Oleh Setyaningsih
Saat menjadi mahasiswa di Universitas Baghdad pada 1960-an, makanan enak khas setempat tidak masuk dalam radar intelektualitas Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Hari-harinya dipesona oleh buku-buku, perpustakaan, kursus bahasa Prancis, dan diskusi intelek sembari menyeruput kopi. Di buku Biografi Gus Dur (2011) Greg Barton membabarkan salah satu menu murah masakan andalan Gus Dur; kari kepala ikan. Orang Irak tidak makan kepala ikan. Di kios ikan, kepala ikan dibuang saja atau diberikan kepada peliharaan. Suatu hari, penjual ikan kaget karena Gus Dur membeli 20 kepala ikan. Ditanya untuk apa Gus Dur menjawab sambil menahan geli, “Hmm, saya memelihara banyak anjing.” Kepala-kepala ikan dimasak menjadi kari kepala ikan lezat yang tentunya disantap bersama 19 mahasiswa sepondokan. Oalah, Gus!
Gus Dur memang tidak sedang dalam urusan mencicipi negara secara turistik. Asal kenyang dan murah, pembuktian diri di luar negeri terlalu membutuhkan lidah yang plesir rasa. Termasuk di seri buku pengalaman para akademisi, intelektual, sastrawan, seniman, dan budayawan Indonesia di Prancis berjudul Rantau dan Renungan oleh Bagian Kebudayaan, Ilmiah dan Kerja Sama Kedutaan Besar Prancis-Departemen Luar Negeri dan Pusat Kebudayaan Prancis Jakarta, negara Prancis lebih dipikirkan sekaligus dialami sebagai pusat intelektualitas, budaya, dan modernitas daripada pusat upaboga (dunia).
Namun, ada pengakuan-pengalaman Sobron Aidit berjudul “Cerita Sekitar Resto Riwayat Singkat” di Rantau dan Renungan II (1999) yang membabarkan politik bertahan hidup sebagai eksil politik di negeri asing melalui makanan. Mereka yang tertuduh komunis tidak bisa pulang ke haribaan Tanah Air. Politik makanan dalam (semangat) kebangsaan ini sempat membikin negara Orde Baru waswas. Surat edaran larangan bagi orang-orang Indonesia mendatangi Resto dikeluarkan, “Tentu saja ada yang menaatinya, tetapi tentu saja tidak sedikit yang memperdulikannya. Soal makan dan soal selera tidak bisa diinstruksikan dengan ultimatum moderat ataupun keras sekalipun. Dan selama ini hilir-mudik saja orang berdatangan makan tanya bertanya-tanya dari golongan manakah kami dan dari golongan manakah mereka.”
- Iklan -
Batas ras, negara, politik dibaurkan dalam sepiring santapan. Sobron menulis dengan bangga dan satire, “Semua duta besar Asia atau pegawai stafnya pernah makan di tempat kami, kecuali Indonesia!” Justru sedikit penyantap Indonesia, istilah “makanan Indonesia” mendapat pamornya. Bukankah ini cukup jelas menunjukkan kesuksesan mengenalkan kebudayaan rasa Indonesia ke meja makan dunia.
Pamor negara menempel pada makanan tidak hanya menunjukkan identitas. Inilah gaya yang coba dicecap oleh masyarakat urban kelas menengah sejak masa 70-an yang terdidik, melek media, dan terbuka pada selera gaya modern. Di sini, menyantap bergerak dari persepsi kebutuhan primer menjadi hiburan sekunder bahkan jeda tersier. Terutama bukan hanya soal kenyang secara badaniah, pilihan bersantap lintas negara dan menu mengesahkan diri menjadi bagian dari kelas sosial yang kosmopolit.
“Aneka hidangan terbaik di dunia, hanya sejangkauan tangan anda,” begitu bunyi iklan di Kartini, 29 September-12 Oktober 1980 dipersembahkan oleh Hong Kong Tourist Association. Tampak tiga orang memegang sumpit dengan gembira di seputar meja makan penuh makanan. Publik pembaca mafhum Hong Kong menjadi salah satu pusat pertemuan bisnis dan belanja orang-orang dari pelbagai negara. Bersantap pun tidak bisa dilewatkan. Di sini, jelas ditampakkan cita rasa multibudaya.
Orang-orang cenderung tidak ambisius mencari rasa “asli” seperti saat mengunjungi Jepang atau India misalnya. Cerap, “Hong Kong merupakan rumah dari masakan Cina yang sebenarnya […] Disamping itu anda temukan pula restoran khas berbagai bangsa, istana-istana Hamburger dan Buffet Lunch yang cocok dengan semua orang. Bila anda menyenangi masakan Eropa, dengan anggur kelas satu, dan dalam suasana serasi, Hong Kong adalah sorganya. Untuk makan dan minum, cobalah English Pub, dimana anda dapat bermain “dart” selesai makan. Bila anda masih merasa lapar, apalagi lewat tengah malam, Hong Kong masih melayani anda, baik di pasar maupun di restoran bakmi, di Night Club maupun kios es krim.” Hong Kong menawarkan rasa-rasa dari pelbagai di dunia cukup di satu tempat.
Bersantap selalu sepaket dengan bepergian sekalipun bepergian terlihat bukan untuk plesir. Masih bisa dicerap di majalah Kartini Kartini, 1-14 September 1980, yang pernah memuat laporan tur perjalanan wartawati Kartini ke Jepang atas kerjasama Japan Airlines, Biro Perjalanan PT Indotaka, dan Kartini Group untuk memberi bayangan perjalanan “Japan Fashion and Beauty Tour” selama 12 hari sejak 25 Oktober 1980. Tidak hanya mengikuti kursus di Sugino College of Dressmaking, pusat mode, dan pabrik kosmetik, menikmati suasana metropolis Tokyo, plesiran ke tempat-tempat bersejarah, menyaksikan keindahan alam, dan mencicipi kuliner Jepang itu wajib.
Laporan memang cenderung bersifat diplomatis kenegaraan, tapi jelas tidak memungkiri bisnis liburan ke luar negeri yang sedang menggairah di Indonesia. Jepang sebagai negara di Asia yang sukses dengan agenda modernisasi dan teknologi pantas menjadi rujukan. Salah satu laporan tur bisa dipastikan bercerita tentang santapan khas Jepang, seperti tempura dan sukiyaki. Namun di luar jenis ini, santapan Jepang menawarkan gaya, “Mengunjungi restoran atau rumah makan di Jepang mempunyai kenikmatan tersendiri, karena sebelum kita menyantap makanan yang dipesan terlebih dahulu kita dapat menikmati tiruannya yang dipajang di lemari kaca. Tentu saja bukan untuk dimakan melainkan nikmat untuk dilihat karena tiruannya itu dibuat sama dengan aslinya, bahkan kadang-kadang tampak lebih lezat meskipun hanya dibuat dari plastik.” Sebelum memasuki abad fotografik disokong teknologi kamera ataupun aplikasi Instagram, makanan Jepang telah menjalankan kodrat estetiknya.
Barangkali alasan gaya inilah membuat Jepang melakukan tarikan ke dalam dan ke luar. Jika seseorang tidak cukup mampu atau sempat pergi ke Jepang, selera tertolong oleh restoran-restoran Jepang yang sukses berada di Indonesia. Di antara menu Barat yang memasuki Indonesia, Jepang cukup sukses memasuki kebudayaan makan kaum menengah Indonesia.
Di majalah Tempo, 25 April 1992, memuat peristiwa kuliner yang konon terbesar tahun itu, Cuisine Jakarta 1992. Iklan mengatakan, “Meja telah disiapkan. Dan 26 chef terkemuka ibu kota siap memanjakan lidah Anda.” Tentu, tidak sembarang “Anda” bisa mencicipi khas pelbagai negara dari 26 chef terkenal di restoran-restoran berkelas di Jakarta. Dari daftar restoran terlibat, sudah terbayangkan santapan berkelas internasional bagi para calon penyantap yang sudah terdaftar sebagai anggota The American Express Card. Pilihan restoran di antaranya Ambiente Italian Restaurant, Benkay Japanese Restaurant, Happy Valley, Jayakarta Grill, Shima Japanese Restaurant, Taman Sari, Toba Rotisserie, Tokyo Garden.
Restoran Jepang cukup dominan dan meski peristiwa Malari 1974 sempat menunjukkan protes dan penolakan penanaman modal Jepang di Indonesia, soal selera makan tetap jalan. Saat Jepang mengekspor teknologi perabot dapur ke Indonesia misalnya, mereka juga mengekspor cita rasa makanannya. Iklan di Kartini, 3-16 Februari 1992 menawarkan peralatan modern dari Sanyo dengan slogan, “Nikmatilah Hidup Sanyo, New Wave in Japanese Technology.” Perabot mengarah pada citra dapur modern sekaligus cara mengolah pangan selera Jepang ataupun Nusantara secara modern, salah satunya hot plate demi bisa menyajikan yakiniku atau shabu-shabu di rumah.
Warga Boga Dunia
Buku Around the World in Dinners (2010) garapan Cheryl Jamison dan Bill Jamison, penulis buku panduan memasak dan perjalanan peraih James Beard Foundation Awards, memuat pengalaman bersantap sekitar 800 hidangan di 10 negara, di antaranya di Bali (Indonesia), Thailand, Kaledonia Baru, Cina, dan Afrika Selatan. Di sini, terlihat rencana utama lidah mencicipi setiap negara—terbang memang untuk makan. Cheryl dan Bill sangat berambisi menikmati makanan khas lokal. Buat apa jauh-jauh berpindah negara jika hanya menemukan menu atau selera yang sudah disesuaikan dan ditemui di negara sendiri.
Namun, turisme yang menggelobal di pelbagai negara membuat tempat-tempat makan melakukan penyesuaian menu agar diterima lidah asing. Inilah yang terjadi di Thailand, restoran asing semakin bertumbuh dan hanya sedikit yang menyediakan masakan setempat. Seorang teman sekaligus pemandu mengatakan, “Satu-satunya tempat untuk memperoleh masakan Thai yang lezat dan asli adalah rumah-rumah makan kecil dengan koki rumahan, seperti tempat ini, dan kedai-kedai kaki lima di pinggir jalan yang sering dikunjungi orang-orang Thai untuk membeli camilan.” Cheryl dan Bill sadar menjadi bagian dari warga boga dunia—merasakan pentingnya kenikmatan menyantap yang “asli”.
Menjadi warga dunia hari ini berarti merasakan batas-batas yang semakin longgar untuk saling dimasuki oleh makanan. Komersialisasi atau bisnis memang sangat berperan di sini. Selera kemajemukan dibuat dan ditularkan, bukan fanatik pada satu selera saja. Buku kumpulan puisi Yudhistira ANM Massardi berjudul 99 Sajak (2015) yang menawarkan selera lokal, urban, sekaligus internasional. Yudhis bisa menyantap peuyeum di Bandung, sambal di Tasikmalaya, steak di Jakarta, ataupun kopi di Paris.
Cerap puisi “Sajak Sembilan Kota 8”, O la la, Paris!/ Jalanan wangi parfum/ Etalase bak peragawati/ Kue dan roti melelehkan eclaire/ Arabika dan robusta mengepul di café-café/ Borjuis dan bohemian berfilsafat bersama/ Di Les Halles atau Saint Germain/ Tentang Louis Vuitton dan secangkir kopi. Tidak ada gegar budaya nan pelik di antara santapan multibudaya. Ada kompromi yang sanggup ditawarkan semangat pluralitas pergaulan sebagai orang urban dan warga dunia. Lokal atau populer, kultural ataupun industrial, kerakyatan atau internasional, semua boleh saja disantap.
Semakin beragam, tantangan (budaya) makanan semakin besar. Majalah anak Bobo (8 Oktober 2020) edisi “6 Makanan yang Sedang Viral” seolah ikut dalam kelumrahan mencicipi negara-negara dari makanan sejak diri. Diwartakan enam makanan dalam bahasa Inggris dan meski sudah lumrah beredar di Indonesia, tidak tampak sebagai makanan lokal. Dua di antara enam makanan jelas menampakkan identitas negara; Japanese milk bread dan Korean garlic cheese bread. Kunci kelembutan Japanese milk bread terletak pada pasta tepung tradisional bernama tangzhong, dibuat dari campuran air dan tepung terigu yang dimasak pada suhu 65˚ celcius. Sedang garlic bread ala Korea cenderung lembut, penuh krim, dan manis dibanding garlic bread ala Eropa yang renyah dan gurih.
Politik kebudayaan makanan yang semakin diakrabkan oleh kuasa teknologi. Membentuk masyarakat menengah ke atas sebagai penyantap (budaya) makan tanpa melupakan atau merendahkan kebudayaan makannya sendiri. Sarapan soto ayam warung pinggiran, makan siang nasi Padang, atau makan malam sashimi di restoran Jepang pokoknya yes!