prabu Brawijaya dengan Dewi Rengganis, yang melahirkan Raden Rara Rengganis II. Kemudian Ki Ageng Pakotesan menikah dengan Raden Rara Rengganis II melahirkan Pangeran Semono atau sering disebut Pangeran Muryo. Dari hasil pernikahan Pangeran Semono inilah lahir Raden Mas Cokrojoyo. Gelar ‘Sunan Geseng’ ini karena tragedi kebakaran yang membuat beliau hangus namun selamat.
Ada beberapa kuburan Sunan Geseng dan dari data yang ada, kuburannya paling banyak di antara wali lain. Pertama, kuburan Sunan Geseng yang pernah saya ziarahi di Desa Walitelon, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung. Konon, di sini hanya petilasannya berupa sorban, bukan kuburan jasadnya. Kedua, kuburan Sunan Geseng di Dusun Jolosutro, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya kira-kira 2 KM di sebelah kanan Jalan Yogyakarta-Wonosari.
Ketiga, kuburan Sunan Geseng di Desa Tirto, di kaki Gunung Andong, lokasinya di dekat Gungung Telomoyo, Kecamaan Grabag, Kabupaten Magelang. Keempat, kuburan Sunan Geseng di Dusun Pakah, Desa Gesing, Kecamatan Semanding, Tuban. Keempat, di Jl. Sunan Geseng, Kampung Dalem, Kecamatan Kota Kediri, Kota Kediri.
Kelima, di pegunungan Kendeng Utara, tepatnya di Dukuh Mandaran, Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Keenam, petilasan Sunan Geseng di puncak Gunung Siringin, Pedukuhan Gatep, Bagelen, Kabupaten Purworejo. Selain itu, juga ada Masjid Sunan Geseng yang terletak 2 KM dari lokasi petilasan Sunan Geseng.
Keenam, kuburan Sunan Geseng di Dukuh Suro, Desa Seren, Kecamatan Sulang, Rembang. Ketujuh, petilasan Sunan Geseng di Bedegolan, Desa Jlegiwinangun, Kutowinangun, Kebumen. Kedelapan, petilasan Sunan Geseng di Desa Lancar, Wadaslintang, Wonosobo.
Selain itu, ada petilasan Sunan Geseng di Dusun Trenggiling, Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Saya yakin, pasti ada beberapa kuburan/petilasan Sunan Geseng yang belum ditemukan.
Angling Dharma
Dari berbagai literatur, Raja atau Prabu Angling Darma atau Anglingdharma merupakan keturunan ketujuh dari Hidayat, tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Prabu Anglingdarma diyakini titisan Batara Wisnu. Salah satu keistimewaan tokoh ini adalah kemampuannya mengetahui bahasa binatang.
Dari sumber lain, Prabu Angling Dharma diyakini sebagai raja agung dari Kerajaan Malawapati yang beragama Islam. Akan tetapi, demi kepentingan politik kerajaan dan rakyatnya, beliau menganut agama Hindu supaya tak melukai hati dan posisi politik aman. Terlepas dari itu, kuburan Angling Dharma menjadi objek wisata religi bagi umat Islam.
Lokasi kuburannya pun lebih dari satu. Pertama, di Dukuh Mlawat, Desa Baleadi, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati yang diyakini kuburan aslinya. Kedua, petilasan di objek wisata alam Cihunjuran, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Ketiga, petilasan Angling Dharma di di Desa Wotangare, Kalitidu, Bojonegoro. Konon, di lokasi ini petilasan di mana kala itu Prabu Angling Dharma dikutuk menjadi belibis putih oleh tiga peri yang menjelma menjadi siluman cantik. Keempat, petilasan Angling Darma di Kediri. Kelima, petilasan Angling Dharma di Desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. Lokasi persisnya di dekat kuburan Ki Ageng Tarub.
Keenam, petilasan Angling Dharma di Desa Sroyo, Kelurahan Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Temanggung. Setiap setahun sekali ada Grebeg Suro Malawapati tiap tanggal 12 Suro. Sampai saat ini, situs-situsnya dipercaya berada di gugusan bukit (Gunung Bandang) wilayah Bojonegoro, Kedu, Temanggung.
Dari wawancara warga setempat, saya mendapatkan pintu misteri menarik. Konon, sering ada warga melihat mobil atau truk membawa bahan material yang diduga menyetor ke lokasi Gunung Bandang untuk membangun sebuah kerajaan. Ada juga salah satu warga penjual es masuk ke alam astral dan mejual es di sana. Konon, di sana satu hari, ternyata setelah ia pulang, waktu sudah setahun.
Warga setempat ketika saya wawancara juga percaya, balai kelurahan setempat dipercaya sebagai keraton (istana), sendang di Kelurahan Bojonegoro dipercaya tempat munculnya mliwis putih, serta adanya makam (petilasan) di Bukit Bandang.
Mitos lain juga ketika warga membicarakan nama, atau kisah Angling Dharma dan bagi warga setempat sangat dijaga karena malati. Seperti contoh saat dulu ada sinetron Angling Dharma, bagi warga menonton dan berbicara buruk, beberapa televisi di dekat petilasan itu meledak. Sampai saat ini, warga tetap memegang teguh mitos ini. Warga juga melestarikan tradisi Jawa-Islam tiap setahun sekali dalam Grebeg Suro Malawapati di sana.
Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir)
Jaka Tingkir, memiliki sejumlah nama. Muljana (2005: 61) menjelaskan Jaka Tingkir disebut Mas Karebet, dalam ejaan Tionghoa, Peng King Kang merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582 dengan nama Adiwijaya atau Hadiwijaya.
Banyak jasa Jaka Tingkir bagi perkembangan Islam di Nusantara. Beliau meninggal dunia tahun 1582 tersebut dan diyakini dikuburkan di Desa Dusun Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, yang merupakan kampung halaman ibu kandungnya.
Selain kuburan di Butuh, ada juga kuburan Jaka Tingkir di Dusun Dukoh RT 08/RW3 Desa Pringgoboyo Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Di kuburan ini, Presiden Suharto dan Gus Dur pernah berziarah ke sana.
Mbah Duniyah
Mbah Duniyah ini wali perempuan lokal Kecamatan Tayu, Pati. Beliau dipercaya sebagai “wali mantenan” karena sejak dulu, tiap laki-perempuan yang akan menikah berziarah di kuburan Mbah Duniyah di Desa Tayu Wetan, Kecamatan Tayu, Pati atau di dekat dengan Balaidesa Tayu Wetan. Bahkan, semua warga Tayu, juga di Dukuhseti dan Pati pada umumnya tak berani menggelar resepsi pernikahan sebelum berziarah di kuburan Mbah Duniyah.
Mbah Duniyah akrab disebut Mbah Duni yang diyakini sebagai wali Jawa yang memiliki karamah di bidang pernikahan atau jodoh. Selain kuburan di Tayu Wetan, Mbah Duni memiliki petilasan tertutup yang dulu dijadikan tempat pasujudan. Kini, diabadikan di dalam rumah bambu berukuran kecil di dekat Pasar Gerit, Desa Gerit, Kecamatan Cluwak, Pati.
Uniknya, di Pasar Gerit ini sejak tahun 1965 digelar jual-beli jajanan tradisional hanya buka tiap Minggu Legi pada siang hingga malam dan Senin Pahing. Pasar ini juga sering disebut sebagai Pasar Senin Pahing yang menjajakan jajanan lokal. Menariknya lagi, warga setempat percaya jajanan di Pasar Gerit bisa menyembuhkan sejumlah penyakit.
Menurut cerita, Mbah Duni ketika dulu bertapa di sebelah pasar itu sering makan dan jajan di sana. Dulu, beliau berwasiat ketika ada anak cucu kesusahan, sakit, minta kesembuhan, bisa datang ke tempat ini dan hal itu lestari sampai sekarang. Termasuk, tradisi wasilah meminta jodoh bagi laki-laki atau perempuan yang susah menemukan jodohnya.
Ki Brojo Seti Singo Barong
Ada dua nama yang ganda dari Ki Brojo Seti Singo Barong. Pertama, Ki Brojo Seti Singo Barong atau Mbah Brojo Seti Singo Barong pendiri Desa Dukuhseti, Kabupaten Pati. Lokasi kuburannya, di Dukuh Sepande, Desa Dukuhseti, Kecamatan Dukuhseti, Pati.
Saat wawancara dengan Ngalimun, Ketua Pengurus Makam Mbah Brojo Seti Singo Barong, ia menuturkan Mbah Brojo Seti merupakan wali Jawa yang masih keturunan dari kerajaan Mataram. Beliau dulu sempat menjadi santri KH. Ahmad Mutamakkin Kajen dan memiliki murid Syekh Hamim atau Mbah Anggur. Tiap bulan Mulud, warga menggelar perayaan haul dengan puncak pengajian dan karnaval budaya.
Kedua, Mbah Singo Barong atau Assayid Al Habib Hasan Bin Thoha Bin Yahya wali di Kota Semarang. Kuburannya di belakang Java Mall atau di Jalan Duku, Lamper Kidul, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang.
Nama lain dari Mbah Singo Barong ini adalah Syekh Kramat Jati, Raden Tumenggung Sumodiningrat dan Senopati Agung Ing Mataram. Dari data Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, Mbah Singo Barong dilahirkan dari pasangan Habib Thoha bin Muhammad al-qadhi (Pangeran Terboyo) bin Yahya, dengan Syarifah Fathimah. Habib Hasan wafat pada tahun 1818 M.
Sunan Kuning
Sunan Kuning adalah wali, bukan lokalisasi yang telah resmi ditutup Pemerintah Kota Semarang pada 2019 ini. Sunan Kuning merupakan ulama Tionghoa yang bernama asli Soen An Ing, atau dinela juga Raden Mas Garendi. Beliau merupakan seorang muslim asal China yang turun kemudian menyebarkan Islam pada zaman VOC sekitar pertengahan abad ke-17.
Lantaran ilat Jawa tak bisa mengucapkan Soen An Ing, maka disebutkan Sunan Kuning. Awalnya, abad ke-17 Sunan Kuning datang ke Jawa dengan pasukan kecilnya. Ia menyebarkan agama Islam dan pernah ikut berperang saat terjadi Geger Kartosura. Dia diangkat juga sebagai pengawal Pangeran Samber Nyawa atau Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunegara I.
Perlawanan menghadapi kompeni menyebabkan Soen An Ing akhirnya ditangkap VOC, yang kemudian terdapat dua versi kabar yang beredar, yaitu Soen An Ing dibawa ke Batavia dan kabar bahwa ia dihabisi di Semarang. Lalu, ia dikuburkan di Semarang, tepatnya di Jalan Taman Sri Kuncoro RW 2 RT 3, Kali Banteng, Semarang Barat.
Lain halnya Sunan Kuning di Semarang, ternyata ada Sunan Kuning lain di Tulungagung, Jawa Timur. Menurut beberapa sumber siber, saya meneukan bahwa Sunan Kuning di Tulungagung ini bernama Zainal Abidin yang dimakamkan di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang, Tulungaung. Hingga kini, setiap malam Jumat, khususnya Jumat Legi, kuburan Sunan Kuning di Krajan ini selalu ramai, khususnya peziarah dari Jawa Tengah karena warga setempat percaya bahwa Sunan Kuning dari Jawa Tengah.
Wienarto (2012) menyebut, Sunan Kuning di Tulungagung merupakan pejuang Islam asal Jawa Tengah yang hidup sekitar tahun 1500-an. Sunan Kuning diyakini sebagai pejuang dari Mataram. Yang jelas, Sunan Kuning memiliki kuburan ganda dan masih ramai peziarah hingga kini.
Ambil Hikmah
Selain nama-nama wali di atas, masih banyak lagi deretan wali yang ganda. Dari nama, kuburan, petilasan, hingga jejak spiritual yang diabadikan keturunan, santri, dan pengikutnya. Semua itu merupakan bukti kebesaran Allah lewat karamah para walinya. Samasa hidup mereka sudah mengagumkan, setelah meninggal dunia tetap saja menyimpan misteri sebagai bentuk kekuasaan Allah.
Hikmah yang dapat diambil tentu menebalkan iman dan takwa umat Islam. Mana yang benar, kita tak bisa menentukan, karena harus ada penelusuran ilmiah, membuka danyang, dan misterinya lewat berbagai bukti otentik.
Semua rahasia ganda itu menjadi bukti para wali, leluhur, ulama, dan pendiri bangsa ini meninggalkan jejak misterius yang bisa menjadi garapan ilmiah. Bisa dari aspek historisnya, peninggalannya, jasanya, hingga aspek spiritualnya.
Percaya pada karamah wali merupakan perintah Allah sebagai wujud beriman pada yang gaib. Tanpa itu, kita akan menjadi pemeluk Islam yang imannya tipis karena hanya percaya pada hal-hal fisik. Sekali lagi, menelusuri misteri kuburan ganda menjadi alat untuk mendekatkan diri pada Allah. Jika tidak kita, lalu siapa lagi?