Oleh Slamet Makhsun
Ada fenomena, bagaimana umat Islam di Indonesia yang kadang justru over-klaim di dalam berislam. Pun mereka secara nasab tidak memiliki ikatan darah dengan Nabi Muhammad SAW. Bahkan secara sanad keilmuan yang hanya memahami Islam melalui google, ceramah-ceramah dan berita-berita usang lainnya. Seolah melebihi para cicit Nabi yang secara nasab keilmuan dan ikatan darah itu ada. Justru merekalah yang mengajarkan Islam dengan penuh rahmat.
Sejak awal, Islam ke Nusantara dibawa oleh para cicit Nabi dengan pendekatan yang halus dan bersahabat. Mereka tidak langsung mengafirkan atau menyalah-nyalahkan budaya setempat yang secara nyata bertentangan dengan Islam. Tetapi, justru dengan tutur pitutur yang menyejukkan. Mereka menggunakan pendekatan budaya, sehingga masyarakat Nusantara kala itu merasa tertarik dan pada akhirnya masuk Islam.
Kiranya, dakwah Islam yang dilakukan mereka, menciptakan budaya-budaya baru yang berciri khas Islam tanpa melupakan budaya setempat. Saya kira, inilah keunikan Islam di Indonesia. Dan, jika menilik ke negara-negara lain, tiadalah ditemui Islam semacam itu. Bahkan, di negara lain acap kali terjadi konflik yang orang Islamnya menjadi korban atau sebagai dalang kerusuhannya.
- Iklan -
Fenomena truth-claim oleh sebagian kecil umat Islam Indonesia dewasa ini, tak lepas dari ideologi Islam yang oleh para pendakwahnya di impor dari Timur Tengah terlebih Arab Saudi. Ramai-ramai mahasiswa kisaran tahun 70-an, berangkatlah mereka ke Timur Tengah untuk kuliah di jurusan ilmu keislaman, yang sebagian besar biayanya (termasuk makan dan tempat tinggal) ditanggung penuh oleh pemerintah sana. Sampai sekarang pun masih.
Mulailah mereka belajar Islam ala Timur Tengah cum Arab Saudi yang notabenenya ‘keras’, dan kemudian setelah lulus pulang ke tempat kelahirannya. Mereka lekas mendakwahi orang Islam yang masih mereka anggap kafir (karena dari segi perbuatan dan pemikiran berbeda dengan golongan mereka). Dan inilah problem serius sebagai awal dari timbulnya perpecahan masyarakat.
Tidak heran jika mereka sering di cap radikal tak lain karena dari track record-nya saja sering membuat keonaran di tengah masyarakat.
Dalam salah satu seminar yang bertajuk ‘Selamatkan Indonesia dari Radikalis, Teroris, dan Separatis’ KH Said ‘Aqil Sirodj menyampaikan bahwa setidaknya ada empat macam aliran radikal di Indonesia yang sampai saat ini masih sangat gencar menyebarkan ideologinya.
Pertama, Wahabi. Inilah salah satu aliran yang perlahan mulai masuk sejak ’80-an dengan aqidah yang radikal, tapi tidak tindakannya. Bisa dibilang keras di mimbar, tapi masih lunak dalam perbuatan.
Kelompok inilah yang menilai bahwa perayaan Maulid Nabi SAW bid’ah, peringatan Isra’ Mi’raj bid’ah, dan ziarah kubur musyrik. Tapi kelompok ini masih menyampaikan apa yang mereka anggap bid’ah dengan santun, tanpa caci maki.
Kedua, Salafi. Aliran ini datang dari Yaman, yang secara dakwah lebih keras dari Wahabi karena sudah mulai dengan caci maki. Mereka, berkeinginan melakukan purifikasi ajaran Islam yang kaffah, tentu, kaffah-nya menurut takaran mereka.
Ketiga, Jihadi. Aliran ini lebih radikal dan ekstrem dibanding kedua aliran di atas. Doktrin pokok Jihadi, dibolehkan membunuh orang non-muslim serta menghancurkan tempat ibadahnya.
Yang terakhir, Takfiri. Inilah puncak yang paling sempurna dari ideologi kaum radikalis Islam. Aliran ini, menganggap semua orang kafir kecuali golongannya sendiri.
Aliran ini, dibentuk di Mesir pada tahun 1969 oleh Syukri Ahmad Musthofa. Orang-orang dari aliran inilah yang dulu pada 3 Oktober 1981 membunuh Presiden Mesir Anwar Sadat, membunuh Menteri Agama Mesir Syaikh Husain, dan membunuh wartawan Yusuf.
Jika di telisik lebih dalam, serangkaian kejahatan terorisme di Indonesia, tak bisa lepas dari aliran-aliran Islam di atas. Bermula dari anggapan bahwa negara ini tidak sesuai dengan syariat Islam, dan kemudian mereka cap kafir. Jika sudah tertempel label kafir, maka solusi terakhir adalah mengganti sistem negaranya agar bisa menjadi ‘Islami’ yang tentu menurut versi mereka. Apa pun caranya, yang penting bisa terlaksana syariat Islam. Entah dengan pengeboman, revolusi, atau kejahatan-kejahatan yang lain.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa mereka bisa se-brutal itu? Ketika mereka telah mengecap sesuatu atau seseorang itu kafir, maka, merampas, membunuh, atau merusaknya adalah suatu kewajiban mutlak bagi mereka. Mereka anggap sebagai jihad dalam perjuangan mensyiarkan agama. Bahkan, kata mereka, Tuhan pun akan mengganjar surga dengan 72 bidadari yang cantik jelita, bagi mereka yang berhasil membunuh orang kafir atau mati dalam keadaan ingin membunuh orang kafir.
Jadi, sampai sini sudah jelas kenapa mereka bisa over-klaim terhadap golongannya. Tak lain karena doktrin ideologi dan pemahaman yang membabi buta. Tak salah jika mereka disebut radikal, memang fakta di lapangan menunjukkan hal demikian.
Bagi saya pribadi, tak masalah seseorang atau sekelompok orang entah mau beragama atau ber-ideologi dalam bentuk apapun, yang penting tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian bangsa Indonesia. Wallahu a’lam.
– Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kiai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Minat kajiannya tentang isu-isu keislaman.