Cerpen Zainul Muttaqin
Mustopa sungguh hanya mengerti, siapa pun yang mati di Tanah Suci kemungkinan besar bisa masuk surga. Selain itu, ia berpendapat bahwa mungkin itulah salah satu alasan para tetangga rumahnya yang mulai berlomba-lomba mengumpulkan uang untuk sampai di Tanah Suci.
Sebagian dari mereka mestinya tidak perlu ke Tanah Suci mengingat kondisi keuangannya yang pas-pasan. Namun keinginan untuk beribadah di Tanah Suci bagai kematian yang niscaya, tak seorang pun dapat menghalangi niat mereka. Tidak tenang rasanya kalau mati belum menginjakkan kaki di Tanah Suci.
“Semua orang pasti ingin ke Tanah Suci, mencium Hajar Aswad, salat di dekat Ka’bah. Itu impian semua orang,” kata Mustopa kepada ibunya yang sedang terbaring sakit di atas lincak.
- Iklan -
“Apa kau ingin ke Tanah Suci juga?” Tarikan napas perempuan tua itu terdengar berat. Mustopa mengangguk, melihat ke wajah ibunya.
“Apa kau berharap surga?” Pertanyaan ini membuat Mustopa tidak bisa menjawab. Ia hanya menatap wajah ibunya yang seolah mendesak jawaban keluar dari mulut Mustopa.
Untuk menghindari pertanyaan selanjutnya, Mustopa memilih keluar dari kamar ibunya. Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya melihat reaksi dari anak lelakinya. Ia ingin mengatakan kepada Mustopa kalau hanya ingin surga maka tidak perlu jauh-jauh ke Makkah. Perempuan tua itu menghadapkan telapak kakinya ke mukanya. Ia ingin melihat surga yang konon tersimpan di sana.
Berangkat ke Tanah Suci bisa tercapai dengan cara Mustopa bekerja selama puluhan tahun, itu pun belum tentu cukup. Secara akal tidak mungkin Mustopa menginjakkan kaki di Tanah Suci, kecuali ada keajaiban yang datang dari Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin. Hidup ini memang berada dalam kemungkinan-kemungkinan yang tak seorang pun bisa menduganya.
Kepala Mustopa pusing memikirkan cara agar impiannya ibadah di Tanah Suci terkabul. Beberapa hari ini, ia selalu bermimpi dalam tidurnya melihat Ka’bah dari dekat. Ia melihat orang-orang ibadah di dekat Ka’bah diabadikan dalam kamera ponselnya. Mustopa melenguh dalam hati saat terbangun dari tidurnya.
Semakin terbakar perasaan Mustopa saat ia membuka akun facebooknya. Ia melihat gambar orang-orang berpose di depan Ka’bah dan ada juga yang memamerkan cara mencium Hajar Aswad. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri, suatu saat pasti akan di sana dan akan berfoto sebanyak mungkin di depan Ka’bah, Hajar Aswad dan tempat-tempat sejarah peninggalan nabi.
Ia kembali datang menemui ibunya yang baru saja terlelap. Perempuan tua itu terbangun mendengar suara pintu dibuka. Mustopa duduk di samping ibunya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan smartphonenya dan memperlihatkan gambar orang-orang yang sedang berpose di Tanah Suci.
“Jika Allah berkehendak, kau pasti sampai di sana. Bersabarlah.” Perempuan tua itu menyimpan air matanya.
Karena keinginan Mustopa yang teramat tinggi untuk sampai di Tanah Suci sebagaimana para tetangganya, ia mulai lupa merawat ibunya yang menderita di atas lincak seorang diri. Suami perempuan tua itu dijemput Izrail pada malam gerimis, tepat ketika usia Mustopa baru menginjak sepuluh tahun.
Sejak kematian suaminya membuat perempuan tua itu terpaksa bekerja serabutan demi menghidupi diri dan anak semata wayangnya. Ia sering melawan hujan hanya untuk mencari barang rongsok dari kampung ke kampung, berjalan dengan kaki telanjang. Bekas-bekas luka di telapak kakinya tampak seperti hidupnya yang amburadul.
Ia memang miskin sejak lahir. Menikah juga dengan lelaki miskin. Lengkaplah penderitaan hidup yang dialaminya. Takdir menggariskan kemiskinan sebagai jalan hidupnya hingga saat ini. Ia tidak pernah menolak menjadi orang miskin. Tuhan tak boleh digugat. Tuhan tahu yang terbaik bagi hidupnya.
Kemiskinan tidak membuatnya memohon belas kasih tetangga. Ia menyimpan kesedihan dalam hatinya. Tidak pernah juga ia menerima uluran tangan dari para tetangga yang hidupnya bergelimang harta. Seorang tetangga yang sudah naik haji lima kali tidak pernah memberinya sebutir beras pun kepada perempuan tua itu.
Rumah-rumah mewah mengepung rumah berupa gubuk milik perempuan tua itu. Sepengetahuan dirinya hampir semua tetangganya sudah pernah ke Tanah Suci. Meskipun begitu, ia tidak pernah tahu seperti apa rasa manisnya sebutir kurma. Ia ingat, bagaimana Mustopa kecil yang meronta-ronta ingin kurma dari Tanah Suci yang dibawa tetangganya. Ia berusaha meredam tangis Mustopa kecil dengan membelikannya permen.
Mengingat kejadian itu membuat perempuan tua itu berlubang dadanya. Kini Mustopa yang berniat keras ke Tanah Suci membuat perempuan tua itu was-was. Kecemasan bersarang dalam dadanya. Mustopa selalu mengatakan ingin seperti tetangganya yang sudah berkali-kali ke Tanah Suci. Ia akan mengabadikan setiap ibadahnya di Tanah Suci, semata-mata agar para tetangga mengetahuinya.
Mustopa juga berpendapat bahwa jika seseorang sudah ke Tanah Suci, maka seluruh dosanya luntur. Tak ada sedikit dosa pun melekat di badan. Semuanya dibasuh di Tanah Suci. Itu artinya kemungkinan besar jika mati setelah datang dari Tanah Suci, maka surga menjadi satu-satunya tempat sebagai imbalannya.
Di samping ibunya, Mustopa selalu berunding dan minta jalan agar ia benar-benar sampai di Tanah Suci. Kelezatan kurma yang dibayangkan Mustopa sejak kecil muncul kembali dalam kepalanya. Lidahnya mencecap membayangkannya. Mustopa membayangkan semua yang ada di Tanah Suci. Pikirannya seperti layang-layangan putus. Terbang tidak karuan diombang-ambing angin. Akhirnya jatuh ke tanah, pada kenyataan hidup yang harus diterima Mustopa bahwa kemiskinan masih bergelantungan di rumahnya.
“Kalau cuma mau kurma, gak usah ke Makkah. Di pasar juga banyak.” Mendengar perkataan ini dari ibunya membuat wajah Mustopa bergelombang.
Hampir satu bulan Mustopa jarang memperhatikan ibunya. Hanya sebentar ia berada di rumah. Ia bekerja siang malam, mengumpulkan uang sebanyak mungkin cuma untuk satu tujuan, yaitu Tanah Suci. Bagi Mustopa wajib rasanya ke Tanah Suci. Itu juga untuk membuktikan kepada tetangga, bahwa dirinya mampu ke sana. Pulang dari Tanah Suci, ia akan membawa kurma sebanyak mungkin dan akan dibagi-bagikannya kepada tetangga sebagai kabar kepulangannya dari Tanah Suci. Itulah bayangan yang terlintas di benak Mustopa selama ini.
Angin mati pada malam yang gerimis. Mustopa tidur pulas di kamar sebelah ibunya. Perempuan tua itu tak dapat memejamkan matanya. Perutnya yang lapar menjadi penyebabnya. Mustopa lupa mengantar makanan ke kamar ibunya. Perempuan tua itu tak bisa bangkit dari tidurnya. Tubuhnya sulit digerakkan.
Memasuki dunia mimpi, Mustopa membakar ibunya. Dilemparkannya perempuan tua itu ke dalam jurang api. Perempuan tua itu tidak terbakar. Seberkas cahaya putih menjalar dari telapak kakinya dan memenuhi seluruh tubuhnya. Mustopa melihat telapak kaki ibunya mengeluarkan cahaya berkilauan mengalahkan kobaran api.
Mustopa jatuh dari atas kasur dan terbangun mendadak dari tidurnya. Napasnya naik turun. Keringat membasuh tubuhnya. Ia mengambil segelas air putih dan meminumnya dengan cara yang sangat aneh. Segera mungkin ia menghampiri ibunya di kamar. Dilihatnya perempuan tua itu tertidur pulas. Tidak ingin mengganggunya, Mustopa kembali ke kamarnya sendiri.
Ia masih kepikiran dengan mimpi yang dialaminya barusan. Ia berusaha menafsir sendiri arti dari mimpinya tersebut. Tidak tahu maksud mimpinya, ia pun menyerah dan menyebut mimpi hanyalah bunga tidur. Ia kembali tidur. Berharap tak ada mimpi yang aneh-aneh datang ke dalam tidurnya.
Keesokan harinya Mustopa memasuki kamar ibunya. Ia membawa sarapan pagi untuk ibunya. Ia menaruh nampan berisi nasi putih dan lauk pauk itu di meja samping ibunya. Mustopa memegang tubuh ibunya untuk membangunnya. Tidak ada respons apa pun. Padahal biasanya perempuan tua itu langsung terbangun saat anak lelakinya menyentuhkan tangan di tubuhnya.
Mustopa memperhatikan suara napas ibunya yang tak terdengar. Ia pegang pergelangan tangan ibunya. Tidak bergerak nadinya. Mustopa pun sadar, bahwa malaikat maut sudah menjemput ibunya. Mustopa tidak tahu, kapan malaikat Izrail itu datang ke rumahnya. Rasa sesal menghantam hati Mustopa. Ia tidak ada di samping ibunya saat malaikat maut mengajak ibunya pergi.
Telapak kaki ibunya yang hitam legam, penuh bekas goresan luka mengeluarkan cahaya. Mustopa melihat itu dengan mata kepalanya sendiri. Apakah benar telapak kaki ibu menyimpan surga? Kenapa aku harus bersikeras jauh-jauh ingin ke Tanah Suci, kalau surga ada di rumah, di telapak kaki ibuku sendiri?
Terlambat Mustopa menyadari itu semua. Ia memeluk tubuh ibunya yang sudah kaku. Ia juga mencium telapak kaki ibunya berkali-kali. Permohonan maaf diucap terus menerus. Cahaya yang memancar dari telapak kaki ibunya pelan-pelan meredup. Telapak kaki itu kembali seperti semula, menjadi telapak kaki yang hitam legam dan penuh bekas luka.
Pulau Garam, Juli 2019/2020
*Zainul Muttaqin lahir di Sumenep, 18 November 1991 dan kini tinggal di Pamekasan Madura. Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019).