Judul : Homo Homini Humor
Penulis : Fariz Alniezar
Penerbit : Basabasi
Terbit : Maret 2019
Cetakan : Pertama
Tebal : 180 halaman
ISBN : 978-602-5783-81-4
Peresensi : Syaiful Mustaqim, Guru SMK Az Zahra Mlonggo Jepara dan Ketua LTNNU Kabupaten Jepara
Buku berjudul Homo Homini Humor yang ditulis Fariz Alniezar ini merupakan kumpulan tulisan penulis kelahiran Lamongan, Jawa Timur yang sudah dipublikasikan di media online, media cetak mainstream, dan koleksi pribadi yang belum dipublikasikan media.
Buku yang diterbitkan Penerbit Basabasi Yogyakarta ini berbicara tentang gejala beragama yang saat ini cenderung kaku dan saklek yang membuat gerak dan langkah hidup manusia menjadi sempit dan cupet. Agama sarat kesungguhan dan keseriusan.
Dalam sesirih kapur, sekata patah atau kata pengantarnya, Fariz mengutip adegan yang ada dalam novel monumental Name of the Rose karya Umberto Eco. Meski novel yang ditulis Eco dengan kata kunci rose yang berarti bunga mawar namun di dalamnya sama sekali tidak ada pembahasan tentang mawar. Dia (Eco) hanya bermain-main dengan simbol. Dirinya menjungkirbalikkan segala pemahaman; yang lumrah menjadi ganjil, yang ganjil menjadi seolah biasa-biasa saja.
- Iklan -
Novel yang dikarang Eco ini berkisah bagaimana tawa dan selera humor oleh otoritas keagamaan kala itu. Tiada iman dalam tawa, tiada keyakinan dalam canda. Di akhir novel bercorak detektif itu Eco bercerita, ada satu buku yang dilarang dibaca khususnya pada biarawan. Buku itu merupakan jilid kedua dari opus terkenal; poetic karangan Aristoteles.
Mengapa buku berbahasa Yunani itu tak boleh dibaca, lantaran karya yang ditulis oleh filsuf itu membahas tentang humor dan tawa. Dengan membaca buku itu jelas akan membahayakan. Siapa pun yang membaca buku itu akan menertawakan ajaran agama, menyepelakan iman, dan mengesampingkan dogma. Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi. Karena biarawan (agamawan, red.) mempunyai tugas menjaga umat agar terhindar dari wabah erosi keimanan.
Apa yang dikhawatirkan Eco dalam novelnya apakah berarti menutup katup-katup saluran canda, tawa, humor, dan parodi? Jawabannya tentu tidak. Humor adalah pembersih pengapnya udara. Ia oksigen bagi siapa saja yang jengah dan gelisah terhadap corak hidup yang begitu-begitu saja: monoton, mekanik, penuh aturan, dan barangkali juga sedikit paksaan. (hlm. 6)
Dalam buku setebal 180 halaman, salah satu esai yang menarik berjudul “Dinas Gangguan Mental Beragama”. Esai ini mengupas berita pembakaran seorang yang dituduh telah mencuri amplifier masjid di daerah Babelan, Bekasi. Berita itu menyebar sesaat setelah kejadian berlangsung. Pelaku berinisial MA yang diduga mencuri fasilitas masjid sudah dibakar massa.
Watak penyebaran informasi seperti ini seperti ini memang bukan sudah bukan rahasia lagi. Kecepatan menjadi menjadi ideologi. Ironisnya kecepatan tersebut kerap kali membuat kita lupa tentang akurasi sehingga yang terjadi adalah berita-berita sampah, fake, dan hoaks yang judulnya bertabur sensasi.
Yang patut disesalkan pada komunikasi seperti itu ternyata bukan berhenti di dunia maya saja. Wajah-wajah bengis, nyinyir, dan gemar mencaci pihak lain bukan merupakan wajah tunggal makhluk yang berdomisili di dunia maya. Di dunia nyata, perangai kita nyatanya tidak kalah bengisnya.
Peristiwa pembakaran MA yang diduga mencuri fasilitas masjid itu membuka peta kesadaran kita, betapa keputusan yang diambil oleh segelintir masyarakat basisnya adalah informasi yang kadar keakurasiannya masih sangat rendah.
Tindakan mengadili terduga pencuri amplifier dengan cara membakar hidup-hidup adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan ditinjau dari sudut apa pun. Jangankan terbukti tidak salah, jika terbukti benar ia mencuri tindakan membakar hidup-hidup adalah perbuatan yang sangat keji dan harus dihindari.
Inilah cara kerja hoaks yang paling nyata. Orang sudah tidak lagi peduli pada verivikasi. Orang sudah abai terhadap akurasi sebuah informasi. Uniknya, pada kasus yang menimpa MA itu ada saja sebagian yang menghubung-hubungkannya dengan “jihad” membela agama. “Mencuri amplifier musala adalah mencuri barang milik Allah, maka sudah semestinya pelaku dihukum seberat-beratnya.”
Di tangan orang-orang yang tidak cakap cara berpikirnya, agama menjadi mengerikan. Demikianlah yang terjadi hari ini. Kitab suci menjelma menjadi alat untuk menghakimi pihak lain. Agama menjadi instrumen untuk mengoreksi orang lain.
Dalam esai itu Fariz mengutip pendapat Jean Couteau dengan “delirium religiosum”. Jika ada masyarakat yang menjadikan agama sebagai “kedok” untuk melegitimasi segala tindakannya maka itu termasuk memberangus liyan (orang lain). Sehingga “delirium religiosum” bermakna gangguan mental dalam beragama.
Di akhir esainya Fariz menyindir mungkinkah ini perwujudan sabda Nabi Muhammad, bahwa kelak akan ada generasi yang fasih membaca al-qur’an namun bacaannya tersebut hanya tertahan sampai pangkal tenggorokan.
Di pangka tenggorokan itulah mula-mula wabah gangguan mental dalam beragama menjalar, salah satunya menjadi takbir yang malfungsi itu. Alhasil, dia (penulis) yang pernah menuntut ilmu di Jombang itu mengusulkan kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait agar membentuk satgas atau sebuah institusi yang menangani wabah ini secara serius. Ia mengusulkan dengan nama : Dinas Gangguan Mental Beragama. (hlm. 69)
Meski demikian bahwa di tengah-tengah corak keberagaman yang semakin defisit toleransi, di pelosok desa masih ada yang menjalankan agama dengan tanpa kehilangan selera humor. Ada nuansa gelak tawa dalam ritus keaagamannya. Orang boleh pintar sundul langit, namun selama masih marah dan gampang tersinggung, maka kepintarannya tak ada gunanya sama sekali.
Ngomong soal humor, bahwa yang menjadi lumbung humor adalah pesantren. Orang-orang pesantren lebih dari yang sekadar dikatakan Chaplin: “Mampu menyulap tragedi menjadi komedi, mampu menyihir yang serius menjadi komik.”
Maka, buku ini layak dibaca oleh Anda yang kaum agamawan, santri, akademisi, dan siapa saja yang bukan golongan sumbu pendek. Artinya dengan membaca buku Anda bisa tertawa, merenung, mengoreksi gagasan-gagasan penulis, serta ekspresi-ekspresi yang lain.
Prie GS dalam kata pengantar buku ini menandaskan, humor bukanlah dagelan. Humor sesungguhnya adalah gambaran spiritualitas manusia. Semakin tinggi tahapan spiritualitas manusia, semakin lucu seseorang. Lucu yang bukan dagelan melainkan lucu yang meluhurkan kemanusiaan. Selamat membaca! (*)