Oleh Hamidulloh Ibda
Sore itu, ketika menemani anak saya menonton Youtube usai belajar dan mewarnai, tiba-tiba ia berteriak. “Pa, pa, cendol dawet, Pa…. cendol dawet.” Saya kaget. Pikir saya, ia minta dibelikan es cendol dawet karena melihatnya di Youtube. Jebule ora!
“Ah, betapa bodoh dan tidak update-nya saya pada perkembangan musik dangdut kekinian,” pikir saya dalam hati.
Ya, saya akui, saya tidak penggemar apalagi pecinta dangdut. Maka wajarlah, ketika saya tidak begitu update musik-musik dangdut, apalagi yang bermazhab koplo.
- Iklan -
Perkembangan musik yang kini didominasi di Youtube bak percikan kilat. Viral, terkenal, meski kadang amoral lewat berbagai jogetan-jogetan binal. Meski musik hanya alat, namun lewat penyanyi-penyanyi yang begituan kadang meruntuhkan derajat estetik dangdut itu sendiri. Meski demikian, bagi sebagian orang, dangdut menjadi katarsis. Dan, jiwa manusia Indonesia memang jiwa dangdut, apalagi ada hal-hal konyol, lucu, membuat geli seperti fenomena cendol dawet tersebut.
Anak saya yang masih TK saja sudah tahu apa itu cendol dawet yang kini viral. Meski hanya tahu cendol dawetnya, bagi saya ia menjadi korban digital. Di benak saya, “apa ini yang namanya generasi cendol dawet ya?” atau “generasi kaleng-kaleng?”
Pergeseran
Membentengi anak dari gadget (gawai) memang susah. Saya sendiri memaksa istri dan anak untuk menggunakan gawai sesuai porsi. Karena gawai hanya alat. Tapi, mengeremnya sangat susah dan “marai tukar” karena menangis menjadi jurus andalan anak saya untuk bisa bermain gawai.
Saya yakin, hampir semua anak seusia anak saya bernasib sama. Ia dewasa dini dan menjadi korban digital. Contohkan saja ketika cendol dawet yang sedang viral. Hal ini bagi saya tidak menjadikan anak saya menjadi generasi yang tahu local genius (jenius lokal) maupun local wisdom (kearifan lokal). Khususnya, lagu-lagu tradisional yang menumbuhkan kecintaan pada kearifan lokal dan nasionalisme, dan sarat akan nilai-nilai luhur.
Apakah cendol dawet itu nirkearifan dan gersang nasionalisme? Tidak juga. Tapi, cendol dawet sebagai bagian dari petikan lagu Pamer Bojo karya Didi Kempot yang bergenre campursari-dangdut koplo ini jika dikonsumsi anak anak sangat kurang mendidik.
Alasannya, hanya untuk iseng dan ramai-ramaian saja. Praktis tidak ada dampak pada pembangunan karakter yang menguatkan kearifan lokal maupun jenius lokal. Apa sebabnya? Jelas, sesuatu yang instan dan lahir dari produk digital hampir semuanya sekadar “numpang lewat” saja meski semuanya tidak demikian. Istilah populernya, “hangat-hangat tahi ayam.”
Ya, numpang lewat dan viral pada jangka waktu tertentu. Saya masih ingat ketika dulu viral tari atau lagu Poco-poco, Gangnam Style, Kucing Garong, Iwak Peyek, Numpak RX King, hingga Sayang, Bojo Galak, dan lainnya. Ya, ramai saat eranya, tapi sirna setelahnya.
Mudah viral tapi juga mudah hilang. Mungkin demikian hukum produk digital atau cacat bawaan yang kini dikonsumsi generasi milenial. Begitu juga dengan cendol dawet.
Di sini, produk digital menggeser lagu-lagu tradisional yang harusnya dikonsumsi anak. Saya sendiri, sampai kini sedikit sekali hafal lagu-lagu tradisional khas Jawa atau daerah lain. Kita harus mengingat kembali lagu lagu tradisional nasionalis-religius seperti Lir Ilir, Tombo Ati, Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Soleram, Seledet Pong, Manuk Dadali, Kidang Talun, Gambang Suling, Gundul Pacul, Jaranan, Anak Kambing Saya, dan lainnya.
Lagu-lagu itu ada di Youtube. Bejibun. Namun mengapa kalah viral dengan petikan lagu Pamer Bojo dengan sebutan cendol dawet? Liriknya, yaitu Cendol dawet//cendol dawet seger//lima ratusan//gak pake ketan//Ji, ro, lu, pat, limo, enem, pitu, wolu//Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang, tak kintang-kintang//lololo.
Apakah zeitgeist (spirit zaman) saat ini yang dikenal/terkenal harus viral, baru, unik meski konyol? Ah, tampaknya tidak demikian. Lantaran sumber belajarnya Youtube, gurunya Mbah Google, kiainya internet, dosennya Facebook, ya wajar saja cendol dawet yang diketahui. Mereka menggeser sumber belajar yang utama; guru, kiai, dosen, dan lainnya.
Pergeseran inilah dalam konsep Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 disebut disrupsi budaya atau ketercerabutan budaya. Entah itu berupa jenius lokal maupun kearifan lokal. Membuat orang menjadi “inferior” kepada budaya dan tradisinya sendiri.
Jika tidak direm, dalam jangka panjang melahirkan generasi “kacang lupa kulitnya”. Bagaimana mungkin bangsa bisa besar jika lupa sejarah dan tidak ada ruh nasionalisme di dadanya?
Mengawinkan Jawa, Arab, dan Barat
Sebagai bangsa bekas jajahan dan mayoritas pemeluknya Islam, bangsa Indonesia memang tidak lepas dari imperium peradaban Arab dan Barat. Baik itu konteks pengetahuan, agama, maupun budaya. Padahal, sebagai orang Jawa / Nusantara, kita memiliki ribuan lagu, genre, alat musik, dengan segala ideologi nada yang majemuk.
Ideologi nada Barat, hanya punya tangga nada oktaf “do-re-mi-fa-so-la-si”. Dalam teori dasar diatonis atau diatonik, nada-nada itu mudah dimainkan semua orang. Lalu, kita? Di Jawa punya musik karawitan dengan laras slendro dan laras pelog. Laras slendro memiliki lima nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 (C- D E+ G A). Laras pelog memiliki tujuh nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 (C+ D E- F# G# A B). Slendro maupun pelog, melampaui konsep diatonis maupun pentatonis. Ia mistis, karena erat dengan gemelan yang digubah Sunan Kalijaga kala itu.
Apakah hanya Jawa? Tidak. Orang Sunda, memiliki konsep tangga nada sendiri, yaitu “Damilati Nada” yang sangat menarik. Begitu pula dengan daerah lain, baik yang menempel pada musik ketukan, gesekan, atau tiupan. Sugeh lah pokoknya kita itu!
Kita punya Lir Ilir mahakarya Sunan Kalijaga yang sangat religius dan enigmatis. Kita punya Gundul Pacul karya Sunan Kalijaga yang mengajarkan konsep kepemimpinan dan bernuansa satiris. Kita juga punya Cublak-cublak Suweng dari Jawa yang mengajarkan sportivitas. Kita punya Anak Kambing Saya lagu dari Nusa Tenggara Timur yang mengajarkan kegirangan, kebersamaan dan persahabatan anak dengan orang tuanya. Lengkap!
Semua nilai-nilai ada pada lagu-lagu tradisional yang kelihatannya untuk anak-anak. Tapi, justru sarat makna mendalam, filosofis dan enigmatis yang harusnya juga dinikmati dan diambil intisarinya oleh orang dewasa.
Belum lagi, produk atau karya-karya Walisongo yang kian terkikis. Selain kitab, manuskrip, Walisongo memiliki produk estetis-enigmatis berupa kidung, serat, suluk, tembang hingga mantra alias tembang ageng/gedhe. Selain itu kita juga memiliki tembang tengahan, tembang macapat dantembang dolanan.
Atas peran Walisongo, kita memiliki konsep Mocopat atau Macapat yang lengkap menuntun kehidupan manusia ketika masih di dalam kandungan, awal lahir, hidup, sampai mati. Jika kita baca dengan seksama dengan tempo yang tidak sesingkat-singkatnya, Mocopat menjadi “harta karun” bangsa ini. Coba kita lihat!
Pertama, maskumambang (pelajaran dalam kandungan). Kedua, mijil (pelajaran saat lahir). Ketiga, sinom (pelajaran saat muda). Keempat, kinanthi (tuntunan). Kelima, asmarandana (asmara). Keenam, gambuh (kecocokan). Ketujuh, dhandhanggula (senang). Kedelapan, durma (dermawan). Kesembilan, pangkur (menjauhi hawa nafsu). Kesepuluh, megatruh (kematian). Kesebelas, pocung (dibungkus mori putih).
Kesebelas tingkatan ini merupakan wujud dari integrasi nilai-nilai Jawa dan Islam yang jika diteliti dapat melahirkan ratusan tesis dan disertasi. Anehnya, saat ini meneliti saja belum, namun banyak kelompok yang rajin mewartakan spirit tabdi (membidahkan), tasyri’ (menyirikkan), takfiri (mengafirkan). Aneh. Jadi, kita ini aslinya bangsa yang kaya sekaligus raya yang melampaui bangsa-bangsa lain. Namun, kini kita seolah-olah miskin karena dibuat, dilabeli minhum dengan ‘kutukan’ bidah, syirik, kafir untuk tidak memiliki budaya dan tradisi di atas. Opo ora marakke misuh kayak gini?
Jika kita lihat musik Arab, ia hanya menganut monofonik. Dapat dilihat pada musik kasidah, berwujud nyanyian tunggal iringan rebana dan melodinya berupa iringan pukulan irama. Kita? Loh, kita punya ribuan grup kasidah kok. Nasida Ria contohnya!
Nasida Ria atau Nasidaria ini merupakan band kasidah modern Indonesia yang terdiri atas 9 wanita dari Tugu, Semarang. Mengapa 9 wanita? Jelas, representasi dari Walisongo. Sebab, grup yang lahir pada 1975 ini diinisiasi H. Mudrikah Zain, dan menjadi kelompok kasidah modern tertua di Indonesia. Uniknya, pencipta lagu-lagu Nasida Ria ini adalah KH. Bukhori Masruri yang merupakan Mantan Ketua PWNU Jawa Tengah. Luar biasa!
Namun kita patut curiga. Dengan konsep besar itu, peradaban Jawa atau Nusantara kuno tidak dihadirkan di dalam kurikulum, buku, atau dunia akademik kita. Adanya hanya Yunani kuno, Mesir atau Arab kuno, Cina kuno. Hanya itu. Jawa dan Nusantara kuno absen!
Di sini, saya berani mengklaim, konsep Mocopat di atas, hakikatnya mengalahkan Magna Carta atau Piagam Besar (1215) milik Inggris, atau Declaration of Independence (1776) milik Amerika Serikat sekalipun.
Tak perlu inferior dan ciut nyali dengan kejawen kita yang hakikatnya sudah sangat islami. Sekali lagi, sangat islami. Maka harus bangga dengan Bali kita, Papua Kita, Maluku kita, Borneo kita, Samin kita, Badui kita, dan lainnya. Sebab, melihat data parsial di atas menunjukkan betapa kayanya bangsa kita. Belum lagi, ditambah “cendol dawet” jika laik dijadikan nilai kearifan di dalamnya.
Masalahnya, apakah anak-anak kita sekarang mengenal semua itu? Lalu, bagaimana dengan cendol dawet? Apakah termasuk lagu adiluhung, atau sekadar lagu numpang lewat saja? Duh!
(Bersambung).
–Penulis adalah dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung.