Oleh Akhmad Idris
COVID-19 yang telah berstatus pandemi membuat beberapa orang hanya bisa meratap sedih. Usaha dagang kian menyepi, beberapa pekerja terpaksa harus diakhiri, pembelajaran tertunda hingga waktu yang tak diketahui secara pasti, hingga berita yang paling anyar bahwa kehangatan mudik yang tak bisa dinikmati tahun ini.
Tak ayal, rentetan ujian yang susul-menyusul ini membuat sebagian besar orang mengeluh. Keluhan yang kian menggema di setiap sudut-sudut jalan bahwa Corona merupakan wabah yang bikin susah, resah, dan gelisah. Jika dibiarkan terus seperti ini, maka Negara tak hanya dipenuhi dengan wabah, tetapi juga dirundung awan gelap kesedihan. Adakah cara melihat Corona bukan hanya sekadar wabah, tetapi sebagai musibah yang membawa hikmah?
Khalifah Umar bin Khattab: Empat Kenikmatan dalam Sebuah Ujian
- Iklan -
Di dalam kitab Nashoih al-Ibad karya Syaikh Nawawi al-Bantani yang mensyarahi kitab Munabbihat ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad karya Syaikh Syihabuddin bin Hajar al-Asqolani, disebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab memiliki cara yang logis dan manis untuk melihat kenikmatan dalam sebuah ujian. Terdapat empat cara untuk menikmati ujian ala Khalifah Umar, yakni pertama; menyadarkan diri bahwa ujian yang menghampiri bukan berkaitan dengan keagamaan, keyakinan, maupun keimanan. Masih beruntung, Corona hanya mengambil pekerjaan, keuangan, atau kesehatan; tidak mengambil keteguhan agama Islam di dalam hati., sebab ujian keyakinan jauh lebih berbahaya dari ujian harta benda.
Kedua, memahami bahwa masih ada ujian yang jauh lebih meresahkan dari Corona. Sebut saja seperti Hantavirus yang baru-baru ini menyerang Cina dan dianggap 38% lebih berbahaya dari Coronavirus, virus Marburg-mirip dengan Ebola-yang diklaim angka kematiannya mencapai 80% kala terjadi outbreak di Kongo, virus HIV yang disebut sebagai virus paling mematikan di dunia modern yang hingga kini masih belum ditemui obatnya-hanya ditemui obat untuk memperpanjang usia beberapa tahun-, dan SARS-CoV yang tingkat membunuhnya lebih besar dari COVID-19. Berdasarkan fakta-fakta yang telah disebutkan, muncul sebuah pertanyaan: Corona tidak lebih buruk, kan?
Ketiga, meyakinkan diri bahwa meskipun Sang Maha Kasih menguji, tetapi Sang Maha Kasih tetap meridhoi siapapun yang menerimanya dengan ikhlas. Satu di antara hal yang perlu dilakukan ketika tertimpa ujian adalah berterima; sebab suka atau tidak, ujian itu tetap akan terjadi. Keempat-sekaligus yang terakhir-, meneguhkan hati bahwa setiap ujian akan menjadi ladang pahala bagi mereka yang bersabar. Saking istimewanya sabar, agama apapun selalu menjadikan sabar sebagai nasihat utama. Sabar memang sulit, namun satu hal yang perlu diketahui, yakni hanya sesuatu yang sulit yang bernilai mahal.
Mereka yang Sering Tertimpa Ujian akan Dihisab dengan Ringan
Kabar gembira bagi kalian yang sering ‘dikunjungi’ ujian, yakni dihisab dengan skala yang paling ringan–alias dimasukkan surga tanpa perlu dihisab-. Jaminan ini disebutkan oleh Syaikh Nawawi dalam Nashoih al-Ibad yang menyusul keterangan sebelumnya. Disebutkan dalam Nashoih al-Ibad bahwa ketika hari kiamat telah tiba, disiapkan sebuah mizan (penimbang amal perbuatan) untuk menentukan nasib umat manusia. Dipanggil kelompok manusia yang senang mendirikan shalat. lalu ditimbang. Selanjutnya dipanggil kelompok manusia yang hobi berpuasa, lalu ditimbang pula dengan sempurna. Begitu seterusnya, hingga tiba di panggilan kelompok manusia yang terakhir. Golongan yang terakhir dipanggil ini adalah mereka yang selama di dunia sering mendapatkan ujian dari Sang Pemilik Semesta.
Anehnya, ketika mereka telah sampai di area penimbangan, mereka terus berjalan tanpa perlu dihitung dan diperiksa amal perbuatannya selama di dunia. Sontak saja, hal ini membuat golongan manusia yang jarang tertimpa ujian berharap di posisi mereka yang sering bersua dengan ujian. Akhirnya, mereka yang sering ‘dikunjungi’ ujian menjadi kelompok yang paling beruntung di antara yang lainnya, sebab keikhlasan dan kesabaran mereka selama menghadapi ujian. Akhir kata; Corona memang wabah yang bikin gundah, tetapi ada hikmah yang jauh lebih besar dari sekadar wabah jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Wallahu A’lam
–Tentang Penulis
Seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994. Seorang lelaki pecinta wanita, tetapi bukan buaya; sebab tiada kesalahan dalam mencintai. Seorang lelaki yang mencintai dunia kepenulisan, meskipun tulisan-tulisannya biasa-biasa saja. Dapat dihubungi di 089685875606 dan ig @elakhmad. Nomor rekening: 0471136434 , BNI atas nama Akhmad Idris. Baru-baru ini telah menerbitkan buku kumpulan esai dengan judul Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020). Salah satu cerpennya pernah menjadi juara haparan 3 dalam lomba penulisan cerpen Pekan Budaya 2016 oleh HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Selain cerpen, puisinya yang berjudul Rindu Palestina 3 menjadi puisi terbaik menurut Emirbooks (Penerbit Erlangga) dalam lomba yang bertema “Kerinduan pada Palestina”. Puisinya dengan judul Teruntuk Kau yang Kusebut Perempuan dimuat di web menjadimanusia.id. Puisi lainnya yang berjudul Kepada Kamu yang Ditunggu Ibu juga dipilih oleh @kata.puan untuk diajak berkolaborasi. Beberapa esai ringan tentang isu-isu pendidikan, sosial, dan budaya juga diuat di beberapa platform digital. Esai tentang kebudayaan dimuat di etnis.id, esai tentang kependidikan dimuat di gubuktulis.com dan siarpersma.id, esai tentang isu-isu sosial pernah dimuat di nyimpang.com, ibtimes.id, dan doripos.com, serta esai-esai tentang keislaman pernah dimuat di islami.co dan alif.id. tulisan-tulisan tentang cerita perjalanan dimuat di kurungbuka.com, brisik.id, dan brilio.net. Baru-baru ini, esainya lolos kurasi dalam Festival Literasi Tangerang Selatan tahun 2019. Beberapa opininya juga pernah dimuat di beberapa majalah dan bulletin, seperti buletin Perspektif edisi satu tahun 2020 milik Universitas Brawijaya Malang. Beberapa artikel ilmiah juga pernah dimuat di dalam Jurnal Pena (Universitas Jambi), jurnal Salingka (Kemendikbud), Jurnal Pembelajaran Bahasa & Sastra (Universitas Negeri Malang), dan Jurnal Efektor (Universitas PGRI Kediri). Selain menulis, Ia juga sering mengisi beberapa kepelatihan Jurnalistik. Baginya, “Menulis adalah mengukir nama di dunia yang sudah lama fana”.