Oleh Suroso
Judul: Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab
Penulis: RMI (ed.)
Penerbit: IRCiSoD
Terbit: Oktober 2020
ISBN: 978-623-6699-04-1
Tebal: 246 Halaman
Buku ini memberikan sebuah penjelasan tentang kiprah Gus Dur dalam kehidupan berpolitik dan berorganisasi, lebih tepatnya dalam mengembangkan organisasi masyarakat Nahdatul Ulama.
Salah satu problem yang diusung dalam problem buku ini ialah ketika Gus Dur memiliki pemikiran yang sedikit berbeda dengan orang-orang NU pada umumnya. Seperti menjadi Ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) karena masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, kemudian membuka malam puisi Yesus Kristus, menjadi anggota MPR, Gagasan Pribumisasi Islam, sampai dengan pemikirannya yang mengganti Assalamu’alaikum menjadi selamat pagi.
- Iklan -
Problem itulah yang kemudian membuat beberapa kiai merasa resah dengan pemikiran yang diusung oleh Gus Dur, yang dalam buku ini disebut sebagai “kiai menggugat”. Bertempat di Pondok Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon Jawa Barat, ada sekitar 200 kiai yang melakukan sidang gugatan tentang pemikiran Gus Dur tersebut. Gus Dur dengan rinci dan sangat jelas berhasil memberikan pemahaman terhadap kiai-kiai penggugat tersebut.
Dalam urusan menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur menjelaskan bahwa ia ditunjuk agar ada seniman yang lahir dari pesantren. Dengan tujuan mampu melahirkan seorang seniman yang juga memiliki wawasan keagamaan. Gus Dur juga menegaskan, bahwa menjadi seniman dengan mengelola kesenian itu beda. Dan yang dilakukan Gus Dur adalah mengelola kesenian (hal 32).
Jawaban Gus Dur tentang malam puisi Yesus Kristus menjelaskan bahwa malam puisi bukanlah acara ibadah. Sedangkan yang diharamkan ialah hadir pada acara ibadah pemeluk agama lain. Bahkan, masuk gereja ketika sedang melaksanakan peribadatan, -sedangkan kita tidak memiliki kaitan ibadah tersebut-, hukumnya tidak haram (hal 33).
Klarifikasi (tabayyun) yang disampaikan Gus Dur, yang kemudian dikelompokkan menjadi sebuah pemikiran dan kelompok tindakan ini merupakan sebuah bahan ajar yang cukup menarik untuk diteladani. Sebagaimana ketika Gus Dur menjelaskan Assalamu’alaikum yang bisa diganti dengan selamat pagi dan sebagainya. Bagaimana Gus Dur mampu membuat sebuah terobosan baru atau menyandingkan antara budaya (adab) dengan norma (syari’ah).
Gus Dur juga mencontohkan tentang arsitektur masjid Indonesia kuno yang mempunyai atap tiga lapis atau yang dipopulerkan masjid bantuan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Atap tiga lapis ini menggambarkan iman, Islam, dan ihsan. Tiga lapisnya sendiri sebenarnya diambil dari simbolisasi (perlambangan) dari masa Hindu-Budha. Yaitu lapis sembilan—dapat dijumpai di Bali yang menggambarkan sembilan lingkaran hidup manusia (reinkarnasi).
Oleh Wali Sanga, sembilan lapis itu disisakan tinggal tiga saja dan disertai penggantian maknanya. Artinya, mereka mengambil bentuk budayanya saja, tetapi memberi isi lain yaitu Iman, Islam, dan Ihsan (hal 49).
Dalam hal ini Wali Sanga telah membuat penyesuaian pelan-pelan, dan tidak langsung membuat suatu yang sama sekali baru.
Faktanya, dakwah yang dilakukan oleh Wali Sanga yang santun dapat diterima oleh masyarakat. Sebagaimana ketentuan awal dalam beragama, bahwa agama tidak pernah mengajarkan kekerasan dan pemaksaan.
Itulah yang sebenarnya yang ingin dibangun Gus Dur. Bahwa Nahdatul Ulama menjadi jembatan seseorang untuk berpikir moderat, santun dan menyenangkan. Sehingga orang yang di luar NU tidak merasa takut, melainkan ingin bergabung untuk ikut ambil andil membangun bangsa melalui organisasi tersebut.
Penyelesaian masalah yang senantiasa mengedepankan pemikiran, budaya, serta norma inilah yang seharusnya menjadi teladan bagi setiap manusia. Gus Dur dengan berbagai pemikirannya mampu memberikan sebuah teladan tentang pentingnya kesetaraan, kebudayaan, serta pentingnya mengikuti alur kemajuan zaman.
Selain tentang problemtika tentang kiai menggugat Gus Dur, buku ini juga memberikan sebuah pemikiran baru dalam menghadapi problematik kehidupan sosial. Baik dalam bentuk organisasi ataupun politik. Semua yang diusung di sini tidak lepas dari peran Gus Dur di dalamnya.
Disajikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, pembaca akan dengan mudah menguasai buku ini. Sehingga akan dengan santun mendapatkan khazanah yang terkandung. Pesan buku ini, agar tidak tergerus arus zaman, NU juga harus mengikuti laju zaman yang semakin modern. Sehingga NU bisa melahirkan generasi yang santun dan memiliki pemikiran baru sesuai dengan zamannya, tapi tidak meninggalkan kebudayaan lamanya.
*Suroso, Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga