Oleh Nanang Qosim, M.Pd.
Bung Karno dalam pidatonya di depan Badan Penyelidikan Persiapan Kemerdekaan (Herberth Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES), menyebut bahwa Pancasila mempunyai lima sila yang dapat diperas menjadi ekasila: nilai gotong-royong. Lalu, bagaimana jika gotong royong itu diaplikasikan ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam model pengajaran, maka jawabnya Pancasila menolak dua model pengajaran utama (mainstream), yaitu model pengajaran kompetisi, dan model individual.
Model kompetisi, siswa belajar dalam suasana persaingan. Guru diberi imbalan dan ganjaran (stick-and-carrot, reward and punishment approach) untuk memotivasi siswa memenangi kompetisi. Tujuan evaluasi model ini adalah menempatkan anak didik dalam urutan (sistem ranking).
Model ini diadopsi mayoritas institusi pendidikan di Indonesia. Kelemahan mendasarnya, model ini hanya menerapkan standar seragam sehingga bisa menimbulkan rasa minder bagi siswa berperingkat biasa-biasa saja dan yang lebih rendah lagi. Celakanya lagi, model kompetisi kerap menyulut permusuhan dan mentalitas menghalalkan segala cara, termasuk menyontek untuk meraih skor tinggi.
- Iklan -
Padahal, jika kita merujuk pada teori multiple intelligence (Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara, Kaifa, 2002), setiap anak memiliki setidaknya delapan kecerdasan: cerdas alam, cerdas kata, cerdas angka, cerdas gambar, cerdas tubuh, cerdas musik, cerdas bergaul, cerdas diri. Artinya, bisa saja ada anak yang lemah dalam pelajaran matematika (kecerdasan angka), tapi dia hebat dalam pelajaran mengarang (kecerdasan kata). Atau, ada anak yang mahir dalam ilmu pengetahuan alam (kecerdasan alam), tapi kurang cakap dalam pelajaran olahraga (kecerdasan tubuh). Maka itu, standar kuantitatif semata tidaklah cukup menakar, dan bahkan memasung, potensi anak didik.
Kedua, model individual yang banyak diterapkan di Amerika Serikat. Model ini mengutamakan setiap anak didik belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan masing-masing. Untuk itu, disiapkan modul khusus yang memungkinkan anak belajar sendiri dengan pengawasan minimal dari pengajar. Murid jarang berinteraksi di ruang kelas, yang ditata sedemikian rupa dengan beberapa learning centers supaya murid bisa belajar sesuai minat dan kebiasaan masing-masing.
Tragisnya, model ini mulai menyusupi pendidikan di Indonesia. Misalnya, ada satu kursus matematika dan bahasa Inggris terkenal berkurikulum internasional yang menjalankan model pengajaran individual. Sehingga, anak memang cerdas dalam pelajaran yang dileskan, tapi tidak menambah jejaring teman di sana. Kembali, ini menyimpang dari model pengajaran Pancasilais yang berwatak gotong royong.
Moderat
Penolakan Pancasila terhadap kedua model di atas tak pelak membuat model pengajaran Pancasilais idealnya mampu meretas jalan tengah antara keduanya. Caranya, model pengajaran Pancasila memberikan penekanan pada kerja sama. Asumsi dasarnya tentang manusia adalah sebagai homo socius.
Merujuk Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments (1759), manusia sebagai makhluk individual yang hidup berdampingan dengan sesamanya (co-existent beings). Di sini, manusia dibebaskan mengejar kepentingan pribadinya, asalkan dia juga memainkan peran dalam menunjang kelangsungan hidup sesamanya. Pendeknya, model pengajaran Pancasila adalah sekaligus model pembelajaran kooperatif (cooperative learning).
Menurut Anita Lie dalam Cooperative Learning (Grasindo, 2002), supaya bisa optimal, model pengajaran berbasiskan kerja sama ini harus memiliki lima unsur. Pertama, saling ketergantungan positif. Artinya, guru harus memberikan proyek sekolah atau tugas sedemikian rupa sehingga para siswa dalam satu kelompok tugas harus bahu-membahu menyelesaikannya. Individu yang satu tidak akan optimal tanpa yang lain.
Kedua, tanggung jawab perseorangan. Tidak boleh ada free rider alias anggota kelompok yang berleha-leha tidak bekerja. Karena orang yang demikian akan mengalangi penuntasan tugas yang diberikan. Dengan begitu, aspek penilaian terhadap individu tetap berjalan, persis seperti kelebihan di dalam model pengajaran individual.
Ketiga, tatap muka. Guru mesti memberikan tugas yang mewajibkan semua anggota kelompok bertatap muka dan berdiskusi. Jadi, meskipun masing-masing individu punya tugas sesuai kemampuan masing-masing (aspek individual), mereka tetap harus membahas bersama bagaimana menyelesaikan proyek itu secara sempurna (aspek sosial).
Keempat, komunikasi antar anggota. Ini terkait dengan unsur ketiga berupa diskusi. Siswa atau anggota kelompok seyogianya dilatih terlebih dahulu untuk bersikap asertif dalam menyampaikan pendapatnya secara bernas dan efektif. Juga, untuk memiliki kemampuan mendengarkan secara baik. Tanpa kemampuan komunikasi yang baik, proses tugas kelompok dapat menyulut permusuhan sebagaimana risiko yang terjadi dalam model pengajaran kompetisi.
Kelima, evaluasi proses kelompok. Guru atau pengajar dalam model ini mesti melakukan evaluasi terhadap proses kinerja kelompok secara keseluruhan demi menimbang apakah proses belajar telah berjalan secara optimal.
Akhir kata, terbukti Pancasila sebagai pandangan-dunia (world-view) yang berperan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan (Slamet Soetrisno, Filsafat Pancasila, Penerbit Andi, 2006), mampu menjadi landasan sahih bagi pengembangan model pengajaran dalam ilmu pendidikan.
Pancasila mampu menjadi titik tolak perumusan model pengajaran yang sesuai dengan alam pikir dan corak budaya khas masyarakat Indonesia. Yaitu, konsep cooperative learning yang memberikan penekanan selaras antara aspek kolektivitas (keseragaman) dan aspek individualitas (keunikan).
Sudah saatnya Indonesia kembali menengok model pengajaran Pancasila demi mengukuhkan kembali identitas bangsa dan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas prima. Mari kita bersama terapkan model pengajaran Pancasila demi melahirkan anak-anak bangsa yang religius, berkeadaban, patriotis-nasionalis, demokratis, dan sosialistis–perwujudan dari masing-masing sila dalam Pancasila.
-Penulis adalah Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (Sainstek) UIN Walisongo Semarang, Pengurus LTN NU Kota Semarang.