Oleh Junaidi Abdul Munif
Kemendikbud berencana mengajarkan kembali Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah. Nomenklatur PMP mulai muncul sejak tahun 1975. Pelajaran ini mengalami perubahan menjadi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan PKn (Pendidikan kewarganegaraan). Nama pelajaran yang berbeda namun substansi materi pelajaran masih sama.
Bagi pelajar generasi 1990-an, Pancasila hadir dalam keseharian. Teks pengamalan butir-butir Pancasila hadir di sampul buku tulis. Mereka harus ikut penataran P4 saat masuk ke SMP-SMA. Seringkali siswa “kelelahan” menulis karena menyalin butir-butir pengamalan Pancasila di lembar jawab ujian dan PR. Pada masa itu Pancasila dihadirkan sebagai kognisi siswa.
Mengapa Kemendikbud perlu memasukkan kembali PMP saat pendidikan karakter menjadi integrated curriculum dalam Kurikulum 2013? Bagaimana distingsi PMP dengan pendidikan karakter, misalnya, perlu dijawab agar tidak terjadi tumpang tindih. Pelajaran agama yang mencakup moral pun masih diajarkan. Bukankah moralitas erat kaitannya dengan agama dan karakter?
- Iklan -
Ada beberapa alasan yang bisa diajukan untuk meneroka alasan Kemendikbud mengajarkan PMP lagi. Pertama, Pancasila di masa Indonesia kiwari sedang mengalami “hantaman” dari kelompok masyarakat penolaknya, terutama Pancasila yang dibenturkan dengan Islam.
Kedua, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) “kurang” memberi hasil maksimal. Kompetensi serta indikator keberhasilan belajarnya belum dirasa menjawab persoalan elementer masyarakat. Padahal roh PKn dan PMP sesungguhnya tidak jauh berbeda, -untuk tidak dikatakan sama.
Ketiga, pendidikan karakter belum mencukupi untuk “melokalisir”nilai-nilai Pancasila dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan sumber pendidikan karakter bisa dari mana saja. Padahal pendidikan karakter bisa dielaborasi lagi berdasarkan sumbernya: agama dan budaya.
Pendidikan moral bertujuan menjadikan siswa sebagai warga negara yang baik. Pada PMP, rumusan “baik” adalah yang bersandarkan pada Pancasila. Pertanyaan yang dapat diajukan, dari mana siswa mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai baik? Di negara yang pelajaran agama diajarkan di sekolah, setidaknya siswa memperoleh tentang pendidikan nilai itu dari pelajaran agama dan PMP.
Dalam konteks pendidikan nasional, Pancasila merupakan sumber pendidikan karakter yang utama. Menjadi Pancasilais sesungguhnya adalah sekaligus menjadi agamais. Dilema pelajaran PMP nantinya apakah dimasukkan sebagai subjek kurikulum (mata pelajaran sendiri) atau sebagai pelajaran yang terintegrasi dengan pelajaran lain.
Di masa lalu, pelajaran PMP dilangsungkan dengan hafalan dan pengetahuan. PMP hadir dalam THB (tes hasil belajar), berupa soal pilihan ganda dan uraian. Model evaluasi kognitif seperti itu menempatkan PMP sebagai hafalan. Padahal, jika dicermati, tanpa belajar pun soal-soal PMP mudah untuk dijawab. Setidaknya jika kita berasumsi bahwa nilai-nilai kebaikan bersifat universal.
Siswa akhirnya belajar pengetahuan tentang Pancasila, meskipun nilai-nilai Pancasila dilakukannya dengan landasan budaya dan tradisi yang hidup di lingkungan siswa. Mengajarkan PMP tentu sangat baik, namun paling penting adalah model evaluasi untuk melihat keberhasilan pelajaran ini.
Persoalan mengemuka ketika apa yang menjadi kognisi siswa belum sepenuhnya mewujud dalam afeksi. Evaluasi yang mengedepankan afeksi, -di mana indikator keberhasilan pembelajaran adalah termilikinya sikap-sikap positif dari materi PMP, cukup sulit dilakukan karena bersifat kualitatif. Konsep Pancasila tentu sangat berat bagi siswa sekolah dasar. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana belajar menyayangi teman, menghormati guru, membantu teman, disiplin, serta aspek-aspek positif lainnya.
Mencetak manusia dan warga negara yang baik adalah tujuan dari PKn, PMP, pendidikan akhlak, dan pendidikan agama. Sikap religius, kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan sosial sebagai ruh afeksi Pancasila adalah tujuan dari PMP, dan semua itu menjadi nilai-nilai dasar agama.
Pelajaran PMP dengan Pancasila sebagai leksikonnya perlu mendialogkan dengan nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. Pancasila dengan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, dan kepercayaan adalah samudera nilai yang berasal dari sumber yang sama, dan berhilir sama pula. Pancasila adalah konklusi dari nilai-nilai universalisme agama.
Persoalan dalam model pembelajaran adalah, apakah seseorang harus tahu ilmunya (teori) sebelum melakukan perbuatan? Model belajar untuk tujuan afektif bisa dibalik. Untuk melakukan perbuatan baik, yang paling penting adalah melaksanakan dulu, baru dipelajari teori atau pengetahuan ilmunya.
Belajar melalui pembiasaan sesungguhnya merupakan metode yang akan memenuhi indikator-indikator afeksi. Menghormati orang tua, menghargai sesama, membudayakan antri, disiplin, tidak membuang sampah sembarangan, adalah sikap-sikap yang memerlukan pembiasaan.
Model pembelajaran dengan pembiasaan terjadi kalangan nahdliyin. Misalnya, berapa banyak warga yang tahu dalil (dasar hukum/teori) dari tahlilan. Saya yakin tidak banyak yang tahu. Lambat laun, ketika tahlilan “dikritik”, mereka akhirnya belajar dan terkejut, ternyata ada dalil tentang tahlilan. Bahwa tradisi yang mereka lakukan memiliki pondasi yang transenden-sosial.
Begitu juga dengan PMP. Didik dan beri teladan kebaikan pada peserta didik, tanpa perlu menyampaikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan Pancasila. Ada saatnya ketika dewasa, mereka akan terkesima, bahwa ternyata mereka sudah mengamalkan Pancasila sejak belia.
-Penulis adalah guru dan aktif pengurus GP. Ansor Desa Kedungwungu, Grobogan.