Oleh Hamidulloh Ibda
Manusia Nusantara memiliki metode khas untuk menemukan, mencintai, dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Tak sekadar urusan dengan Tuhan atau ibadah mahzah, namun dalam ibadah muamalah atau pemenuhan kebutuhan materiil, manusia Nusantara meracik apik nan menarik dalam sebuah tradisi. Semua itu menjadi bukti, kita ini kaya akan pengetahuan lokal (local knowledge), jenius lokal (local genius), dan kearifan lokal (local wisdom).
Dalam mengais rezeki, misalnya, mereka tak sekadar melakukan usaha fisik, namun juga metafisik. Ya bekerja, ya berdoa. Lengkap. Manusia Nusantara mengomparasikan nilai-nilai religi dengan tradisi untuk kepentingan ibadah, ekonomi, bahkan sosial politik. Uniknya, mereka tak mengaburkan nilai-nilai uluhiyah, tak pula meninggalkan warisan leluhur. Imanensi dan transendensi pun menyatu. Ini kehebatan manusia Nusantara yang menjadikan tradisi-tradisi mereka tetap bertahan. Sebab, tradisi-tradisi itu tak untuk kepentingan sesat, melainkan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Pendekatan atau rujukan ayat-ayat qauliyah (Alquran dan hadist), dan kauniyah (fenomena alam) melandasi tradisi Nusantara. Salah satu tradisi itu, yaitu saparan setiap bulan Safar dalam kalender Jawa. Sejak kecil sampai sekarang, saya ikut saparan. Meski kini harus “nimbrung” di daerah lain dengan cara berbeda, namun saparan tetap wajib diikuti. Sebab, saparan merupakan tradisi yang dilestarikan masyarakat Islam dengan berbagai metode dan ritual sakral.
- Iklan -
Saparan di Nusantara
Di Nusantara, saparan sudah lazim dilaksanakan saat bulan Safar seperti ini. Dalam sejarahnya, saparan merupakan tradisi Jawa dari kisah Ki Wirosuto abdi dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I yang hidup sekira tahun 1717-1792 masehi. Dalam suatu kejadian, Ki Wirosuto harus sendiko dawuh mencari batu untuk keperluan pembangunan keraton.
Namun, ia bersama istrinya hilang secara mistis ketika mencari batu gamping di Gunung Gamping. Kemudian, mereka berdua ditemukan wafat karena diganggu makhluk halus penunggu gunung tersebut. Keraton dan masyarakat sejak kala itu menggelar doa bersama sebagai wujud berserah diri kepada Allah dan agar dijauhkan dari bahaya sekaligus tasyakuran. Tradisi itu kemudian disebut saparan atau saparan bekakak yang terus-menerus dilaksanakan tiap bulan Safar dan terus berlanjut hingga kini.
Tradisi saparan ternyata dilaksanakan di Nusantara dengan berbagai ritual. Mulai dari tahlilan, manakiban, burdahan, doa bersama di balai desa atau di kuburan pendiri desa, pengajian, tahtimul quran, hingga acara tradisi seperti wayang, ludruk, ketoprak dan lainnya. Selain bernuansa religi, keunikan tradisi ini juga selalu menyuguhkan hasil bumi, baik berupa jajan pasar atau hasil pertanian.
Di Jawa, DIY, bahkan di Lumajang, dan di berbagai penjuru Nusantara melestarikan tradisi ini dengan tujuan mulia, yaitu mendekatkan diri pada Allah. Dalam risetnya, Ningsih (2019: 86-87) menemukan tradisi saparan merupakan slametan atau syukuran desa agar masyarakat mendapatkan keberkahan, kebahagian atas limpahan rezeki. Artinya jelas, tidak ada penyimpangan akidah atau agama dalam tradisi sini.
Saparan identik dengan selametan, sedekah bumi, atau syukuran desa. Warga berharap mendapatkan banyak berkah, rezeki, panjang umur, dan dijauhkan dari malapetaka. Safar dalam penanggalan Islam merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah. Meski Rasulullah tidak memberikan tips atau amalan khusus di bulan safar, namun bagi manusia Nusantara, safar menjadi salah satu bulan unik, sakral, dan sarat akan mitologi.
Dengan adanya mitologi itu, manusia Nusantara justru semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt dan dapat meningkatkan takwa. Bahkan, ada keyakinan ketika masyarakat tidak melakukan tradisi saparan dengan berserah diri pada Allah, mereka akan mendapatkan kesialan, malapetaka, dan rezekinya cupet.
Dari pemahaman ini, mitos yang sudah terbangun harusnya dikuatkan dengan logos yang ada. Artinya, tradisi saparan harus membangkitkan kualitas religi dan ekonomi. Sebab, saparan erat kaitannya dengan kegiatan tradisi bernuansa religi dan ekonomi yang itu datang dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah.
Di Kabupaten Magelang, misalnya, warga lereng Gunung Andong, berduyun-duyun menggelar Kirab Tumpeng Jongko dan Ingkung Sewu setiap bulan sapar. Tradisi ini turun-temurun dilaksanakan pada Rabu Pahing bulan Sapar. Mereka mengarak Tumpeng Jongko setinggi 80 cm yang terbuat dari bahan nasi, gunung sayuran, dan buah. Setelah itu, mereka berdoa dipimpin kiai setempat untuk mendekatkan diri pada Allah. Tujuan mendekatkan diri pada Allah tak lain agar mereka mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat dengan ditandai rezeki lancar, panen tidak puso, dan tidak terkena wabah penyakit.
Di Temanggung juga demikian. Di beberapa kecamatan, warga melakukan tradisi saparan. Berbeda dengan di Magelang, warga Temanggung rata-rata membawa tenong berisi aneka makanan untuk menyambut saparan. Mereka membawanya ke kuburan waliyullah pendiri desa dan setiap warga membawa tenong. Tenong di sini merupakan wadah makanan yang berbentuk bulat yang terbuat dari bambu dan dilengkapi tutup. Wadah ini berisi ingkung, nasi, sayuran, makanan dan jajan pasar.
Di Klaten juga menarik. Secara umum, warga Klaten merayakan tradusu “Saparan Yaa Qowiyyu”. Tradisi ini dilakukan dengan penyebaran apem. Bahkan, tahun ini ada 7 ton apem disebar pada tradisi Saparan Yaa Qowiyyu. Karena keunikan inilah, beberapa waktu kemarin sempat viral tagar #SaparanYaaQowiyyuJatinom di Twitter.
Kebangkitan Religi dan Ekonomi
Ritual saparan tidak hanya peristiwa religi, namun juga ekonomi. Di beberapa tempat membuktikan hal itu dan sudah saatnya pada bulan safar ini masyarakat harus mendorong kebangkitan religi dan ekonomi. Dari berbagai potensi di atas, jika dianalisis menjadi modal kebangkitan religi dan ekonomi.
Mereka yang kaya, miskin, dari yang PNS sampai tukang cukur, rela bersedekah dalam perayaan tradisi ini. Bukankah ini fenomena religius sekali? Tentunya, simbol bersedekah itu menjadi dorongan bagi masyarakat untuk membangkitkan potensi ekonomi sesuai pekerjaannya masing-masing. Sebab, rumus dalam Islam, semakin banyak orang bersyukur, bersedakah, berbagai, maka rezekinya bertambah.
Banyak tokoh ekonom dunia seperti Friedrich List (1789-1846), Werner Sombart (1863-1941), Walt Whitman Rostow (1916-2003), Karl Bucher (1874-1930) yang menyebut bahwa modal kebangkitan ekonomi tidak hanya ditentukan SDA dan SDM, namun juga modal sosial berupa tradisi atau budaya masyarakat. Ekonom Islam pun sama, sebut saja Abu Ubayd al-Qasim, Harith bin Asad, Ibn Miskawaih, Hasan Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan al-Shyabani, Mawardi, Abu Yusuf, yang menyaratkan kebangkitan ekonomi ditentukan kekuatan religi atau modal agama.
Kita juga dapat belajar dengan M. Dawam Rahardjo, Muhammad Syafi’I Antonio, Adiwarman Karim dan lainnya yang dalam teorinya, mereka secara umum mengomparasikan modal agama, sosial, dan juga modal kebudayaan.
Dari konsep ini, saparan dengan potensi pengetahuan, kejeniusan, dan kearifan lokal sangat berpotensi menjadi kebangkitan religi dan ekonomi. Kita dapat merumuskan formulanya. Pertama, saparan harus diyakini sebagai wujud berserah diri pada Tuhan, karena urusan rezeki utamanya panen hasil kebun atau ladang, sangat ditentukan oleh penciptanya. Maka, setiap kali ada saparan, simbolisme di dalamnya adalah berbagi makanan khas yang hampir semuanya berasal dari hasil tani atau kebun.
Kedua, selain SDA, SDM, IPTEKS, modal, budaya atau tradisi sangat menentukan pertumbuhan ekonomi. Seperti contoh pasar, tempat bertemunya pedagang dan pembeli ini menjadi kiblat orang beraktivitas ekonomi yang jika tidak ada budaya atau tradisi di dalamnya, maka sebuah pasar pasti akan kukut alias gulung tikar.
Ketiga, di era modern seperti ini, selain faktor SDA dan teknologi, kemajuan ekonomi sangat ditentukan oleh faktor sosial, budaya, dan manusianya itu sendiri. Intinya di sini terletak pada manusinya. Jika manusianya beragama, berbudaya, berteknologi, tentu kemajuan ekonomi akan melejit meski aktivitas utamanya bertani. Sebab, teori ekonomi modern sering meninabobokkan tradisi-tradisi, mitos, atau kebudayaan luhur yang dianggap sebagai gugon tuhon saja.
Keempat, nilai-nilai religi dan ekonomi dalam tradisi saparan ini menganjurkan masyarakat untuk rajin bekerja, sedekah, mencintai alam, dengan topangan utamanya adalah mendekatkan diri pada Tuhan melalui tradisi tersebut.
Sangat ilmiah ketika Imam al-Ghazali yang berpendapat bahwa pertumbuhan dalam Islam akan melejit ketika tiga hal dikuatkan, yaitu pembangunan fisik, mental dan spiritual. Maka untuk membangkitkan ekonomi bagi warga desa bahkan di kota, harus kembali pada agama atau religi itu sendiri. Sebab, tanpa hadirnya agama, keyakinan, tradisi, budaya, laju ekonomi hanya berkutat pada fisik belaka.
Mereka akan sekuler, liberal, dan kaya materi namun miskin hati. Kaya namun tak bahagia. Ironis. Kita bisa melihat warga desa, hanya bekerja di sawah, mereka bahagia, tak pernah kelaparan, dan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana bahkan doktor. Ini semua adalah jaminan Tuhan kepada petani yang menyelaraskan substansi religi melalui tradisi mereka.
Kita harus belajar dari tradisi saparan, karena peristiwa dalam tradisi ini tidak hanya soal ubo rampe, tumpeng, apem, tenong, namun juga wujud syukur, ibadah, dan berserah diri pada Tuhan. Dalam saparan, masyarakat tak hanya berburu materi, namun mereka masih rajin berbagi, sedekah, mengutamakan agama dan Tuhan sebagai tujuan final dalam hidup. Saparan menjadi momentum kebangkitan religi dan ekonomi dengan mengomparasikan agama dan budaya sebagai topangan vital dalam hidup.
Dus, masihkan kini manusia Nusantara memahami bahwa setiap tradisi atau budaya lokal seperti saparan ini adalah momentum kebangkitan religi dan ekonomi? Atau, justru mereka berpikir jumud dengan hanya menonton atau bahkan turut menyirikkan? Duh!