Oleh Muhammad Nur Faizi
Film Tilik mampu menyedot perhatian banyak orang. Film berdurasi 32 menit ini mampu mengulik sisi buruk manusia yang mempunyai kecemburuan sosial dan berakhir pada pergunjingan. Meskipun perbuatan menggunjing dinilai buruk, namun dalam pelaksanaannya, menggunjing sudah mendapat pemakluman dari masyarakat secara tersendiri. Hampir setiap sisi pernah dijadikan tempat pergunjingan, dan tidak terkecuali di atas bak truk yang menjadi latar film ini.
Bu Tejo yang menjadi lakon utama, mulai membuka satu per satu aib Dian, seorang perempuan pekerja yang masih lajang dan dianggap tua oleh ibu-ibu disana. Sumber bahasan yang dibicarakan Bu Tejo diarahkan pada satu inti yaitu Dian wanita yang “tidak benar”. Hal ini dikuatkan Bu Tejo dengan bukti-bukti yang telah ditemukannya, mulai dari wawancara langsung hingga kabar-kabar yang beredar di internet.
Meskipun bukti-bukti yang dikemukakan Bu Tejo belum valid, namun dengan bantuan ibu-ibu yang lain bukti itu semakin kuat. Bahkan, Yu Ning yang berkali-kali mengingatkan untuk mengecek bukti tersebut, berkali-kali terlihat kewalahan. Kemampuan Bu Tejo yang meyakinkan, membuat ibu-ibu percaya akan kebenaran informasi yang diceritakannya.
- Iklan -
Bu Tejo mampu membangun perspektif ancaman bersama, yaitu Dian sebagai wanita penggoda yang mengancam hubungan rumah tangga ibu-ibu di kampungnya. Sehingga dengan mudah, Bu Tejo meyakinkan ibu-ibu kalau Dian benar-benar menjadi wanita yang tidak benar. Dan lebih jauh lagi, Dian harus benar-benar diawasi gerak-geriknya agar para ibu-ibu tidak menyesal jika nanti suaminya terjebak dalam rayuan Dian.
Banyak orang yang terhibur dengan ulah Bu Tejo yang seolah pintar mencari-cari alasan mengapa semua orang harus membenci Dian. Perpspektif yang agak ngawur berdasar “katanya” mampu disulap Bu Tejo menjadi bukti yang kuat. Banyak yang merasa gregetan sekaligus ketawa terpingkal-pingkal, karena merefleksikan Bu Tejo dengan tetangga sekampung yang berperilaku sama dengan Bu Tejo.
Narasi seksis yang dibangun juga sukses membuat penonton terhibur. Dari film itu terlihat jelas jika sosok perempuan sangat identik dengan perbincangan aib. Bahkan dirinya akan merasa terhibur jika mampu menggalih aib lebih dalam lagi, dan menjadikannya sebagai bahasan bersama dalam perkumpulannya. Meskipun begitu, tidak semua perempuan mempunyai watak yang demikian.
Wahyu Agung Prasetyo, sang sutradara seolah tahu akan kebiasaan humor masyarakat Indonesia. Dimana mimik wajah seorang wanita yang sedang terlibat gosip bisa terlihat lebih menyebalkan sekaligus lucu. Maka dalam film ini, berat tumpuan berada pada mimik wajah Bu Tejo. Semakin dia menjiwahi karakter wanita penggosip, semakin penonton dibuat gregetan sekaligus tertawa sejadi-jadinya.
Namun lebih dari itu, pada dasarnya film Tilik menggambarkan realitas beragama kita. Bagaimana kita membangun ketenaran di atas penderitaan orang lain. Menganggap semua yang berbeda adalah musuh, sehingga harus dimusnahkan dengan apapun caranya. Karena hanya dengan konsep itu, tidak akan ada lagi pesaing dalam hal keyakinan. Dan pada akhirnya, keyakinan yang dia pilih dianggap sebagai kebenaran sejati dan mutlak diikuti semua orang.
Strateginya, berusaha meraih masa sebanyak-banyaknya. Tentu cara yang digunakan adalah menjadikan keyakinan selain dirinya sebagai musuh bersama. Dengan cara itu, kesetiaan masa untuk memusuhi akan semakin kuat, karena masa juga yakin ancaman itu juga berlaku pada dirinya.
Seperti Bu Tejo, ketika menjalankan visi ini, akan banyak kejelekan-kejelekan yang disebarkan. Saling serang dengan mengumbar aib lawan menjadi kebiasaan yang tidak bisa dibantahkan. Aib-aib yang disebarkan diharapkan bisa menggoyang keyakinan umat bahwa keyakinan yang diikutinya salah. Pun adu argumen menjadi kegiatan rutin yang harus dilaksanakan untuk membuktikan siapa yang benar.
Meskipun aib tersebut disebarkan berdasarkan sumber “katanya”, namun dengan pelintiran dalil-dalil tertentu bisa menjadikannya begitu kuat. Pun juga dukungan dari masa yang begitu masif, akan mempengaruhi sistem kebenaran manusia. Dimana secara psikologis, sesuatu diyakini sebagai kebenaran oleh banyak orang, akan diyakini sebagai sesuatu yang benar, meskipun sesuatu itu salah.
Situasi ini akan terus berlangsung sampai salah satu diantara mereka dinyatakan sebagai pemenang. Dan lama tidaknya bergantung pada banyaknya lawan yang dihadapi. Semakin banyak lawannya, semakin banyak pula aib-aib yang disebarkan. Dengan kata lain, adu mulut dan kebiasaan saling membenci akan menjadi penghias dalam waktu yang demikian panjang.
Tentu saja hal ini menjadi alaram bahaya bagi Indonesia yang mempunyai banyak corak perbedaan. Tidak hanya masalah keyakinan, pun kebiasaan, pakaian, dan bahasa yang digunakan antar daerah mempunyai perbedaan yang nyata. Sudah bisa dibanyangkan, jika semua orang bersikap seperti Bu Tejo, maka bangsa Indonesia akan dipenuhi dengan pertengkaran dan adu pendapat yang menghabiskan tenaga.
Padahal dari masalah itu, ada masalah yang lebih penting diselesaikan, yaitu tentang pembangunan bangsa. Bagaimana cara membangun ekonomi, pendidikan, serta kesetaraan sosial adalah masalah nyata yang dihadapi setiap hari. Dan tentu saja masalah tersebut lebih penting diperdebatkan daripada masalah siapa yang paling benar.
Perdebatan siapa yang paling benar akan mendapatkan hasil yang egois, karena rentetan sakit hati dari orang yang dikalahkan. Sebaliknya pembangunan bangsa akan menjadi pengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak nyawa akan terselamatkan karena mendapat hak-hak sebagai warga Indonesia.
Maka sesungguhnya film ini mengulik kesadaran kita tentang konsep bernegara. Dimana jangan sampai kita menjadi Bu Tejo yang suka mengumbar aib saudara. Karena dalam film ini, banyak penonton yang merefleksikan dirinya pada Dian. Dimana mereka dibuat gregetan dengan aksi nyinyir yang dilakukan oleh Bu Tejo.
Oleh karenanya, ketika semua orang telah merasakan rasa tidak menyenangkan dari pengupasan aib-aib pribadi. Diharapkan kesamaan rasa itu mampu membangun mindset baik untuk tidak saling mencela. Menghindari sifat menghina dan menjelek-jelekan mereka yang berbeda. Dan memfokuskan diri untuk berjuang memajukan ranah pokok yang menjadi pokok bernegara. Karena hanya dengan cara itu Indonesia mampu menjadi negara yang berdulat.
Kemampuan sutradara untuk membangun nuansa komedi menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton. Mereka bisa tertawa serta menelan pesan penting dari sebuah film. Dengan keadaan senang, tentulah pesan akan lebih cepat diterima dan mendapat sambutan yang luar biasa. Semoga kesuksesan film ini, juga berbanding lurus dengan kerukunan hidup di Indonesia.
–Penulis adalah Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga dan aktif mengirimkan karya di berbagai media.