Oleh Drs. KH. Muhamad Muzamil
Pendidikan Islam merupakan satu kesatuan yang terdiri dari tujuan, pendidik, peserta didik, materi (isi), metode, sarana prasarana yang diperlukan, lingkungan sosial dan alam serta evaluasi dan umpan balik. Karenanya pendidikan Islam adalah suatu sistem yang terrencana, teratur, dan disiplin. Masing-masing unsur (sub sistem) berpengaruh sesuai dengan posisi dan peranannya.
Karena begitu luasnya ruang lingkup tersebut, maka tulisan ini sedikit mengulas tentang tujuan, dan isi (materi) pendidikan Islam.
Pendidikan Islam adalah upaya sadar yang dilakukan oleh pendidik, atau tepatnya ulama kepada jemaahnya atau anak didiknya agar memiliki takwa kepada Allah SWT, ilmu, keterampilan dan kompetensi yang diharapkan. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam adalah mewujudkan insan yang muttaqin.
- Iklan -
Pendidikan Islam berlangsung seumur hidup mulai dari “ayunan” hingga ke “liang lahat”. Ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan Islam jauh dimulai sebelum anak lahir, yakni ketika memilih calon suami atau istri, karena kualitas “bibit”, “bobot” dan “bebet”.
Pendidikan Islam meliputi ikhtiar ta’dib (memperindah Akhlaq), ta’lim (mengajarkan ilmu), dan tarbiyah (menumbuhkan kesadaran senantiasa menghambakan diri kepada Allah SWT). Ikhtiar ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu pendidikan Islam adalah sarana untuk tafaqquh fi al-din.
Al-diin memiliki makna yang sangat luas, tidak hanya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan di dunia saja, namun juga keselamatan dan kebahagiaan di akhirat kelak (sa’adatu fi daroini) secara seimbang.
Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, maka isi atau materi pendidikan Islam juga sangat luas, tidak sekedar mencakup ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tasawuf, tetapi juga disiplin ilmu lainnya untuk mencapai kemaslahatan hidup peserta didik di masa depan.
Isi pendidikan Islam tersebut kemudian diklasifikasi oleh para ulama terkait hukum mempelajarinya. Ada yang fardlu ain (terkait kewajiban bagi setiap mukalaf), fardlu kifayah (terkait kewajiban jama’ah dalam suatu wilayah atau daerah tertentu), sunnah (hal-hal yang dianjurkan untuk diamalkan) dan mubah (terkait masalah yang tiada kewajiban atau tiada larangan namun ada nilai kemaslahatannya).
Ada juga ilmu yang haram untuk dipelajari seperti sihir, yang dapat merugikan orang lain.
Klasifikasi hukum mempelajari ilmu-ilmu tersebut tergantung pada niat dan latar belakang atau illat-nya. Misalnya tentang sains dan teknologi. Jika tujuannya untuk memenuhi kebutuhan kemaslahatan ummat maka hukumnya bisa fardlu kifayah, sunnah, dan mubah, tergantung kebutuhan dan situasi masyarakatnya. Namun jika tujuannya untuk kerusakan seperti perang untuk menghancurkan kelompok atau bangsa tertentu maka hukumnya bisa menjadi haram.
Dengan demikian para pendidik hendaknya bersikap hati-hati untuk mengajarkan suatu ilmu kepada para peserta didiknya. Karena itu yang wajib diajarkan terlebih dulu adalah tentang adab atau karakter yang baik dan terpuji dengan keteladanan. Setelah itu baru diajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat untuk kemaslahatan ummat pada masa sekarang dan mendatang.
Guna mewujudkan kemaslahatan ummat, terdapat lima prinsip (al-ushul al-khomsah) yang tidak boleh dilanggar, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal pikiran, keturunan, dan kepemilikan harta benda.
Karena itu isi pendidikan Islam adalah semua ilmu yang diperlukan untuk menjaga dan memelihara lima hal prinsip dasar tersebut, sehingga peserta didik mampu terus menerus mewujudkan kemaslahatan hidup bagi diri, keluarga, masyarakat dan negaranya. Sesuatu yang menimbulkan bahaya bagi lima hal prinsip tersebut harus ditolak terlebih dahulu daripada mengambil manfaat. Wallahu a’lam.
-Penulis adalah Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah.