Oleh Vito Prasetyo
Sebuah perubahan, entah itu karena terjadinya sebuah revolusi atau karena manusia menginginkan pemikiran-pemikiran baru, agar setiap zaman ini punya catatan atau sejarah. Tetapi faktanya, perubahan itu terjadi karena makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika beberapa abad, gagasan-gagasan banyak terlahir dari kaum berpendidikan atau yang sering disebut sebagai “akademisi”, pada umumnya gagasan yang disampaikan adalah teori-teori baku yang membenarkan pendapat ahli. Maka kemudian ini disebut sebagai sains.
Apakah teori ilmiah yang kadang mengagungkan pemikiran pencetusnya, bisa dianggap sebagai relativitas ide yang tidak dibantah atau terbantahkan? Lalu, apakah teori imajinasi yang banyak digunakan oleh para sastrawan bukan sebuah bentuk ilmiah, yang kadang menggaris-bawahi catatan perjalanan masa atau zaman. Justru banyak sastrawan yang menggunakan ide-ide cemerlang atau ide pemikiran yang menentang teori baku, hingga dalam beberapa abad, setiap resistensi abad memunculkan sastrawan-sastrawan yang juga diakui keilmuannya.
Tanpa mendalilkan sebagai sebuah teori, dalam framing penulis, logika nalar sangat penting untuk menandai batasan zaman. Mulai zaman batu atau yang dikenal sebagai zaman pra-sejarah sampai zaman modern, adalah sebuah “penandaan masa” – tanpa jedah – yang disepakati oleh para ilmuwan untuk menamakannya sebagai sebuah batas zaman. Dan kalau kita lihat jauh ke belakang, dalam kilas balik catatan sejarah zaman, timbul pertanyaan: mengapa zaman batu besar disebut sebagai masa megalitikum? Lantas mengapa abad terakhir – meski ini bukan sebuah ketetapan/kebenaran – dianggap sebagai zaman modern?
- Iklan -
Berangkat dari apa yang dilihat oleh mata (termasuk mengamati), bisa dijadikan sebagai generalisasi penghubung di antara sumber-sumber penglihatan untuk dijadikan satu kesimpulan. Bahwa ada ruang dimensi pada sebuah masa (zaman), dimana bahasa juga mengalami perubahan, mengikuti garis pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika pada abad 17, penyelidikan filosofis dianggap banyak penyesatan, maka manusia melihat zaman untuk kembali pada pencerahan yang bersifat dialog.
Konteks penggunaan bahasa di masa lampau, masih banyak berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya mistik, sehingga ada pembatasan ruang yang mengekang kebebasan pemikiran akibat pengaruh kekuasaan. Pengaruh ajaran agama yang begitu kuat, mendorong para pemikir untuk mencari ruang agar pemikiran tidak ditempatkan pada dogmatis kekuasaan. Pertentangan pemikiran melahirkan pemikiran-pemikiran bebas yang lebih dinamis, hingga memasuki abad ke-20 lahir apa yang dinamakan zaman pemikir bebas, yang hidup dalam ruang kontemplatif.
Ruang kontemplatif memacu sumber-sumber imajinasi, dimana pikiran manusia itu memang hidup. Hidup dalam artian dinamis, karena visualisasi mata mengeksplor daya stimulus (rangsangan) kerja otak. Pada abad yang dikatakan sebagai zaman modern, penyajian pemikiran sebagai sejarah kritis modernitas. Kontemplasi sendiri bermakna: dasar dalam diri manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah yang merupakan suatu proses meditasi, merenung atau berpikir penuh untuk mencari nilai-nilai, makna, manfaat dan tujuan atau niat suatu penciptaan.
Kontemplasi pemikiran menjadi terukur sebagai nilai-nilai yang termaktub di dalamnya, antara lain dalam penggunaan bahasa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa bahasa merupakan alat yang berfungsi dalam berkomunikasi. Peran yang sangat vital dalam perubahan-perubahan zaman. Dominansi bahasa filosofis pada era sebelumnya sering digunakan untuk pembenaran kekuasaan. Sementara peran ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat.
Tetapi kita juga harus mewaspadai dengan perubahan era yang berjalan secara ekstrem, karena perubahan sosial juga secara beriring akan mengikuti perubahan tersebut. Perubahan ini juga akan mempengaruhi tekstur bahasa (kaidah gramatikal), sehingga penelitian dan kajian linguistik harus mampu mengimbangi kebebasan -pemikir bebas- yang punya akselerasi tinggi melalui bahasa-bahasa teknologi. Karena menganggap kini memang sudah zaman nalar, sebagai bagian transformasi dari modernisasi dan globalisasi.
Bukan hanya para pemikir bebas yang melihat zaman ini sebagai “ruang hidup dan menghidupkan”, kontemplasi zaman nalar juga membuka jalan bagi para sastrawan yang melihat bahasa sebagai kebebasan nilai seni dalam berbahasa. Meski ini dibenarkan tanpa keterikatan ketentuan yang mengikat. Karena seni juga sebagai upaya atau ikhtiar untuk mengembangkan imajinasi pikiran secara bebas.
Dalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, transformasi pemikiran cenderung untuk menciptakan hal-hal yang baru. Hal ini yang mendorong keberadaan manusia, karena manusia memiliki keunikan dan perbedaan, jika kita harus membandingkannya dengan makhluk lain. Entitas (wujud) manusia memiliki beberapa karakter yang terorganisasi sebagai sistem (pemikiran) yang mampu menjalankan sistem apa pun. Bagaimana kemudian munculnya beragam alat-alat teknologi canggih yang dijalankan dari cara dan kemampuan berpikir manusia.
Resonansi kebebasan yang mengiringi perubahan-perubahan sosial, meski dengan jarak waktu yang belum ditempuh, melahirkan daya cipta manusia yang menggunakan nalarnya untuk mengetahui ke depan. Ruang kontemplatif yang dianggap sebagai instrumen untuk mengembangkan kemampuan nalar adalah sebuah proses dalam mencari nilai-nilai, makna, manfaat, tujuan suatu hasil penciptaan. Apakah daya cipta ini akan dengan mudah terwujud, maka disini peran bahasa sebagai alat komunikasi utama harus bisa menjadi mediator. Manusia mungkin bisa berbangga diri untuk menciptakan berbagai alat teknologi maju, tetapi ketika tidak mengerti tentang maksud dan tujuannya melalui penggunaan bahasa untuk disampaikan kepada orang lain, tentu tidak ada gunanya alat tersebut.
Di tengah pandemi Covid-19, bisa jadi sebagai ujian bagi manusia. Tidak hanya mengandalkan kemampuan kecerdasan pemikiran, atau berpikir secara bebas, karena saat ini bisa dikatakan sebagai zaman nalar. Dimana sudah masuk dalam era globalisasi, yang dituntut rasionalisasi terukur secara matematis logika. Tetapi manusia tetap juga menjadi manusia, yang tak mampu berhitung tentang kematian. Wabah covid-19 telah mengakibatkan ribuan korban meninggal dunia. Tidak peduli, korban itu orang pintar atau orang bodoh sekalipun. ***
*) Penulis adalah pegiat sastra, peminat bahasa dan budaya