Semarang, Maarifnujateng.or.id – Komisi Kebijakan Publik NU Jateng menyelenggarakan diskusi terbatas tentang RUU Cipta Kerja sessi ke-3, dengan fokus pembahasan tentang pertanian dan pertanahan di kantor PWNU Jl Dr Cipto 180 Semarang, senin malam (26 Oktober 2020), menampilkan nara sumber Ir Agus Wariyanto, SIP., MM (Kepala Dinas Ketahanan Pangan Propinsi Jateng) dan Slamet Soeharto (Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Semarang). Diskusi tersebut diikuti para pengurus Komisi Kebijakan Publik PWNU Jateng.
Dalam pembukaan diskusi Ketua Tanfidziyah PWNU Jateng HM Muzamil menyampaikan diskusi ini adalah sessi ke-3, fokus tentang ketahanan pangan dan pertanahan. “Negara kita memang baru pertama kali ini mengeluarkan legislasi omnibus law, sehingga wajar jika terjadi tarik ulur atau pro kontra. Yang penting nantinya terwujud adanya kemaslatan untuk rakyat banyak, bangsa dan negara”, harapnya.
Selanjutnya ia berharap agar terwujud adanya ketahanan pangan, kemandirian dan ketahanan pangan, sehingga masyarakat Indonesia semakin makmur.
Wakil Ketua PWNU Jateng Dr Agus Riyanto selaku moderator mengatakan, jumlah halaman RUU Cipta Kerja masih berubah-ubah, sehingga menjadi polemik berkepanjangan. “Bagaimana dampak RUU Cipta Kerja ini pada sektor ketahanan pangan dan pertanahan?”, katanya.
- Iklan -
Kepala Dinas Ketahanan Pangan (Dishanpan) Ir Agus Wariyanto, SIP., M.M., menaparkan perlunya ketahanan pangan. “Amanat Undang nomer 18 Tahun 2012, di dalam ketahanan pangan, terdapat kemandirian dan kedaulatan pangan”, tegasnya.
Selanjutnya ia mengungkapkan, sistim ketahanan pangan masih tidak adaptif, sehingga jika ada perubahan iklim, belum mampu beradaptasi.
Karena itu ia mengharapkan agar persepsi kita harus nasional, karena ada geo politik global. “Jadi yang kecil harus diproteksi”, ujarnya.
Disamping itu potensi sumber daya pangan Indonesia sangat kaya, memiliki 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan. Lahan punya potensi 10,3 juta hektar pekarangan, dan 8-10 juta hektar lahan marginal, namun perlu dikelola secara optimal. “Tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada, sehingga saat itu bisa membantu Afrika”, ujarnya.
Untuk itu dengan isu aktual perlunya prioritas bidang ketahanan pangan, yakni peningkatan pelatihan, peningkatan pendampingan dan pengawalan teknologi serta usaha pangan. “Disamping itu pertanan keluarga adalah alternatif masa depan”, tambahnya.
Dr Agus Riyanto menambah “jika hasil pertanian dibuka kemungkinan untuk import, tentu kondisi petani di negara kita perlu adanya pemberdayaan lebih lanjut”, ujarnya.
Sementara itu Slamet Suharto, Spi, Msi dari Undip memaparkan, perubahan ketentuan tentang perikanan sangat mendasar. “Misalnya pada era Ibu Susi menjadi menteri perikanan dan kelautan, pencuri ikan di perairan Indonesia ada upaya penangkapan dan penenggelaman kapal asing, namun sepertinya sekarang berubah hanya peringatan dan sanksi administrasi”, ujarnya.
Kemudian adanya indikasi sentralisasi perijinan, baik wilayah teritorial maupun zona ekonomi eksklusif.