Oleh S. Prasetyo Utomo
Melimpah ruah teks sastra yang bisa dimanfaatkan guru sebagai bacaan bagi siswa. Revolusi industri 4.0 telah membuka ruang publik penerbitan teks sastra hingga memasuki dunia cyber, dunia maya yang tak terbatas ruang dan waktu. Karena itu, pemilihan bahan bacaan sastra untuk siswa MTs/MA, justru harus dilakukan secara selektif.
Terdapat empat kriteria kelayakan teks sastra bacaan siswa MTs/MA: (1) genre sastra, (2) konvensi sastra, (3) konvensi laras bahasa, dan (4) aktualisasi nilai-nilai religiusitas. Kita tidak bisa mengabaikan keadiluhungan keempat kriteria itu, dan menentukan kelayakan teks sastra hanya berobsesi pada unsur aktualisasi nilai-nilai religiusitas, yang mengabaikan kekuatan konvensi sastra dan konvensi laras bahasa. Keempat kriteria itu seyogianya dipenuhi dalam teks sastra yang dipilih sebagai bahan ajar dan kreativitas dunia literasi.
Horison pemahaman siswa MTs/MA, sebagai remaja yang sedang mekar, menjadi pertimbangan lain untuk menentukan bacaan sastra bagi mereka. Bukan berarti teks sastra yang menjadi bacaan mereka mesti merupakan sebuah karya populer, bertema kehidupan remaja, dengan konvensi sastra dan laras bahasa yang mudah diapresiasi. Hendaknya teks sastra itu disajikan untuk meningkatkan apresiasi sastra dan tingkat religiusitas siswa.
- Iklan -
***
Cerpen dengan tema kehidupan anak sekolah, religius, dan berkisah tentang dunia remaja, tidak harus mengambil latar sekolah dengan tokoh murid dan guru yang dikembangkan cerpenis sebagai motif, struktur narasi, dan kisah. Kita lazim berguru pada Nugroho Notosusanto. Sebuah konflik batin yang sangat rumit, seperti dalam cerpen “Sungai” karya Nugroho Notosusanto, dilarutkan dalam struktur narasi yang menghanyutkan empati humanisme pembaca, kisah yang menyingkap transendensi manusia. begitu juga dengan cerpen Kuntowijoyo, “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” sangat filosofis, dikemas dalam dinamika alur yang penuh daya pikat, sesuai benar dengan jiwa siswa MTs/MA. Lebih-lebih cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” (Ahmad Tohari), memiliki eksotisme latar, menghadirkan kisah yang mengasyikkan, pekat religiusitas, dengan cara bercerita yang menggoda batin pembaca.
Teks drama yang diajukan sebagai bahan bacaan siswa MTs/MA setidaknya menyentuh empati pembaca, memberikan pengalaman apresiasi dan pementasan. Drama “Iblis” karya Mohammad Diponegoro sungguh sebuah karya parodi yang kuyub dengan kritik moral, konflik batin, pencarian hakikat religiusitas, melukiskan perkembangan karakter tokoh penuh goncangan konflik, dan membawa pemerannya untuk mengekspresikan kemampuan akting.
Drama “Iblis” menggambarkan konflik batin tokoh Ibrahim yang mengalami berbagai peristiwa dramatik: agitasi iblis dan pengaburan kebenaran. Dinamika emosi tokoh, yang berubah-ubah begitu cepat, melarutkan empati pembaca, yang menyingkap nilai-nilai yang ingin disampaikan Mohammad Diponegoro. Drama ini menyajikan kompleksitas konflik batin, yang menantang para siswa untuk mempertajam penafsiran, dan menemukan nilai-nilai transenden di dalamnya. Horison pemahaman siswa terhadap teks drama mengalami peningkatan. Nilai-nilai kearifan religiusitas dapat diperoleh siswa setelah melakukan kontemplasi.
Teks puisi yang disajikan sebagai bahan bacaan sastra siswa MTs/MA dipilih dengan kecermatan pertimbangan akan tipografi, diksi, tema, suasana, dan nilai religi yang tersirat di dalamnya. Puisi lirik dengan curahan perasaan pribadi, yang mengutamakan lukisan perasaan transenden seperti “Tuhan Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi WM, sungguh tepat sebagai bahan bacaan siswa MTs/MA. Simbol yang mudah dipahami, bermuatan nilai religi – bahkan napas sufi – yang menyusup ke dalam empati siswa memungkinkan membuka kesadaran religiusitas.
Begitu juga dengan puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar yang menggunakan permainan bunyi, dengan diksi yang mudah dipahami, dan simbol-simbol yang menggetarkan nurani pembaca pada patriotisme dan etos pembangunan, selaras sebagai bahan pembelajaran dan kreativitas. Puisi elegi karya Amir Hamzah, “Hanyut Aku”, tidak hanya menghadirkan ratapan dan duka, tetapi menyingkap transendensi, yang menghanyutkan kesadaran keilahian pembaca. Puisi-puisi balada mengembangkan karakter, latar, konflik, dalam “Balada Nabi Idris dan Nabi Hud AS” (Taufiq Ismail).
***
Bagaimana guru bahasa Indonesia membangkitkan gairah membaca karya sastra para siswa MTs/MA, sehingga berkembang tradisi literasi? Pertama, peran guru bahasa Indonesia untuk membuka kesadaran siswa akan estetika dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap teks sastra yang dibahas dalam ruang kelas. Intensitas pergulatan guru bahasa Indonesia terhadap teks sastra memudahkannya untuk membuka kesadaran siswa akan fungsi sastra sebagai (1) hiburan, fantasi yang menyenangkan, (2) renungan nilai-nilai pengalaman manusia, (3) media pembelajaran masyarakat, (4) media komunikasi simbolik untuk menjalin hubungan dengan dunia sekitarnya, dan (5) pembuka paradigma berpikir.
Kedua, guru bahasa Indonesia melakukan pembelajaran sastra dengan cara membuka horison pembaca. Dalam pandangan Jauss, horison pembaca (horizon of expectations) memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca terbagi menjadi dua, yaitu (1) yang bersifat estetis dan (2) tak estetik (di luar teks sastra). Yang bersifat estetik berupa penerimaan unsur-unsur struktur pembangun karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya. Yang tak bersifat estetik, berupa sikap, pengalaman, dan situasi pembaca.
Ketiga, guru mengarahkan pembelajaran sastra dengan analisis struktur, sehingga siswa memiliki pengalaman terlibat secara total terhadap teks sastra. Dalam tataran yang sederhana, siswa menganalisis dengan teori strukturalisme. Strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, dengan mekanisme antarhubungan, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antarunsur dengan totalitas.
Keempat, guru menyajikan karya sastra yang memiliki penyimpangan, defamiliarisasi. Karya sastra yang baik membuat pembaca terusik dan membawa pembaca keluar dari cara melihat dunia yang biasa dan rutin. Rutinitas kehidupan yang berulang-ulang telah menumpulkan indera pembaca dan membuat dunia terlalu lazim. Dengan membelokkan bahasa ke pengalaman baru dan cara baru dalam memandang dan memahami kehidupan, sastra menggugah kembali indera pembaca dan membuat dunia menjadi tidak lazim.
Kelima, guru bahasa Indonesia berupaya mempertemukan siswa dengan para sastrawan dalam acara di luar jam pembelajaran. Secara berkala guru menyelenggarakan lomba membaca dan mengulas karya sastra yang diikuti para siswa. Guru berusaha menyediakan ruang publik bagi karya siswa. Di samping itu, guru bahasa Indonesia seyogianya memberikan teladan dengan melakukan penciptaan karya sastra, untuk menghidupkan gairah kreativitas dan eksistensi para siswa. Ketika siswa menemukan kegairahan menulis, tentu akan memanfaatkan waktu luang untuk membaca teks sastra yang berkualitas. Membaca teks sastra merangsang siswa untuk melakukan inovasi struktur narasi, karena hakikat sastra pada satu pihak terikat pada konvensi, tetapi di pihak lain ada kelonggaran dan kebebasan untuk mempermainkan konvensi itu, malahan untuk menentangnya, walaupun dalam pertentangan itu pun pengarang masih terikat.
***
– S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa UNNES.