Semarang, Maarifnujateng.or.id – Dalam kegiatan Pelibatan Masyatakat tentang Literasi Informasi dalam rangka Pencegahan Terorisme melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah Bidang Media Massa, Hukum, dan Humas yang dikemas dengan Ngopi Coi: Ngobrol Pintar Cara Orang Infonesia, mantan Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, mengajak peserta untuk memerangi radikalisme dan terorisme.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi narasumber pada sesi Literasi Informasi yang dimoderatori Kabid Media Massa, Hukum, dan Humas FKPT Jateng Hamidulloh Ibda di Hotel Santika Semarang, Selasa (27/10/2020).
Dalam materi bertajuk “Internet, Media Digital, dan Terorisme”, pihaknya menyampaikan materi sampai lima bagian. “Indonesia saat ini sebagai negara dengan media dan pengguna medsos terbanyak,” tegas dia.
Praktisi media yang menjadi pemateri di BNPT sejak 2016 itu menegaskan, semua orang dengan mudah buat media (banyak di antaranya lebih mirip home industry). “Semua orang dengan mudah menjadi wartawan tanpa pengetahuan tentang jurnalisme, tak tahu kode etik, minus kompetensi. Banyak wartawan jadi-jadian (merangkap LSM, merangkap pengacara, merangkap preman). Banyak media tak memenuhi syarat UU dan ketentuan perusahaan pers Indonesia adalah salah satu negara pengguna medsos tertinggi seperti FB, WA, Twitter,” lanjut dia.
- Iklan -
Selain perkembangan media digital, perkembangan medsos juga menjadikan celah berbagai fenomena seperti lahirnya ruang gema. “Fenomena echo chamber atau ruang gema menggambarkan pengguna media sosial yang berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa. Pikiran yang dilontarkan segera mendapat dukungan dari rekan dan terus berulang hingga dia seolah percaya bahwa inilah fakta yang terjadi. Ruang gema ini berbahaya, karena membuat seseorang percaya satu hal yang barangkali salah bila dibuktikan secara objektif. Dia percaya karena rekan- rekan yang dijumpai di linimasa berpikir hal yang sama,” lanjutnya.
Media sosial itu, kata dia, mendekatkan yang jauh. “Tapi juga menjauhkan yang dekat. Kita di rumah misalnya, satu keluarga itu sibuk dengan gadget sendiri,” tegas dia.
Pada sesi materi bagian empat, internet dan radikalisme, Wakil Ketua dan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2007-2012 ini juga menegaskan, bahwa radikalisme di dunia maya memang nyata. “Kelebihan internet dan media sosial dalam hal kemudahaan akses, keterjangkauan, dan akses yang tak terbatas juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, mengembangkan kelompok radikal dan aksi-aksi terorisme,” lanjut dia.
Dijelaskan pula, bahwa Kemajuan teknologi digital (internet dan medsos) membantu proses penyebar-luasan ide-ide radikalisme dan terorisme hingga ke ruang-ruang privat yang sulit dideteksi.
Atas bahaya itu, ia mengajak masyarakat khususnya peserta yang hadir dari unsur wartawan, pers kampus, Bhabinkamtibmas, Babinsa, untuk dapat mengelompokkan model media. Pertama, media konvensional adalah media cetak, radio, dan televisi. Kedua, media baru seperti media siber dan streaming. Ketiga, media sosial seperti Facebook, Telegram, Line, IG, Twitter, Blog, dan lainnya.
“Kita juga harus dapat membedakan, antara media jurnalistik yaitu media cetak, radio, televisi, baik itu media lama atau konvensional dengan media baru, dan media non jurnalistik yaitu media sosial,” kata dia.
Selain itu, agar terhindar dari radikalisme, masyarakat harus dapat menjalankan lima bijak bersosme. “Mulai dari jaga privasi, jaga keamanan akun, hindari hoaks, sebarkan hal positif, gunakan seperlunya,” lanjut dia.
Untuk dapat mengecek kebenaran berita, ia juga memberikan tiga situ untuk mengecek fakta. Mulai dari stophoax.id, turnbackhoax.id, dan cekfakta.com. (adm/Ar).