Oleh Ahmad Nahrowi
“Stereotipe masyarakat pada santri itu hanyalah seorang kolot yang mempelajari ilmu agama, tidak menerima perubahan, apalagi modernisasi, sikap santri cenderung konservatif dan tradisional, maka ketika ada santri yang ternyata sampai jenjang wisuda pada kaget, padahal hal demikian adalah wajar.”
________
“Loh, Santri Bisa wisuda tho mas?”
- Iklan -
Begitu reply netizen pada story Instagram saya, yang kala itu saya mengupload foto memakai toga. Seolah ia terkaget kalau santri itu juga laik diwisuda. Padahal banyak santri yang memiliki gelar tinggi, mulai S1, S2, S3, hingga Profesor. S1 dan S2 tak terhitung jumlahnya karena mayoritas Pondok Pesantren memiliki kampus sendiri, Lirboyo memilik IAIT, Tebuireng punya Unhasy, Sarang memiliki STAI Al-Anwar, Gontor punya Unida serta masih banyak lainnya.
Gelar S-3 dan profesor juga banyak disandang oleh para kiai, sebut saja Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj MA, Prof DR. KH Tholhah Hasan, Prof DR. Nasarudin Umar, belum lagi kiai yang mendapat gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa), Gus Dur Presiden ke-4 RI yang pernah mengenyam bangku santri 10 kali mendapat gelar Doktor Kehormatan, k terhitung gelarnya. Lalu ada Gus Mus, Wapres saat ini, Gus Mus, Habib Luthfi dan yang terbaru Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir, nama diatas merupakan tokoh hebat yang tak hanya berangkat dari santri tapi juga beberapa kali mencicipi manis dan gagahnya memakai baju toga.
Ya memang wisuda secara kasat mata identik dengan style pendidikan eropa, Sebagai tanda telah paripurna masa belajarya. Memakai topi toga dan baju kurung yang serba hitam, dan ada medalinya, lalu dirayakan bersama dengan keluarga, hingga pada akhirnya tradisi itu ditiru juga sampai ke negara kita bahkan secara global pada umumnya.
Namun jarang yang tahu kebenaran aslinya, bahwasannya tradisi itu merupakan otentik dari Islam yang kemudian hari diadopsi oleh Eropa. Mari sekeilas kita menengok sejarah, istilah toga berasal dari kata jubah, sedangkan bentuk segi empat pada toga (kecuali di Indonesia yang ada lima segi) itu adalah lambang dari kakbah yang juga berbentuk persegi, serta warna hitam dari toga merepresentasikan dari warna hitam kiswah, kain penutup kakbah. Hingga sekarang pemakaian toga ini berlaku secara internasional.
Bagi masyarakat yang kurang perhatian terhadap sejarah menganggap upacara wisuda itu lahir dari Eropa, padahal kebenarannya di atas itu tadi, meniru dari sistem universitas milik Islam.
Hal itu diperkuat lagi, tradisi di Arab, jika ada orang yang memakai jubah dan imamah (udeng-udeng -jawa) itu pertanda kalau orang tersebut memiliki kelayakan ilmu yang telah mumpuni, sebaliknya, orang yang merasa dirinya belum berilmu akan tahu diri, tidak akan memakai jubah apalagi imamah, mereka hanya akan memakai Qolansuwah (peci biasa).
Maka jangan kaget kalau mayoritas pesantren di Indonesia, santri-santrinya memakai Qolansuwah dan sarung biasa, tiada berani memakai imamah apalagi Jubah. Dikalangan Pesantren yang berani memakai Jubah ya kiai-kiai saja, ataupun alumni (meskipun sedikit), itupun hanya ketika momentum tertentu, bukan sandangan sehari-hari, seperti ketika ziarah, khutbah, pengajian, ataupun pertemuan-pertemuan sesama ulama.
Apalagi jika Masih santri tidak pantas memakai jubah, kecuali kalau sudah tamat. Pun demikian di formal, yang memakai toga hanya yang sudah sarjana, mahasiswa belum waktunya.
Maka hal ini juga bisa menjadi ibrah bagi orang tua di Indonesia, agar buah hatinya jangan dipakaikan Jubah dan imamah dulu, karena bisa berpotensi timbul rasa gumede (besar kepala) karena ia merasa berbeda dengan anak lainya, alangkah baiknya dikenakan pakaian-pakaian sederhana, atasannya kopyah, bawahannya sarung, dan baju moslem seperti biasanya itu, wong di Arab sendiri sana, yang merupakan empunya jubah, anak-anaknya hanya memakai sandangan biasa, bahkan tidak memakai penutup kepala apalagi berjubah.
Kembali lagi, jangan heran bila dipesantren ada wisuda, secara tradisi dan histori bahkan lebih dari itu, secari rohani, pesantren telah menerapkan wisuda sejak dulu kala, yang telah diajarkan sejak era imperium islam dimasa silam, Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah, Utsmaniyah, Melalui Universitas Nidzomiyah, Cordoba, Sevilla, Granada, Baghdad, Toledo, dan lainnya.
Namun cukup disayangkan, dulu Islam Jaya Pendidikannya, ketika Ibnu sina sudah menguasai Obat-obatan, dan medis, bahkan punya kitab Qonun Fi tib yang dipakai berabad-abad sebagai kitab pedoman medis, disaat yang sama Barat masih gelap gulita, mengobati segala penyakit memakai sihir dan dukun, itu kebalik sekarang, malah banyak orang islam yang ndukun, dan orang barat meneruskan keilmuan Ibnu Sina, dengan menguasai ilmu medis seantero dunia.
Adopsi wisuda dan toga itu masih sebagian kecil, sebenarnya, di balik gemerlapnya Eropa, semuanya merupakan hasil adopsi, meniru, bahkan ‘mencuri’ dari peradaban keilmuan Islam, tapi sayang, sekarang malah berkebalikan. (Insyaallah, kapan-kapan saya tuliskan). Wallahu a’lam.
-Penulis adalah mahasiswa IAIT Lirboyo Kediri Prodi Akhwalus Syaksiyah.