Oleh Akhmad Idris
Semua orang-orang yang beriman telah mengetahui bahwa segala hal yang terjadi di muka bumi (mulai dari urusan rizki hingga urusan mati) telah menjadi kehendak dan ketentuan dari Allah. Bahkan sejatinya manusia tidak bisa berkehendak, sesuai dengan surat al-Insan ayat 30: Dan Kamu tidak mampu berkehendak, kecuali Allah yang telah berkehendak. Penciptaan golongan orang-orang yang beriman dan golongan orang-orang kafir merupakan kehendak dan kekuasaan Allah, termasuk menjadikan sekelompok orang menjadi ahli ibadah dan sekelompok lainnya menjadi ahli berbuat dosa.
‘Sialnya’ keterangan ini sering dijadikan dalih oleh para pendosa agar tidak dipojokkan atas tindakan maksiatnya. Mereka (para pendosa) sering berkata, “Jangan salahkan Aku jika Aku berbuat dosa, sebab perbuatan dosaku merupakan kehendak dan kekuasaan Allah”. Benarkah perbuatan maksiat juga disandarkan kepada Allah, sebagaimana perbuatan baik yang juga disandarkan kepada-Nya?
Dalih yang disampaikan oleh para pendosa di atas, menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui tentang Allah sama sekali. Disebutkan di dalam surat an-Nisa’ ayat 79: segala hal (kebaikan) yang menimpamu adalah dari Allah, sedangkan segala hal yang menimpamu (keburukan) adalah dari (kesalahan) dirimu sendiri. Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menyebutkan bahwa segala kebaikan (kenikmatan) yang diperoleh manusia merupakan anugerah dan kasih sayang dari Allah, sedangkan segala keburukan yang menimpa manusia merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri.
- Iklan -
Keterangan dari surat an-Nisa’ ayat 79 di atas sudah dengan jelas menunjukkan bahwa segala perbuatan buruk tidak boleh disandarkan kepada Allah karena itu adalah hasil dari perbuatan manusia sendiri. Manusia tidak mau memahami bahwa Allahmencintai orang-orang yang taat kepada-Nya, bukan yang malah sering durhaka kepada-Nya.
Intisari dari dua pernyataan di di atas (pertama adalah tentang semua hal adalah kehendak dan ketentuan Allah dan kedua adalah kebaikan datang dari Allah, sedangkan keburukan datang dari perbuatan manusia sendiri) dapat dikelompokkan menjadi dua penjelasan.
Penjelasan pertama: Segala hal (baik dan buruk) yang disandarkan kepada Allah adalah baik, meskipun itu hal buruk di mata manusia. Kejahatan dan kebaikan di muka bumi ini merupakan bentuk kemahakuasaan Allah. Jika Allah hanya menjadikan kebaikan, maka dikhawatirkan akan timbul praduga bahwa Allah tidak mampu menciptakan kejahatan. Begitu pula sebaliknya.
Penjelasan kedua: segala hal yang disandarkan kepada manusia sebagai makhluk, terbagi menjadi dua hal, yakni kebaikan dan keburukan. Manusia harus melakukan kebaikan, dan menjauhi keburukan. Setiap kebaikan akan mendapatkan balasan dan setiap keburukan akan mendapatkan balasannya pula. Sesuai dengan surat az-Zalzalah ayat 7-8: Siapapun yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun akan melihat (balasannya) dan siapapun yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun akan melihat (balasannya) pula. Oleh sebab itu, tidak boleh manusia berdalih bahwa perbuatan maksiatnya adalah dari Allah, sebab segala hal yang disandarkan pada manusia terbagi menjadi dua. Baik bernilai baik dan buruk bernilai buruk.
Hal ini dianalogikan oleh Jalaluddin Rumi di dalam Fihi Ma Fihi dengan analogi antara Raja dan rakyatnya. Seorang Raja yang sempurna adalah Raja yang memiliki hadiah dan tiang gantung.
Jika Raja hanya memiliki hadiah, maka Raja tidak bisa mengatasi para pembangkang. Jika Raja hanya memiliki tiang gantung, maka Raja tidak memiliki rasa kasih sayang. Oleh sebab itu, hadiah dan tiang gantung bagi seorang Raja adalah kebaikan, kesempurnaan, dan kebijaksanaan.
Sedangkan bagi rakyat, hadiah adalah sebuah dambaan dan tiang gantung adalah hal yang menakutkan. Seluruh rakyat akan berburu hadiah dan akan berusaha menghindari tiang gantung. Adakah rakyat yang bercita-cita meninggal di atas tiang gantung?
Wallahu A’lam
–Penulis Seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994.