Oleh: Mohamad Muzamil
Politik adalah bagian dari agama, karena agama mengajarkan perlunya pemimpin untuk menjalankan ajaran agamanya, bukan mengajarkan agar pemeluk-pemeluknya menggunakan agama sebagai alat politik, tetapi politik lah yang harus menjadi alat untuk mengamalkan ajaran agamanya.
Dalam Islam ditekankan bahwa agama adalah sebagai pedoman hidup, way of life, agar semuanya dapat hidup selamat, aman, damai, adil dan makmur. Para pemimpin dan jama’ahnya juga tidak luput dari kewajiban untuk selalu taat pada ajaran agamanya dan menghindari ma’shiyat.
Katika Rasulullah Muhammad Saw masih hidup, maka kepemimpinan ummat berada pada Rasulullah Saw. Seluruh umat Islam berlaku ta’at mengikuti kepemimpinannya, sehingga kehidupan mereka menjadi lebih adil dan makmur dari tatanan sebelumnya yang penuh ketimpangan dan ketidakadilan.
- Iklan -
Ketika Rasulullah Saw wafat, para Sahabat Nabi bermusyawarah kemudian bersepakat mengamanatkan kepada Sahabat Abu Bakar r.a. menjadi pemimpin. Waktu itu memang ada yang membangkang tidak lagi mau membayar zakat dan adanya orang yang mengaku sebagai nabi, namun bisa diatasi dengan baik.
Kemudian kepemimpinan dilanjutkan secara berturut-turut oleh Sayyidina Umar bin Khatab r.a., Sayyidina Utsman bin Affan r.a. dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib karomallohu wajhah. Keempat pemimpin ummat inilah yang disebut Khulafaur Rosyidin.
Dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa Nabi dan Khulafaur Rosyidin adalah masa menyatukannya ulama dan umaro dipegang seorang pemimpin yang sangat mulia akhlaqnya, karena Nabi Muhammad Saw dibimbing langsung oleh Alloh SWT melalui q malaikat Jibril as, dan para Khulafaur Rasyidin tersebut adalah murid langsung dari Rasulullah Saw, serta terbukti kesetiaannya, dedikasinya, pengorbanan jiwa dan raganya dalam mengikuti Rasulullah Saw.
Setelah masa itu tidak lagi dijumpai adanya seorang pemimpin yang mampu menjalankan fungsi ulama dan sekaligus fungsi Umara. Kedua fungsi tersebut seringkali dipegang oleh dua orang yang berbeda. Artinya ulama konsentrasi dalam tafaquh fi al-diin dan memperjuangkan bersama para santrinya dalam mengamalkannya, sementara umaro dipegang oleh seorang Raja, al-malik, al-amir, al-imaroh, atau al-sultan secara turun temurun, sehingga disebut sebagai dinasti seperti Umayah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah. Maka situasi berbeda dari masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin.
Pada masa itu sering kali ulama sebagai penasehat, tidak lagi memegang jabatan sebagai umaro. Bahkan kadang ada ketegangan antara ulama dan umara, seperti dialami oleh Imam Ahmad bin Hambal yang sempat dipenjara oleh Khalifah Al-Ma’mun.
Terlebih pada era sekarang ini, wilayah-wilayah di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki sistem pemerintahan yang tidak sama. Ada yang menganut kerajaan seperti Saudi yang disebut al-mamlakah al-saudiyah al-arabiyah, ada yang menganut Republik Islam seperti Iran, dan ada pula yang menganut sistem emirat seperti uni emirat Arab.
Perbedaan sistem pemerintahan tersebut menunjukkan bahwa tidak lagi dijumpai adanya seorang pemimpin yang sekaligus mampu menjalankan fungsi ulama dan fungsi umara sekaligus yang dipegang oleh seorang pemimpin sepert pada masa Nabi Muhammad Saw dan masa Khulafaur Rasyidin.
Indonesia pun juga mengalami situasi yang tidak jauh berbeda dengan wilayah lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ketika Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, waktu itu NU menyebut sebagai waliyu al-amri al-dhoruri bi al-syaukah, apalagi pada masa sekarang ini dan ke depannya, tentu semakin dalam situasi dhoruri. Situasi ini lah yang mengharuskan perlunya pembagian tugas sesuai dengan keahliannya masing-masing, karena disadari tiadanya orang yang memiliki keahlian di semua bidang.
Tentunya para ahli tidak boleh ego sektoral jika menghendaki terwujudnya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakatnya. Komitmen untuk menjalankankan fungsinya secara jujur dan profesional sesuai disiplin ilmunya harus dikedepankan daripada ego pribadi dan kelompoknya. Dalam konteks ini ajaran agama diimplementasikan sebagai inspirasi untuk memperkuat etika dan moralitas bangsa, bukan sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik kekuasaan. Jika hal ini dapat disadari semua pihak maka Indonesia insya Alloh akan segera mampu keluar dari resesi dan ancaman krisis di berbagai bidang dan sektor kehidupannya.
Bukankah misi kerasulan Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak?
Wallahu a’lam.