Oleh Muhammad Nur Faizi
Dalam kehidupan rumah tangga, ibu mempunyai peran penting dalam pengendalian suasana keluarga. Bagaimanapun, perannya sebagai pengendali anak sekaligus penjaga kebersihan rumah terasa sangat mulia. Peran ganda yang dijalankannya terasa berat meskipun dirinya tidak mendapat penghasilan dari luar. Pun ketika dirinya mampu membuat suasana rumah terasa bahagia, sudah sepatutnya ia mendapat apresiasi yang luar biasa.
Akan tetapi, nilai kebutuhan yang terus menanjak memaksa dirinya urun tenaga untuk membantu suaminya. Pagi hari sebelum bekerja, ibu membereskan pekerjaan rumah. Kemudian dilajutkan dengan pertarungan tenaga sampai senja memunculkan sinarnya. Nampak kelelahan di wajahnya. Keringat terkucur saat dirinya menginjak kaki di rumah tercinta. Jika ditanya alasan mengapa melakukan hal demikian. Maka jawabannya hanya satu, yaitu untuk kebaikan keluarga kita bersama.
Rasanya kebaikan keluarga begitu penting baginya. Dirinya tidak lantas menyalahkan sang suami yang kurang dana dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Yang ada dipikirannya hanyalah apa yang bisa dilakukan untuk keluarga. Sehingga pilihan bekerja menjadi satu-satunya harapan menuju kecerahan rumah tangga. Dengan bekerja dia harap, kondisi ekonomi bisa berangsur-angsur pulih.
- Iklan -
Kebutuhan keluarga akan tercukupi berkat kerja keras mereka setiap hari. Tidak peduli siapa yang mendapat harta paling banyak, yang terpenting anak serta kebutuhan makan bisa tercukupi seluruhnya. Namun di balik semua itu, tentu ibu yang terasa kewalahan. Ibu yang merasa mempunyai beban berat. Tubuhnya dituntut perkasa. Dipaksa bekerja dan bekerja. Membersihkan rumah serta melengkapi kebutuhan keluarga.
Di tengah kesibukannya, tidak lupa ia menyempatkan berhias diri. Sekelompok alat kecantikan yang dirasa kurang memadai, dipaksa semaksimal mungkin untuk membuat dirinya terlihat sempurna. Tak lupa memandang sebuah kaca untuk mengecek kepantasan alat kecantikan yang dipakainya. Ahh nampak sudah bagus. Wajah terlihat mulus. Bahagialah dirinya. Kemudian dengan rasa bangga, ia tunjukkan kemolekkan tubuhnya pada suami tercinta.
Ayah nampak senang melihat ibu. Dirinya nampak jatuh hati dan bergelut manja dalam sebuah ranjang berdua. Ayah memuji penampilan ibu. Baginya ibu begitu luar biasa. Nampak indah dan tiada satupun orang yang lebih pantas dicintai selain istrinya. Itulah perasaan yang ingin diungkapkan dalam kemesraan mereka. Ayah merasa sangat beruntung memiliki wanita tangguh yang mau mencintai dirinya apa adanya.
Tidak ada satu katapun yang ayah ucapkan selain terimakasih. Rasa terimakasih untuk semua yang telah ibu berikan. Terimakasih untuk semua yang ibu korbankan. Dan terimakasih untuk kesetiaan yang selalu ada, meskipun keadaan terus memaksa dirinya menderita. Rangkaian rasa terimakasih itu tersirat dari wajah ayah yang nampak lama memandangi wajah ibu.
Tibalah hari ibu memasak bagi kami. Meskipun dengan bumbu dan bahan ala kadarnya, ibu mampu menyulap menjadi masakan yang luar biasa. Rasanya sangat enak karena dipenuhi oleh nilai kasih sayang yang ibu berikan. Kami semua makan dengan lahap, tanpa menyisakan sebutir nasipun di piring. Alhamdulillah, ucap ibu merasa lega karena semua masakannya habis tak bersisa.
Meskipun tak lama ibu menemani kami, namun sedikit waktu yang ibu berikan tetaplah terasa istimewa. Tidak pernah kami mengeluhkan kasih sayang darinya, karena semua yang diberikan ibu sudah lebih dari cukup dari harapan kami semua. Meskipun jauh dia bekerja, diriku tetap merasakan kasih sayang yang ada pada dirinya. Kami memang jarang bermain bersama, namun bercerita bersama dirinya rasanya sangat luar biasa. Disanalah letak semua ketulusannya terlihat oleh anak-anaknya.
Namun di hari itu, beberapa tetangga membicarakan namanya dalam tabik obrolan mereka. Sayup-sayup terdengar nama ibu disebut dalam urusan kerja dan rumah tangga. Menurut mereka, seorang wanita tidak pantas bekerja. Menurut mereka sistem keluarga sudah memberikan tugas masing-masing yang diatur turun temurun melalui tradisi. Ibu mengurus rumah tangga dan ayah mengurus perihal kerja. Begitu kiranya maksud mereka.
Kemudian mereka membicarakan tentang aku dan adikku. Mereka nampak peduli pada nasib kita. Mereka nampak mempertanyakan seberapa besar kasih sayang yang ibu berikan. Menurut mereka, itu hanya sedikit saja, karena kehidupan bagi ibu hanyalah bekerja. Tentu perihal mengurusi keluarga dan anak menjadi nomor sekian yang ibu kerjakan setelah lama bekerja, katanya.
Tidak begitu menurutku. Ibu adalah sosok perempuan yang luar biasa. Tidak bisa ditampik kehadirannya, sangat dinanti oleh ayah, adik, bahkan diriku sendiri sebagai kakak tertua. Meskipun jarang, namun kasih sayang yang ibu berikan selalu ada dan cukup bermakna bagi kita semua. Perihal mendidik, ibu lebih mahir dengan ceritanya. Selalu ada nilai lebih yang ia ungkapkan melalui cerita.
Bagaimana ia berkelahi dengan masalah uang sekaligus kebutuhan. Kemudian bagaimana ia berkelahi dengan masalah keikhlasan serta ketulusan di masa kesulitan datang. Agaknya ibu sangat mengerti itu. Agaknya ibu sudah terlalu biasa mendengarkan pembicaraan tetangga yang menyebut dirinya sebagai perempuan yang salah memilih jalan.
Oleh karenanya, sangat biasa ibu menyikapinya. Hanya senyuman dan keramahan yang ibu berikan kepada mereka yang selalu menyebut-nyebut namanya dalam gejolak kejelekan. Mungkin ada rasa marah ataupun kecewa di hati ibu, namun sekuat itulah hatinya menahan. Sehingga yang keluar hanyalah senyuman saat mereka bertemu di jalan dan berpapasan.
Inilah yang menjadi kekagumanku pada ibu. Bagaimanapun dia menjadi pemandu segala perilaku yang aku lakukan. Menjadi rambu-rambu saat diriku tersesat di jalan. Bagaimana diriku kembali? Maka sifat ibu sudah cukup untuk menjawab semua permasalahanku. Bagaimana dia bertindak dan bersikap itulah yang kujadikan sebagai acuan.
Kekaguman diriku berlanjut ketika ibu melaksanakan semua pekerjaan. Perihal menyapu ataupun mengepel lantai sudah berat pikirku, apalagi ditambah dengan kelelahan di saat pergulatan dengan pekerjaan. Tidak bisa ku bayangkan, kecapekan seperti apa yang ibu rasakan. Kelelahan macam apa yang berusaha dia sembunyikan. Yang jelas saat dirinya pulang, hanya senyuman yang ia bawa kepada keluarga. Kemudian jerih payah dalam lembar rupiah tidak lupa dia siapkan sebagai penambah kebutuhan.
Jelas kami tidak bisa menerka kalau dirinya merasa lelah. Kami hanya bisa belajar dan belajar atas setiap masalah yang ia ceritakan. Hanya melalui itulah kami bisa merasa. Hanya melalui senyuman lah ibu bisa leluasa bercerita.
Tidak ragu lagi jika Nabi menyebut ibu tiga kali. Dalam hadits tersebut ibu berada dalam tiga tingkatan di atas ayah. Bagaimanapun kehadirannya, dia mampu mengontol anak, keluarga, maupun pekerjaan lain yang ditanggungnya. Terkadang dirinya harus bisa menahan amarah dalam bincang-bincang sadis tetangga di sekitar rumah. Maka sejauh itu perannya, sejauh itu aku mengagumi dirinya. Ibu, pantaslah engkau dimuliakan Nabi.
Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Giat meyumbang gagasan di berbagai media.